Khazanah
Beranda » Berita » Kalam Tauhid: Makna La Ilāha Illa Allāh dalam Safīnatun Najā

Kalam Tauhid: Makna La Ilāha Illa Allāh dalam Safīnatun Najā

pemuda muslim membaca kitab di teras masjid saat subuh, simbol kesadaran tauhid.
Pemuda membaca kitab klasik di teras masjid, menemukan ketenangan dalam makna La Ilāha Illa Allāh.

Surau.co. Setiap hari, jutaan muslim di dunia mengucapkan kalimat La Ilāha Illa Allāh — baik dalam zikir, doa, maupun shalat. Namun, berapa banyak di antara kita yang benar-benar menyelami makna kalam tauhid ini?

Dalam kitab Kasyīfatu al-Sajā fī Syarḥ Ṣafīnatin-Najā, ulama besar Nusantara, Syaikh Muhammad Nawawi al-Bantani, menjelaskan bahwa kalimat La Ilāha Illa Allāh bukan sekadar lafaz, tetapi inti dari seluruh ajaran Islam. Ia adalah akar dari iman, sumber ketenangan, sekaligus cahaya yang menuntun manusia menuju Allah.

Tauhid: Fondasi dari Segala Amal

Sejak awal kitab Safīnatun Najā, Syaikh Nawawi menegaskan bahwa tauhid adalah dasar dari seluruh amal manusia. Tanpa tauhid, amal menjadi kosong dari makna. Beliau menulis:

«أصل الدين معرفة الله تعالى»
“Pokok agama adalah mengenal Allah Ta‘ala.”

Mengenal Allah tidak berhenti pada pengakuan lisan, tapi harus tumbuh menjadi kesadaran batin yang hidup.
Setiap langkah manusia — dari bekerja, belajar, hingga berkeluarga — sejatinya adalah perjalanan untuk menegaskan La Ilāha Illa Allāh dalam tindakan nyata.

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Dalam kehidupan sehari-hari, ini bisa berarti menahan diri dari korupsi, berkata jujur di tengah tekanan, atau sekadar tidak menunda shalat di sela pekerjaan. Semua itu, kata Syaikh Nawawi, adalah manifestasi tauhid yang hidup.

Makna La Ilāha Illa Allāh: Penolakan dan Pengakuan

Syaikh Nawawi menjelaskan dua sisi dalam kalimat tauhid ini: penolakan (nafī) dan pengakuan (itsbāt).
Beliau menulis:

«لا معبود بحقٍّ إلا الله»
“Tiada yang berhak disembah dengan sebenarnya kecuali Allah.”

Bagian pertama, lā ilāha, adalah penolakan terhadap segala bentuk peribadatan selain Allah: jabatan, harta, cinta dunia, bahkan ego.
Bagian kedua, illā Allāh, adalah penetapan bahwa hanya Allah-lah sumber cinta, arah ibadah, dan pusat kehidupan.

Dengan begitu, La Ilāha Illa Allāh tidak sekadar menafikan tuhan-tuhan palsu di luar diri, tetapi juga membersihkan hati dari kesombongan dan ketergantungan selain kepada Allah.

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Syaikh Nawawi menulis lagi:

«من أدرك معناها فقد فاز»
“Barang siapa memahami maknanya (La Ilāha Illa Allāh), sungguh ia telah beruntung.”

Keberuntungan di sini bukan sekadar pahala di akhirat, tetapi juga ketenangan hidup di dunia. Karena orang yang meyakini La Ilāha Illa Allāh sejati tidak akan takut kehilangan dunia — sebab hatinya sudah tertambat pada yang kekal.

Tauhid dan Fenomena Sehari-Hari: Dari Lisan ke Kesadaran

Coba kita renungkan sejenak. Ketika seseorang mengeluh karena kehilangan harta, padahal rezekinya telah dijamin oleh Allah — ia sedang melupakan La Ilāha Illa Allāh. Ketika seseorang marah karena tidak dipuji, padahal ridha Allah lebih besar dari semua sanjungan — ia juga sedang lalai dari makna tauhid.

Dalam Kasyīfatu al-Sajā, Syaikh Nawawi menulis dengan halus:

Krisis Keteladanan: Mengapa Kita Rindu Sosok dalam Riyadus Shalihin?

«من أحب الله لم يعبد سواه»
“Barang siapa mencintai Allah, maka ia tidak akan menyembah selain-Nya.”

Kalimat ini mengandung makna yang dalam: mencintai Allah bukan berarti memutus diri dari dunia, melainkan menjadikan dunia sebagai jalan menuju-Nya.
Orang yang bekerja dengan niat ibadah, merawat keluarga dengan kasih, atau menolong sesama tanpa pamrih — semua itu adalah ekspresi cinta kepada Allah. Itulah La Ilāha Illa Allāh yang bergerak dan berdenyut di dalam kehidupan.

Tauhid sebagai Cahaya yang Menuntun

Dalam bagian lain kitabnya, Syaikh Nawawi menulis:

«والتوحيدُ نورُ القلبِ وراحةُ الروحِ»
“Tauhid adalah cahaya hati dan ketenangan jiwa.”

Tauhid, dalam pandangan beliau, bukanlah konsep kaku. Ia seperti matahari batin: memberi terang dan arah bagi seluruh aspek kehidupan manusia.
Ketika seseorang memiliki kesadaran tauhid, ia tidak mudah terguncang oleh perubahan zaman, karena hatinya bergantung kepada yang tak pernah berubah — Allah.

Fenomena modern hari ini menunjukkan banyak orang mencari makna hidup dalam karier, popularitas, atau harta. Namun, semua itu cepat pudar. Tauhid mengingatkan: hanya Allah yang kekal. Maka hidup yang berporos pada tauhid akan selalu punya makna, bahkan dalam kesedihan sekalipun.

Tauhid sebagai Jalan Cinta dan Kebebasan

Tauhid sejati, menurut Syaikh Nawawi, bukan sekadar kepercayaan, tapi kebebasan.
Beliau berkata:

«العبدُ الحقُّ هو الذي لا يرى في الوجودِ إلا الله»
“Hamba sejati adalah yang tidak melihat di dalam wujud ini selain Allah.”

Inilah kebebasan spiritual yang diajarkan oleh tauhid.
Seseorang yang benar-benar hidup dalam La Ilāha Illa Allāh tidak lagi menjadi budak ketakutan, tekanan sosial, atau ambisi pribadi. Ia bebas, karena hanya Allah yang menjadi pusat hidupnya.

Imam al-Ghazali pernah mengatakan bahwa kalimat tauhid adalah puncak cinta dan keikhlasan. Orang yang mengucapkannya dengan benar tidak akan mencari selain Allah dalam kebahagiaan maupun kesulitan.

Kesimpulan: Menghidupkan Tauhid dalam Setiap Detik

Dari uraian Syaikh Nawawi al-Bantani, kita memahami bahwa La Ilāha Illa Allāh adalah kalimat yang sederhana namun dalam. Ia adalah akar iman, cahaya hati, dan napas kehidupan seorang mukmin.

Allah berfirman:

اللَّهُ نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ
“Allah adalah cahaya bagi langit dan bumi.” (QS. An-Nūr [24]: 35)

Maka barang siapa hidup dengan kesadaran La Ilāha Illa Allāh, ia akan membawa cahaya itu ke mana pun melangkah.
Di kantor, di rumah, di jalan, bahkan dalam kesepian sekalipun, hatinya akan tetap berkata: “Tidak ada yang layak aku sembah, aku takuti, aku harapkan, kecuali Engkau, Ya Allah.”

Dan ketika kalimat itu benar-benar hidup di dalam diri, barulah kita menjadi hamba yang merdeka — hamba yang menemukan makna sejati dari hidup.

* Reza AS
Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo, Ponorogo


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement