Surau.co. Kita sering semangat di awal, lalu melemah di tengah jalan. Dalam hal ibadah, belajar, bahkan memperbaiki diri, semangat awal sering kali tidak bertahan lama. Fenomena ini bukan hal baru. Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad, dalam kitab Risālatul Mu‘āwanah, menulis panjang tentang betapa pentingnya istiqamah — atau konsistensi — sebagai tanda kedewasaan iman.
Menurut beliau, iman yang sejati bukanlah ledakan semangat sesaat, tapi ketenangan yang bertahan di jalan Allah. Kedewasaan spiritual lahir dari kemampuan seseorang untuk terus melangkah, meski tanpa tepuk tangan dan tanpa euforia.
Habib al-Haddad berkata:
وَاعْلَمْ أَنَّ أَفْضَلَ الْأَعْمَالِ مَا دَاوَمَ عَلَيْهِ صَاحِبُهُ وَإِنْ قَلَّ
“Ketahuilah, amal terbaik adalah yang dilakukan secara terus-menerus, walau sedikit.”
Kata-kata ini sejalan dengan sabda Rasulullah ﷺ:
أَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ
“Amal yang paling dicintai Allah adalah yang dilakukan secara terus-menerus, meskipun sedikit.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Istiqamah, atau konsistensi, bukan sekadar kemampuan bertahan. Ia adalah bentuk kejujuran iman. Orang yang istiqamah tidak mencari rasa nyaman, tapi mencari ridha Allah, bahkan ketika rasa malas datang melanda.
Iman yang Tumbuh Perlahan
Kedewasaan iman tidak datang dalam semalam. Ia tumbuh seperti pohon: dari benih kecil yang dirawat dengan sabar, disiram dengan zikir, dan dijaga dengan amal yang rutin.
Habib al-Haddad mengingatkan:
فَاحْذَرْ أَنْ تَكُونَ كَمَنْ يَبْدَأُ وَلَا يُتِمُّ، فَإِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَجْزِ النُّفُوسِ وَضَعْفِ الْهِمَمِ
“Waspadalah jangan sampai engkau menjadi orang yang memulai tapi tidak menyelesaikan, karena itu tanda kelemahan jiwa dan rendahnya tekad.”
Kata “rendahnya tekad” di sini tidak merujuk pada kemampuan fisik, melainkan kelemahan spiritual — hati yang mudah menyerah ketika tidak segera melihat hasil.
Sering kali kita tergoda oleh semangat instan. Ingin cepat berubah, cepat hafal, cepat sukses. Padahal, kedewasaan iman justru tumbuh dalam proses panjang. Al-Qur’an menggambarkan hal ini dengan indah:
إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةُ
“Sesungguhnya orang-orang yang berkata, ‘Tuhan kami adalah Allah’ kemudian mereka tetap istiqamah, maka malaikat turun kepada mereka.” (QS. Fussilat: 30)
Istiqamah adalah bukti cinta yang matang. Ia tidak butuh sorotan, karena Allah-lah saksinya.
Konsistensi dalam Hal Kecil: Latihan Kedewasaan Iman
Kebanyakan orang ingin menjadi baik secara besar-besaran. Padahal, Habib al-Haddad mengajarkan bahwa perubahan besar lahir dari kebiasaan kecil yang dijaga dengan tekun.
Beliau menulis:
لَا تَزْهَدْ فِي الْقَلِيلِ مِنَ الْخَيْرِ، فَإِنَّهُ يُؤَدِّي إِلَى الْكَثِيرِ
“Jangan meremehkan kebaikan yang kecil, karena ia akan mengantarkan kepada kebaikan yang besar.”
Membaca satu halaman Al-Qur’an setiap hari lebih baik daripada membaca satu juz lalu berhenti seminggu. Salat malam dua rakaat setiap malam lebih kokoh daripada sepuluh rakaat sekali lalu hilang lama.
Konsistensi dalam hal kecil menumbuhkan kedisiplinan spiritual. Ia melatih jiwa agar mengenal ritme pengabdian yang alami. Dari kebiasaan kecil inilah iman menjadi dewasa, karena ia belajar untuk sabar dan stabil, bukan impulsif dan emosional.
Menghadapi Rasa Malas dan Jenuh dalam Beribadah
Habib al-Haddad memahami betul sifat manusia yang naik-turun dalam semangat. Dalam Risālatul Mu‘āwanah, beliau tidak menuntut manusia menjadi sempurna, tapi mengajarkan cara bertahan di tengah kelemahan.
Beliau berkata:
إِذَا نَفَرَتْ نَفْسُكَ مِنْ بَعْضِ الْعِبَادَةِ، فَارْفُقْ بِهَا وَلَا تَتْرُكْهَا كُلِّيًّا
“Jika jiwamu merasa enggan terhadap sebagian ibadah, maka perlakukanlah dengan lembut dan jangan tinggalkan seluruhnya.”
Ini adalah nasihat penuh kasih. Beliau mengajarkan keseimbangan: jangan memaksa diri secara ekstrem hingga lelah, tapi jangan pula menyerah total.
Konsistensi bukan tentang kekerasan, tapi tentang kelembutan terhadap diri sendiri dalam menjalani kewajiban. Dalam bahasa modern, ini disebut sustainability spiritual — keberlanjutan ibadah yang realistis dan sehat.
Mengubah Istiqamah Menjadi Gaya Hidup
Konsistensi bukan hanya dalam ibadah ritual, tapi juga dalam akhlak dan tanggung jawab sosial. Habib al-Haddad menulis bahwa seseorang yang beriman sejati akan menjaga adab dalam setiap keadaan, tidak tergantung suasana hati.
كُنْ عَلَى طَاعَةِ اللّٰهِ فِي كُلِّ أَوْقَاتِكَ، وَاحْذَرْ أَنْ تَكُونَ عَبْدَ الْهَوَى
“Tetaplah dalam ketaatan kepada Allah di setiap waktu, dan waspadalah jangan sampai engkau menjadi hamba hawa nafsu.”
Kata-kata itu menegaskan bahwa istiqamah bukan sekadar tentang melakukan sesuatu secara terus-menerus, tapi juga tentang menjaga arah hidup agar tetap lurus.
Dalam konteks modern, istiqamah bisa berarti konsisten menjaga kejujuran di tempat kerja, konsisten berbuat baik meski tidak dipuji, konsisten menjaga waktu, bahkan konsisten menjaga kesehatan agar mampu beribadah dengan baik.
Konsistensi yang menyatu dengan kehidupan sehari-hari menjadikan iman bukan hanya keyakinan, tapi juga karakter.
Kedewasaan Iman: Dari Emosi Menuju Kesadaran
Bagi Habib al-Haddad, tanda iman yang matang adalah ketenangan dalam istiqamah. Orang yang imannya baru tumbuh biasanya penuh semangat emosional — cepat terbakar tapi cepat padam. Namun, ketika iman dewasa, semangat itu berubah menjadi keteguhan.
Beliau mengingatkan:
إِنَّمَا يَثْبُتُ أَهْلُ الْبَصَائِرِ وَأُولُو الْعُقُولِ، وَيَتَزَلْزَلُ أَهْلُ الْغَفْلَةِ وَالْجُهُولِ
“Yang tetap teguh hanyalah orang-orang yang memiliki pandangan tajam dan akal yang jernih, sedangkan yang lalai dan bodoh mudah terguncang.”
Kedewasaan iman membuat seseorang tidak mudah terombang-ambing oleh keadaan. Ia tidak lagi menjadikan perasaan sebagai pengendali utama, tapi kesadaran akan kehadiran Allah.
Iman yang dewasa tahu bahwa Allah selalu bersama, bahkan ketika dunia tampak sunyi. Ia tidak butuh motivasi luar, karena kekuatannya datang dari dalam — dari cinta yang stabil kepada Sang Pencipta.
Kesabaran: Nafas Panjang Istiqamah
Tidak ada istiqamah tanpa kesabaran. Dalam Al-Qur’an, Allah memuji orang-orang yang sabar sebagai pemilik cinta dan kedekatan khusus dengan-Nya:
إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ
“Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah: 153)
Habib al-Haddad memandang sabar sebagai bahan bakar istiqamah. Beliau menulis:
اِصْبِرْ عَلَى طَاعَةِ اللّٰهِ، فَإِنَّ فِي الصَّبْرِ عَلَيْهَا حَلَاوَةً تَجِدُهَا فِي قَلْبِكَ
“Bersabarlah dalam ketaatan kepada Allah, karena dalam kesabaran itu ada kelezatan yang akan engkau rasakan di hatimu.”
Kalimat ini indah sekaligus mendalam. Ia mengajarkan bahwa rasa manis dalam ibadah tidak muncul di awal, tapi di tengah perjuangan menjaga istiqamah. Ketika seseorang tetap taat meski lelah, di situlah hatinya mulai menemukan rasa manis iman.
Penutup: Kedewasaan Iman Tumbuh di Jalan yang Panjang
Konsistensi itu memang susah. Ada hari-hari malas, ada masa jenuh, ada waktu merasa jauh dari Allah. Tapi justru di situlah kedewasaan iman diuji.
Habib al-Haddad mengingatkan dengan lembut dalam Risālatul Mu‘āwanah:
اِسْتَمِرَّ عَلَى مَا بَدَأْتَ مِنَ الْخَيْرِ، فَإِنَّ الْمَوْتَ يَقْطَعُ الْعَمَلَ وَلَا يَقْطَعُ النِّيَّةَ
“Teruskanlah kebaikan yang telah engkau mulai, karena kematian akan memutus amal, tetapi tidak memutus niat.”
Kedewasaan iman bukan diukur dari seberapa cepat kita berubah, tapi seberapa sabar kita bertahan dalam perubahan itu.
Maka, teruslah melangkah. Mungkin langkahmu kecil, tapi konsisten. Mungkin doamu belum berubah dunia, tapi ia sedang menumbuhkan hatimu.
Istiqamah adalah perjalanan seumur hidup — pelan, sunyi, tapi pasti menuju Allah.
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
