Surau.co. Banyak orang menganggap ibadah hanya terjadi di masjid, di atas sajadah, atau di tengah lantunan doa dan zikir. Namun, Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad dalam Risālatul Mu‘āwanah menuntun kita melihat ibadah dengan cara yang lebih luas dan menyeluruh. Ibadah sejati, katanya, bukan hanya rutinitas ritual, tapi juga kesadaran hati yang hadir di setiap aktivitas hidup.
Kita bisa berzikir sambil bekerja, mengingat Allah saat berdagang, bahkan beribadah saat membantu keluarga. Dalam pandangan Risālatul Mu‘āwanah, seluruh hidup manusia bisa menjadi ibadah — asal dilakukan dengan niat yang benar dan kesadaran spiritual yang hidup.
Habib al-Haddad berkata:
وَاجْعَلْ ذِكْرَ اللهِ تَعَالَى عَلَى لِسَانِكَ دَائِمًا فِي جَمِيعِ أَحْوَالِكَ
“Hendaklah lidahmu senantiasa basah dengan menyebut nama Allah dalam setiap keadaanmu.”
Kalimat ini mengandung makna mendalam: ibadah bukan ruang, tapi keadaan hati.
Ibadah Sebagai Kesadaran, Bukan Rutinitas
Kita sering terjebak dalam pola berpikir bahwa ibadah itu hanya sah jika dilakukan dalam bentuk tertentu: salat, puasa, zikir, atau tilawah. Padahal, dalam Islam, makna ibadah jauh lebih luas. Ibadah adalah segala hal yang diniatkan untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Al-Qur’an menegaskan:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56)
Ayat ini bukan sekadar seruan ritual, melainkan pengingat bahwa seluruh kehidupan manusia adalah panggung ibadah. Saat seseorang bekerja dengan jujur, mendidik anak dengan kasih sayang, menolong orang lain dengan tulus — semuanya adalah bentuk ibadah yang hakiki.
Habib al-Haddad berpesan dalam Risālatul Mu‘āwanah:
اِجْعَلْ كُلَّ حَرَكَاتِكَ وَسَكَنَاتِكَ لِلّٰهِ تَعَالَى
“Jadikan setiap gerak dan diammu semata-mata karena Allah.”
Artinya, ibadah tidak berhenti di masjid. Ia hidup dalam napas sehari-hari, dalam langkah, dalam keputusan, dan dalam sikap.
Bekerja dan Berdagang Sebagai Ladang Ibadah
Banyak orang mengira mencari nafkah hanyalah urusan dunia. Padahal, dalam pandangan Risālatul Mu‘āwanah, bekerja juga bisa menjadi jalan menuju Allah jika diniatkan dengan benar.
Habib al-Haddad berkata:
وَاعْلَمْ أَنَّ الْعِبَادَةَ لَيْسَتْ بِكَثْرَةِ الصَّلَاةِ وَالصِّيَامِ، بَلْ بِصِدْقِ النِّيَّةِ وَإِخْلَاصِ الْقَلْبِ
“Ketahuilah, ibadah itu bukan banyaknya salat dan puasa, melainkan kejujuran niat dan keikhlasan hati.”
Seorang pedagang yang jujur, menurut beliau, bisa lebih dekat dengan Allah daripada seorang ahli ibadah yang sombong. Rasulullah ﷺ bersabda:
التَّاجِرُ الصَّدُوقُ الأَمِينُ مَعَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ
“Pedagang yang jujur dan amanah akan bersama para nabi, shiddiqin, dan syuhada.” (HR. Tirmidzi)
Dalam konteks ini, pekerjaan sehari-hari — jika dilandasi niat yang benar — bukan hanya aktivitas ekonomi, melainkan jalan spiritual. Dengan bekerja jujur, seseorang sedang beribadah.
Mengingat Allah di Tengah Aktivitas Dunia
Kehidupan modern sering membuat manusia sibuk hingga lupa pada Allah. Tapi Habib al-Haddad memberi resep sederhana: jadikan zikir bagian dari kehidupan, bukan tambahan setelah kehidupan.
Zikir tidak harus selalu dengan tasbih di tangan. Ia bisa hidup di dalam hati saat seseorang tersenyum, saat menahan marah, atau saat berbuat baik diam-diam. Dalam Risālatul Mu‘āwanah, beliau menulis:
اُذْكُرِ اللهَ تَعَالَى فِي سِرِّكَ وَعَلَانِيَتِكَ، وَفِي كُلِّ أَحْوَالِكَ
“Ingatlah Allah, baik dalam rahasia maupun terang-terangan, dan dalam setiap keadaanmu.”
Zikir yang sejati bukan hanya ucapan, tapi kesadaran. Seseorang yang benar-benar mengingat Allah tidak akan menipu, tidak akan sombong, dan tidak akan menyakiti orang lain. Itulah buah dari zikir yang hidup — ia mengubah perilaku menjadi ibadah.
Rumah dan Keluarga Sebagai Tempat Ibadah
Sering kali, rumah dianggap sekadar tempat istirahat. Namun dalam ajaran Habib al-Haddad, rumah juga bisa menjadi tempat ibadah jika diisi dengan niat baik. Mengasuh anak, melayani pasangan, atau membersihkan rumah — semua bisa bernilai ibadah jika dilakukan dengan kesadaran mengharap ridha Allah.
Rasulullah ﷺ bersabda:
وَفِي بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ
“Bahkan dalam hubungan kalian (suami-istri) ada sedekah.” (HR. Muslim)
Makna hadis ini luas. Islam mengajarkan bahwa segala perbuatan baik, bahkan yang tampak duniawi, bisa bernilai ibadah jika diniatkan dengan benar.
Habib al-Haddad mengingatkan:
اِعْمَلْ فِي دُنْيَاكَ لِآخِرَتِكَ
“Beramallah di duniamu untuk akhiratmu.”
Maka, mencintai keluarga, menjaga keharmonisan, atau mendidik anak dengan sabar — semua itu bagian dari ibadah yang mungkin lebih berat daripada salat malam, karena membutuhkan kesabaran dan keikhlasan.
Ibadah di Jalan Sunyi: Ketika Dunia Tak Melihat
Salah satu keindahan ajaran Habib al-Haddad adalah dorongan untuk beramal dalam kesunyian. Beliau menulis bahwa amal yang dilakukan tanpa dilihat manusia memiliki nilai lebih di sisi Allah.
اَخْفِ عَمَلَكَ مَا اسْتَطَعْتَ، فَإِنَّ الخَفَاءَ أَقْرَبُ إِلَى الإِخْلَاصِ
“Sembunyikan amalmu sejauh yang kau mampu, karena kesunyian lebih dekat kepada keikhlasan.”
Dalam dunia yang serba publik, ajaran ini terasa sangat relevan. Banyak orang berlomba menunjukkan kebaikan di media sosial. Padahal, nilai sejati dari ibadah bukan pada siapa yang melihat, tetapi pada siapa kita mengingat.
Ibadah sunyi melatih hati agar tidak tergantung pada pujian. Ia membentuk kepribadian yang matang dan rendah hati. Inilah bentuk zikir tertinggi — mengingat Allah saat tak ada yang tahu selain Dia.
Mengubah Aktivitas Dunia Menjadi Ibadah
Habib al-Haddad menegaskan bahwa kunci utama menjadikan seluruh aktivitas sebagai ibadah adalah niat. Niat ibarat lensa yang mengubah sesuatu yang biasa menjadi luar biasa.
Menulis artikel dengan niat berbagi manfaat, bekerja dengan niat menafkahi keluarga, bahkan tersenyum dengan niat menenangkan hati orang lain — semuanya bernilai ibadah.
Dalam Risālatul Mu‘āwanah, beliau berkata:
النِّيَّةُ أَسَاسُ الأَعْمَالِ، فَصَحِّحْ نِيَّتَكَ فِي كُلِّ أَمْرٍ
“Niat adalah dasar segala amal, maka perbaikilah niatmu dalam setiap urusan.”
Maka, Islam bukan agama yang membatasi, tapi membebaskan. Ia mengajarkan bahwa setiap aktivitas manusia bisa menjadi jalan menuju Allah — selama dilakukan dengan hati yang sadar.
Penutup: Menjadikan Hidup Sebagai Ibadah yang Utuh
Habib al-Haddad mengajarkan bahwa hidup seorang mukmin sejati adalah ibadah yang panjang, dari bangun tidur hingga tidur kembali. Ia bekerja dengan hati yang berzikir, ia beristirahat dengan rasa syukur, ia berbicara dengan kasih, dan ia diam dengan kesadaran.
Ibadah tidak lagi sekadar ritual, tetapi ritme kehidupan.
Tidak hanya di masjid, tetapi di pasar, rumah, sekolah, dan jalanan.
Ketika seseorang memahami ini, maka hidupnya menjadi doa berjalan. Dunia terasa lebih damai, karena hati yang mengingat Allah memancarkan kedamaian itu ke sekitarnya.
فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ
“Ingatlah kepada-Ku, niscaya Aku ingat kepadamu. Bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah kamu ingkari.” (QS. Al-Baqarah: 152)
Maka, marilah kita jadikan setiap aktivitas sebagai zikir, setiap langkah sebagai ibadah, dan setiap napas sebagai kesadaran bahwa kita hidup karena Allah, untuk Allah, dan bersama Allah.
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
