Opinion
Beranda » Berita » Mengukur Indeks Partisipasi Pilkada

Mengukur Indeks Partisipasi Pilkada

Ilustrasi Surat Suara Pilkada 2024
Indeks Partisipasi Pilkada

Oleh : Mada Sukmajati, Pengajar di Departemen Politik Pemerintahan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

Lebih dari dua dekade, demokrasi Indonesia berproses melalui pemilu dan pilkada yang rutin dan terbuka.

Keberhasilan elektoral yang ditandai dengan partisipasi yang tinggi, memunculkan pertanyaan; sejauhmana partisipasi benar-benar bermakna? KPU melakukan inisiasi untuk mewujudkannya dengan menyusun Indeks Partisipasi Pemilu (IPP).

Indeks ini tidak hanya mengukur kehadiran pemilih, tetapi menilai keterlibatan warga sejak awal hingga akhir. KPU ingin menegaskan bahwa partisipasi bukan sekadar angka, melainkan proses sosial dan politik yang dinamis serta multidimensional.

Selama ini, partisipasi masyarakat sering diukur hanya dari angka voter turnout (VTO)—misalnya, 80 persen dianggap tinggi dan 60 persen dianggap rendah. Pandangan ini tidak salah, tetapi terlalu sempit. Seperti dikemukakan Geys (2006), voter turnout hanyalah “the share of the population that has cast its vote,” sementara demokrasi sejati menuntut partisipasi yang sadar, kritis, dan berkelanjutan.

Membangun Etos Kerja Muslim yang Unggul Berdasarkan Kitab Riyadus Shalihin

Karena itu, IPP 2024 dimaksudkan sebagai inovasi konseptual dan metodologis yang mengukur partisipasi tidak hanya secara kuantitatif, tetapi juga kualitatif. Ia menjelaskan seberapa besar dan bagaimana keterlibatan warga terjadi—baik melalui kehadiran di TPS, diskusi publik, perencanaan kebijakan, maupun pengawasan warga.

Dengan lima variabel utama—registrasi pemilih, pencalonan, kampanye, pendidikan pemilih, dan voter turnout—IPP memotret relasi negara dan warga secara utuh. Hasilnya menunjukkan bahwa daerah dengan inovasi pendidikan pemilih dan kampanye berbasis komunitas memiliki partisipasi lebih tinggi, sedangkan yang mengandalkan pola sosialisasi formal cenderung stagnan.

Data ini menegaskan bahwa kualitas partisipasi lahir dari hubungan yang sehat dan partisipatif antara warga dan penyelenggara.
Transformasi mendasar yang muncul dari proyek IPP adalah perubahan posisi KPU dari sekadar pelaksana teknis pemilu menjadi center of knowledge — pusat pengetahuan dan inovasi demokrasi. Dalam dekade sebelumnya, KPU sering dipersepsikan hanya sebagai lembaga administratif yang bertugas melaksanakan tahapan Pilkada.

Namun, dengan kehadiran IPP, peran itu berkembang menjadi lebih strategis. KPU menjadi lembaga yang mengelola, mengolah, dan mendiseminasikan pengetahuan tentang partisipasi politik rakyat Indonesia.

Mengingkatkan Partisipasi

Salah satu temuan penting dari IPP adalah korelasi positif antara inovasi kelembagaan dan tingkat partisipasi. Daerah dengan KPU yang aktif berinovasi dalam sosialisasi dan pendidikan pemilih cenderung memiliki skor IPP yang lebih tinggi. Ini menunjukkan bahwa partisipasi adalah hasil dari desain sosial yang kreatif.

Frugal Living Ala Nabi: Menemukan Kebahagiaan Lewat Pintu Qanaah

Demokrasi yang sehat memerlukan imajinasi kelembagaan, bukan sekadar kepatuhan prosedural.

Dalam konteks ini, inovasi tidak harus selalu digital atau modern. Di banyak daerah, KPU memanfaatkan kearifan lokal: tradisi, kesenian, bahkan ritual adat dijadikan medium untuk menyampaikan pesan demokrasi.

Pendekatan ini memperlihatkan bahwa demokrasi bisa berakar pada budaya sendiri, bukan sekadar meniru model luar. Dengan menggabungkan inovasi dan lokalitas, KPU berhasil membangun jembatan antara formalitas negara dan identitas masyarakat.

IPP menjadi bukti nyata dari orientasi baru itu. Proses penyusunannya melibatkan analisis teoritis, diskusi para pakar, riset lapangan, hingga analisis statistik. Pendekatan ini menunjukkan bahwa KPU mampu mengintegrasikan ilmu sosial, kebijakan publik, dan teknologi data dalam satu kerangka kerja ilmiah.

Produksi Pengetahuan

Dengan demikian, KPU tidak hanya menjalankan pemilu, tetapi juga memproduksi pengetahuan baru tentang demokrasi.
Lebih dari itu, melalui IPP di Pilkada 2024, ekosistem pembelajaran demokrasi antar wilayah (peer learning) dapat terbangun. KPU daerah kini tidak sekadar pelaksana perintah pusat, melainkan laboratorium demokrasi lokal yang saling bertukar praktik baik.

Menyelaraskan Minimalisme dan Konsep Zuhud: Relevansi Kitab Riyadhus Shalihin di Era Modern

Mekanisme ini menjadikan KPU sebagai lembaga pembelajar (learning organization) sekaligus penyebar gagasan (knowledge disseminator).
Dalam era digital, kekuatan lembaga publik tidak lagi ditentukan semata oleh otoritas administratif, melainkan oleh kemampuannya dalam mengelola data dan pengetahuan.

Dalam konteks ini, IPP berperan sebagai infrastruktur pengetahuan demokrasi yang menyediakan basis data empiris kaya untuk memahami faktor-faktor keterlibatan pemilih dan merumuskan strategi perluasan inklusivitas politik.

Ruang Kolaborasi

Keberadaan IPP juga membuka ruang kolaborasi lintas sektor antara akademisi, lembaga riset, dan organisasi masyarakat sipil melalui model co-creation of knowledge, di mana data menjadi sumber bersama untuk menganalisis, berdiskusi, dan mengembangkan solusi kebijakan.

Kolaborasi berbasis pengetahuan ini tidak hanya memperkaya praktik demokrasi, tetapi juga memperkuat akuntabilitas publik dan menjadikan proses politik lebih transparan serta partisipatif.

Ke depan, IPP dapat menjadi panduan untuk mengarahkan strategi partisipasi yang berkelanjutan. Partisipasi yang kokoh tidak lahir dari kampanye singkat, melainkan dari kepercayaan jangka panjang antara warga dan penyelenggara.

Karena itu, keberlanjutan IPP perlu dijaga melalui pembaruan metode, perluasan data, dan kerja sama berbagai pihak.

Dengan demikian, IPP bukan hanya alat ukur, tetapi juga mesin pembelajaran demokrasi yang terus memperbaiki kualitas partisipasi politik di Indonesia.

Lebih dari sekadar indikator statistik, IPP menjadi cermin yang memantulkan dinamika partisipasi rakyat di setiap tahapan pemilihan dan menunjukkan bahwa demokrasi sejati tumbuh bukan hanya di bilik suara, melainkan juga di ruang sosial tempat warga berdiskusi, belajar, dan berkolaborasi.

Bagi KPU, IPP bukan sekadar proyek teknis, tetapi manifestasi dari transformasi kelembagaan. KPU meneguhkan diri sebagai pusat pengetahuan demokrasi (center of knowledge) — lembaga yang tidak hanya menyelenggarakan pemilu, tetapi juga merawat, meneliti, dan mengembangkan pengetahuan tentang partisipasi rakyat.

Di tengah tantangan global terhadap demokrasi, langkah ini menempatkan Indonesia pada posisi yang istimewa: sebagai salah satu negara berkembang yang tidak hanya mampu melaksanakan pemilu, tetapi juga merefleksikannya secara ilmiah.

Inilah sumbangan KPU bagi dunia — bahwa demokrasi yang sejati sebenarnya merupakan proses pembelajaran yang berkelanjutan.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement