SURAU.CO – Sa’id bin Zaid termasuk sahabat Nabi yang berasal dari golongan Muhajirin penyembah berhala. Ia merupakan putra dari Zaid bin ‘Amr, seorang tokoh Quraisy yang berpegang teguh pada ajaran tauhid bahkan sebelum Islam datang. Keyakinan kuat ayahnya membuat kaum Quraisy menekan dan menakut-nakutinya karena mereka menentang ajaran monoteisme.
Ketika penderitaannya semakin berat, Zaid bin ‘Amr melarikan diri dari kejaran kaum Quraisy. Ia bersembunyi sambil diam-diam mengunjungi Nabi Muhammad ﷺ sebelum masa kenabian tiba. Namun, setelah kembali ke Makkah, kaum Quraisy kembali menderita. Dalam kondisi lemah dan terdesak, Zaid menengadahkan tangan dan berdoa penuh harap, “Ya Allah, jika Engkau menghalangi kebaikan dariku, janganlah Engkau halangi kebaikan dari Sa’id anakku.”
Allah mengabulkan doa itu dengan cara yang luar biasa. Sa’id bin Zaid bersama istrinya, Fathimah binti Khathab —adik Umar bin Khathab—menerima hidayah dan memeluk Islam. Keduanya memilih meninggalkan penyembahan berhala dan bergabung dengan barisan pertama umat Islam yang beriman di tengah tekanan berat masyarakat Makkah.
Kesetiaan dan Perjuangan di Jalan Islam
Sebagai salah satu sahabat Muhajirin, Sa’id bin Zaid menampilkan komitmen penuh terhadap Islam. Ia beriman kepada Allah dan membenarkan kerasulan Nabi Muhammad ﷺ dengan sepenuh hati. Sejak awal, ia mendedikasikan hidupnya untuk membela agama Allah.
Sa’id serta ikut serta dalam berbagai peperangan bersama Rasulullah ﷺ, termasuk Perang Yarmuk, salah satu pertempuran terbesar dalam sejarah Islam. Saat itu, pasukan Muslim berjumlah sekitar 24 ribu orang, sedangkan pasukan Romawi mencapai 120 ribu prajurit. Meskipun jumlah mereka jauh lebih sedikit, Sa’id dan para sahabat tidak gentar. Mereka terus terjadi sambil berzikir dan bertawakal kepada Allah hingga kemenangan besar berpihak kepada kaum Muslimin.
Kemenangan itu menunjukkan bahwa keberanian dan keimanan jauh lebih kuat daripada jumlah pasukan atau kekuatan senjata. Sa’id membuktikan bahwa keteguhan iman mampu mengalahkan kekuatan sebesar apa pun.
Ujian Fitnah dan Doa yang Menjadi Kenyataan
Setelah masa peperangan usai, Sa’id bin Zaid menetap di Dimasyq (Damaskus). Kehidupan yang semula tenang berubah ketika seorang wanita bernama Arwa menuduhnya merebut sebidang tanah miliknya. Tuduhan itu menyebar luas dan mencemarkan nama dengan baik Sa’id di hadapan masyarakat.
Sebagai sahabat Nabi yang dikenal jujur dan saleh, Sa’id sangat terpukul menghadapi fitnah tersebut. Namun, ia tidak membalas dengan kemarahan atau kekerasan. Ia memilih mengadukan semuanya kepada Allah. Dengan hati yang hancur, ia berdoa, “Ya Allah, Arwa telah menuduhku. Jika dia berdusta, maka butakanlah matanya dan matikanlah dia di tempat tanah yang dia tuduhkan padanya.”
Allah segera menunjukkan keadilan-Nya. Tak lama setelah doa itu, Arwa kehilangan penglihatannya dan benar-benar menjadi buta . Peristiwa tersebut memperlihatkan betapa kuatnya doa orang-orang yang teraniaya. Allah menegakkan kebenaran Sa’id dan menampilkan keadilan-Nya di dunia.
Tak hanya itu, Allah mengirimkan banjir besar di Dimasyq —banjir yang belum pernah terjadi sebelumnya. Air bah itu ditampilkan dengan jelas batas-batas tanah yang sebenarnya. Dari situlah masyarakat menyadari bahwa tuduhan Arwa hanyalah sebuah cuplikan. Kebenaran pun berpihak kepada Sa’id sepenuhnya.
Janji Surga untuk Sa’id bin Zaid
Kemuliaan Sa’id bin Zaid semakin nyata ketika Rasulullah ﷺ menyebut dirinya sebagai salah satu dari sepuluh sahabat yang menjanjikan surga (al-‘Asyrah al-Mubasysyarah bil Jannah) . Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad, Tirmidzi, dan An-Nasa’i, Rasulullah ﷺ bersabda:
“Abu Bakar di surga, Umar di surga, Utsman di surga, Ali di surga, Thalhah di surga, Az-Zubair di surga, Abdur Rahman bin Auf di surga, Sa’d bin Abi Waqqas di surga, Sa’id bin Zaid di surga, dan Abu Ubaidah bin al-Jarrah di surga.”
Julukan itu bukan sekedar gelar, melainkan pengakuan atas perjuangan dan keikhlasan hidup Sa’id bin Zaid. Ia berjuang di medan perang, menegakkan keadilan, bersabar menghadapi fitnah, dan selalu menjadikan doa sebagai sumber kekuatan dalam menghadapi ujian hidup.
Pelajaran dari Kehidupan Sa’id bin Zaid
Kisah Sa’id bin Zaid mengajarkan bahwa doa yang keluar dari hati yang ikhlas mampu menembus langit. Doa menjadi senjata paling kuat bagi orang beriman, terutama bagi mereka yang mengalami kezaliman. Rasulullah ﷺ pernah bersabda:
“Takutilah doa orang yang teraniaya, karena antara dia dengan Allah tidak ada hijab (penghalang).”
Melalui kisah ini, umat Islam belajar bahwa kezaliman tidak akan bertahan lama. Allah selalu menghadirkan keadilan pada waktunya. Sa’id bin Zaid menjadi simbol kekuatan seorang mukmin sejati—seseorang yang tidak menggantungkan nasibnya pada manusia, melainkan hanya kepada Allah.
Sa’id hidup dengan keyakinan bahwa setiap cobaan memiliki hikmah, dan setiap doa memiliki waktu untuk terkabul. Ia menunjukkan bahwa kekuatan sejati tidak terletak pada senjata, kekuasaan, atau jumlah, tetapi pada ketulusan hati, kesabaran, dan keyakinan dalam doa.
Kisah hidup Sa’id bin Zaid menjadi pengingat bagi umat Islam agar tetap bersabar, terus berdoa, dan percaya bahwa Allah tidak pernah menutup pintu bagi hamba yang memohon dengan ikhlas. Sebab doa yang lahir dari hati yang teraniaya tidak hanya mengungkap kebenaran di dunia, tetapi juga membuka jalan menuju keabadian abadi di sisi Allah.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
