SURAU.CO. Bayangkan seorang mahasiswa di pelosok negeri yang penuh semangat menuntut ilmu, namun harus berhenti kuliah karena biaya yang tak terjangkau. Ia tidak kurang cerdas, tidak malas, hanya kalah oleh angka di lembar tagihan kampus. Banyak anak negeri yang mengalami kondisi ini dari Sabang sampai Merauke.Di sisi lain, ada mereka yang lebih beruntung, dengan sumber daya melimpah, dapat melangkah mulus hingga toga terpasang dengan kebanggaan. Inilah ironi dunia pendidikan kita, tempat cita-cita seharusnya tumbuh tanpa hambatan, tetapi sering kali realitas ekonomi memupus cita-cita itu.
Padahal, konstitusi Indonesia dengan tegas menempatkan pendidikan sebagai hak dasar setiap warga negara. Dalam pembukaan UUD 1945 juga tertulis“Mencerdaskan kehidupan bangsa.” Artinya, pendidikan bukanlah hadiah bagi yang mampu, melainkan tanggung jawab negara bagi seluruh rakyatnya. Namun fakta di lapangan berkata lain. Menurut data BPS, biaya pendidikan tinggi kini mencapai rata-rata Rp20 juta per tahun, belum termasuk biaya hidup dan bahan kuliah. Tak heran, banyak mahasiswa terpaksa menunda bahkan menghentikan studi karena beratnya beban finansial.
Ketika Pendidikan Menjadi Barang Mewah
Perguruan tinggi negeri awalnya menerapkan sistem Uang Kuliah Tunggal (UKT) bermaksud untuk menciptakan keadilan, mahasiswa membayar sesuai kemampuan ekonomi. Konsepnya sederhana, yang kaya membantu yang kurang mampu melalui skema subsidi silang. Namun realitanya jauh lebih rumit. Banyak mahasiswa merasa UKT justru memberatkan, apalagi dengan kebijakan yang kurang transparan.
Dalam temuan penelitian yang dilakukan di 51 program studi PTKIN (Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri), muncul tiga masalah besar yaitu ketidakpastian, ketimpangan, dan keterpaksaan. Banyak program studi tidak dilibatkan dalam penentuan biaya, mahasiswa bingung dengan dasar penetapan tarif, dan sebagian merasa “terpaksa” menyetujui kontrak UKT karena khawatir kehilangan kesempatan kuliah.
Kondisi ini menimbulkan pertanyaan moral yang tajam: apakah kebijakan biaya pendidikan kita sudah benar-benar adil?
Dalam pandangan Islam, pendidikan tidak hanya sarana mencari kerja, tetapi jalan menuju kesempurnaan manusia sebagai insan kamil. Al-Ghazali menegaskan, ilmu yang sejati adalah yang mendekatkan manusia kepada Allah, bukan sekadar menambah kekayaan dunia. Karena itu, menuntut ilmu dalam Islam bersifat fardhu. Menuntut ilmu menjadi fardhu ‘ain (kewajiban individu) untuk ilmu agama, dan fardhu kifayah (kewajiban sosial) untuk ilmu umum seperti kedokteran, teknik, atau ekonomi.
Lebih jauh lagi, Islam menempatkan pendidikan sebagai hak sosial yang harus dijaga negara dan masyarakat. Prinsip maqāṣid al-syarī‘ah (tujuan hukum Islam) menegaskan pentingnya menjaga akal (ḥifẓ al-‘aql) dan harta (ḥifẓ al-māl). Tanpa pendidikan, akal manusia akam tumpul. Tanpa dukungan finansial yang adil, akses terhadap ilmu menjadi terhalang.
Qur’an surat An-Nahl ayat 90 menegaskan, “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat ihsan.” Prinsip ‘adl berarti menempatkan sesuatu pada tempatnya, yang mampu membantu yang lemah, yang berlebih menolong yang kekurangan. Sedangkan ihsan menuntut empati dan kasih, terutama kepada mereka yang tersisih secara ekonomi. Dalam konteks pendidikan, ihsan berarti membuka peluang belajar bagi semua, tanpa memandang isi dompet.
Ketimpangan yang Terlihat dan yang Tersembunyi
Sebuah penelitian menemukan bahwa kebijakan UKT sering kali tidak mempertimbangkan kebutuhan nyata antarprogram studi. Jurusan teknik dan sains, misalnya, membutuhkan laboratorium mahal, sementara ilmu sosial lebih banyak mengandalkan diskusi dan penelitian lapangan. Namun perbedaan ini belum sepenuhnya tercermin dalam perhitungan biaya. Akibatnya, ada jurusan yang membayar lebih tinggi tanpa proporsi kebutuhan yang jelas.
Selain itu, mahasiswa di tahap akhir yang hanya menyusun skripsi, masih diwajibkan membayar penuh. Padahal aktivitas akademiknya jauh berkurang. Hal ini jelas tidak sejalan dengan prinsip rahmah (kasih sayang) dan maslahah (kemanfaatan umum) dalam Islam, yang menuntut kebijakan adaptif dan manusiawi.
Banyak mahasiswa mengaku menandatangani perjanjian UKT “karena terpaksa”. Ia ingin kuliah, namun tak punya pilihan lain. Fenomena ini menunjukkan adanya ketimpangan struktural. mahasiswa diposisikan sebagai pihak lemah yang harus tunduk pada sistem tanpa ruang negosiasi. Dalam kaca mata filsafat moral, hal ini mencederai prinsip keadilan yang sejati.
Filsuf Amerika, John Rawls, dalam bukunya A Theory of Justice, menawarkan konsep “justice as fairness” yaitu keadilan sebagai kewajaran. Ia membayangkan situasi di mana setiap orang merancang aturan sosial tanpa tahu posisi mereka di masyarakat, kaya atau miskin, kuat atau lemah. Dalam kondisi ketidaktahuan itu, tentu semua orang akan memilih sistem yang melindungi yang paling lemah, karena bisa saja merekalah yang berada di posisi itu.
Dalam konteks pendidikan, teori ini berarti kebijakan biaya kuliah harus dibuat seolah-olah pembuat kebijakan sendiri bisa menjadi mahasiswa paling miskin. Prinsip Rawls juga menegaskan dua hal dalam mewujudkan keadilan itu. Pertama, setiap orang berhak atas kebebasan dasar yang sama. Kedua, ketimpangan ekonomi hanya boleh ada jika memberi manfaat terbesar bagi yang paling tidak beruntung.
Jika kita menilai sistem UKT dengan kacamata Rawls, banyak aspek yang belum sejalan. Keterlibatan mahasiswa minim, transparansi rendah, dan subsidi sering tidak tepat sasaran. Sebaliknya, prinsip keadilan menghendaki partisipasi, keterbukaan, dan keberpihakan nyata pada kelompok rentan.
Menyatukan Hikmah Islam dan Filsafat Moral
Ketika nilai-nilai Islam dan teori Rawls ditempatkan berdampingan, keduanya ternyata saling menguatkan. Islam menekankan ‘adl (keadilan proporsional) dan ihsan (kepedulian), sedangkan Rawls menegaskan pentingnya perlindungan bagi yang lemah. Keduanya berpadu dalam satu pesan, bahwa keadilan sejati tidak berhenti pada angka di laporan keuangan, tetapi terwujud ketika setiap anak bangsa bisa belajar tanpa takut tidak mampu membayar.
Pendidikan, dalam pandangan Islam maupun filsafat modern, adalah tanggung jawab bersama. Negara harus memastikan kebijakan pembiayaan berpihak pada kesejahteraan rakyat, bukan semata pada efisiensi anggaran. Masyarakat pun harus berperan aktif melalui zakat, wakaf pendidikan, dan donasi sosial, agar cita-cita mencerdaskan bangsa menjadi nyata.
Kampus dalam melakukan perhitungan UKT yang lebih adil dan berbasis realitas akademik dengan membuat indikator kebutuhan yang terukur. Disamping itu, perlu menjamin transparansi penuh dalam penentuan dan penggunaan dana. Kemudian melakukan evaluasi berkala berdasarkan prinsip keadilan sosial dan kemaslahatan umat.
Selain itu, kampus-kampus Islam di Indonesia diharapkan dapat bersinergi dengan lembaga zakat, BAZNAS, atau wakaf pendidikan untuk menciptakan sistem beasiswa berkelanjutan. Dengan begitu, mahasiswa dari keluarga kurang mampu tidak lagi terancam putus kuliah karena biaya.
Keadilan biaya pendidikan bukan semata urusan teknis keuangan, melainkan cermin moral dari peradaban. Sebuah bangsa yang adil bukanlah yang melahirkan sarjana kaya, tetapi yang memberi kesempatan sama bagi setiap warganya untuk menjadi cerdas. Islam dan filsafat modern sepakat dalam hal ini, bahwa ilmu adalah cahaya yang tidak boleh dimonopoli.
Maka, saat kita berbicara tentang biaya pendidikan, yang sebenarnya kita bicarakan adalah masa depan bangsa. Semoga lembaga pendidikan, pemerintah, dan masyarakat dapat berjalan seiring, menjadikan keadilan bukan sekadar slogan, tetapi napas dalam setiap ruang kelas di negeri ini.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
