Khazanah
Beranda » Berita » Menjadi Insan Kamil: Misi Terakhir Manusia dilihat dari Kitab Tahdzīb al-Akhlāq

Menjadi Insan Kamil: Misi Terakhir Manusia dilihat dari Kitab Tahdzīb al-Akhlāq

Manusia berdiri dalam cahaya keemasan, melambangkan keseimbangan akal, hati, dan tindakan menuju insan kamil.
Seorang manusia berdiri di puncak bukit di bawah langit berwarna keemasan, dikelilingi cahaya lembut yang memancar dari dalam dirinya. Di sekeliling tampak bayangan samar tiga sosok: akal, hati, dan tangan

Surau.co. Di dunia yang serba cepat dan hiruk-pikuk ini, banyak manusia sibuk mengejar pencapaian lahiriah — jabatan, materi, dan pengakuan sosial. Namun, sedikit orang yang berhenti sejenak dan bertanya: untuk apa semua ini? Pertanyaan sederhana namun mendasar itu menjadi inti perenungan Ibnu Miskawaih dalam karya monumentalnya, Tahdzīb al-Akhlāq, sebuah kitab yang membimbing manusia menyempurnakan dirinya agar menjadi insan kamil, manusia paripurna.

Menurut Miskawaih, manusia bukan sekadar makhluk yang makan, tidur, dan bekerja, tetapi makhluk yang Allah anugerahi akal dan hati untuk menemukan keseimbangan antara dunia dan akhirat. Ia menulis:
“غَايَةُ الأَخْلَاقِ هِيَ تَشَبُّهُ الإِنْسَانِ بِالْعَقْلِ الْفَعَّالِ عَلَى قَدْرِ طَاقَتِهِ”
“Tujuan tertinggi dari akhlak adalah menyerupai kesempurnaan akal aktif sesuai kemampuan manusia.”

Dengan kata lain, manusia menjalani misi hidup dengan meniru kesempurnaan ilahi sejauh kemampuan kemanusiaannya — menjadi insan utuh yang selaras antara akal, hati, dan tindakannya.

Makna Menjadi Insan Kamil

Konsep insan kamil atau manusia sempurna berakar kuat dalam tradisi Islam. Ia bersumber dari Al-Qur’an dan hadits. Allah berfirman:
لَقَدْ خَلَقْنَا الإِنسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ
“Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” (QS. Al-Tin: 4)

Ayat ini menegaskan potensi luhur manusia. Namun, kesempurnaan itu bukan hadiah; manusia harus membentuknya. Ibnu Miskawaih menekankan bahwa manusia lahir dengan potensi kebaikan, tetapi potensi itu perlu dilatih untuk berkembang menjadi karakter yang matang.

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Ia menegaskan bahwa menjadi insan kamil berarti menyeimbangkan tiga kekuatan dalam diri: akal, nafsu, dan amarah. Akal berperan sebagai pemimpin, nafsu sebagai pelayan, dan amarah sebagai penjaga; ketika ketiganya bekerja selaras, terciptalah kepribadian harmonis. Sebaliknya, ketika nafsu dan amarah mendominasi tanpa bimbingan akal, manusia terjerumus ke dalam kerusakan moral.

Akal sebagai Kompas Moral

Bagi Ibnu Miskawaih, akal menjadi sumber kebijaksanaan yang membedakan manusia dari makhluk lain. Akal tidak hanya alat berpikir, tetapi juga penuntun moral. Ia membantu manusia mengenali baik dan buruk, lalu memilih yang benar meski menghadapi kesulitan.

Dalam Tahdzīb al-Akhlāq, beliau menulis:
“وَالعَقْلُ إِذَا سَلِمَ مِنْ تَغْلِيبِ الشَّهْوَةِ وَالْغَضَبِ، أَدَّى إِلَى مَعْرِفَةِ الخَيْرِ وَاعْتِنَاقِهِ”
“Akal yang selamat dari dominasi hawa nafsu dan amarah akan membawa manusia kepada pengetahuan tentang kebaikan dan berpegang padanya.”

Dalam konteks modern, ini mengingatkan kita bahwa kecerdasan sejati tidak diukur dari IQ atau gelar akademik, tetapi dari kemampuan menggunakan akal untuk menuntun hati dan perbuatan. Orang cerdas sejati bukan yang berpikir cepat, tetapi yang bijak dalam menghadapi dilema moral.

Hati Sebagai Cermin Ketulusan

Namun, akal tanpa hati bisa menjadi kering. Miskawaih menegaskan pentingnya qalb sebagai pusat kepekaan moral. Akal menentukan arah, tetapi hati memberi tenaga spiritual untuk melangkah.

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

Rasulullah ﷺ bersabda:
أَلَا وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً، إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ، وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ، أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ
“Ketahuilah bahwa dalam tubuh ada segumpal daging; jika ia baik, seluruh tubuh akan baik, dan jika ia rusak, seluruh tubuh akan rusak. Ketahuilah, itulah hati.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Ketulusan hati memberi nilai pada setiap tindakan. Seseorang yang menolong dengan hati bersih, meski bantuan kecil, lebih mulia daripada mereka yang berbuat besar dengan niat sombong. Miskawaih menekankan muraqabah atau pengawasan diri agar hati tetap jernih. Kebahagiaan sejati muncul bukan dari memiliki segalanya, tetapi dari hati yang bebas dari keinginan menyesatkan.

Tindakan: Buah dari Akal dan Hati yang Selaras

Akal dan hati hanyalah potensi. Mereka menjadi nyata melalui tindakan manusia. Di dunia kerja, bisnis, dan interaksi sosial, nilai akhlak sering bertabrakan dengan realitas.

Ibnu Miskawaih menulis:
“الأخلاقُ تُكْتَسَبُ بِالعَادَةِ وَالتَّدْرِيبِ”
“Akhlak dapat diperoleh melalui kebiasaan dan latihan.”

Untuk menjadi insan kamil, seseorang tidak cukup mengetahui kebaikan, tetapi harus membiasakan diri melakukannya. Disiplin moral muncul dari hal-hal kecil: cara berbicara, menepati janji, dan memperlakukan orang lain dengan adil.

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Menyeimbangkan Akal, Hati, dan Perbuatan

Miskawaih menekankan keseimbangan sebagai inti akhlak. Jika manusia condong pada satu sisi, kesempurnaan sulit tercapai. Akal yang terlalu dominan bisa membuat kaku dan sombong. Hati yang berlebihan tanpa arahan akal bisa menjerumuskan pada sentimentalitas semu. Tindakan tanpa bimbingan keduanya akan kehilangan arah.

Al-Qur’an menegaskan:
وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا
“Dan carilah dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu kebahagiaan negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu di dunia.” (QS. Al-Qashash: 77)

Ayat ini mengajarkan manusia mengelola dunia tanpa mengabaikan spiritualitas. Menjadi insan kamil berarti menata dunia dengan hati suci dan akal jernih.

Menjadi Insan Kamil di Era Modern

Hari ini, menjadi insan kamil berarti menghadirkan nilai moral di tengah dunia yang penuh distraksi. Saat media sosial dipenuhi citra palsu dan kompetisi hidup semakin tajam, menjaga akhlak menjadi bentuk jihad baru.

Miskawaih mengajarkan manusia memulai perubahan dari dalam. Jangan menilai dunia sebelum menata diri sendiri. Beliau menerangkan:

“إِصْلَاحُ النَّفْسِ أَصْلُ كُلِّ خَيْرٍ”
“Memperbaiki diri adalah asal dari segala kebaikan.”

Pesan ini relevan: dunia tidak akan berubah jika manusia di dalamnya tidak memperbaiki dirinya.

Kesempurnaan Moral: Misi Terakhir Manusia

Menjadi insan kamil bukan sekadar cita-cita spiritual, tetapi misi eksistensial. Ketika akal, hati, dan tindakan selaras, manusia menemukan kebahagiaan sejati — bukan karena memiliki segalanya, tetapi karena menjadi dirinya yang paling utuh.

Rasulullah ﷺ bersabda:
خِيَارُكُمْ أَحْسَنُكُمْ أَخْلَاقًا
“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik akhlaknya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadits ini menegaskan bahwa kemuliaan manusia diukur dari akhlaknya. Puncak akhlak tercapai saat pikiran, perasaan, dan tindakan menyatu dalam kesatuan harmonis.

Penutup: Jalan Sunyi Menuju Kesempurnaan

Menjadi insan kamil bukan perjalanan mudah. Ia adalah proses panjang seumur hidup. Setiap kesalahan menjadi guru, setiap cobaan menjadi cermin, dan setiap perbuatan baik menjadi langkah menuju kesempurnaan.

Ibnu Miskawaih menulis, manusia yang terus memperbaiki dirinya sedang berjalan menuju “surga batin” — kedamaian yang lahir dari selarasnya akal, hati, dan tindakan.

Ketika dunia membuat kita lelah, itu bisa menjadi tanda bahwa kita terlalu jauh dari pusat diri. Kembalilah ke dalam. Benahi pikiran, lembutkan hati, dan luruskan tindakan. Karena, manusia sejati bukan yang menaklukkan dunia, tetapi yang menaklukkan dirinya sendiri

*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement