Surau.co. Setiap manusia mendambakan kebahagiaan. Namun, di zaman modern ini, banyak orang menilai bahagia dari hal-hal yang tampak di luar: mobil mewah, gawai terbaru, liburan ke luar negeri, atau banyaknya “likes” di media sosial. Padahal, kebahagiaan sejati tidak selalu bersumber dari yang terlihat. Ia justru tumbuh dari dalam diri—dari hati yang tenteram, pikiran yang jernih, dan jiwa yang seimbang.
Ibnu Miskawaih, filsuf moral Islam abad ke-10, menjelaskan dalam karya monumentalnya Tahdzīb al-Akhlāq bahwa kebahagiaan (sa‘ādah) merupakan buah dari kesempurnaan jiwa, bukan dari limpahan harta atau kedudukan duniawi. Ia menegaskan:
السعادة هي حالة النفس التي تنال بها لذتها الخاصة الدائمة
“Kebahagiaan adalah keadaan jiwa yang memperoleh kenikmatannya yang khusus dan abadi.”
Dengan kata lain, sumber kebahagiaan sesungguhnya terletak pada kemampuan seseorang mengelola batinnya, bukan pada kemewahan yang ia kumpulkan.
Kebahagiaan dalam Pandangan Islam
Islam tidak menolak kesenangan duniawi, tetapi agama ini menempatkannya secara proporsional. Al-Qur’an menegaskan:
﴿ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ ﴾
“Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra’d [13]: 28)
Ayat ini mengajarkan bahwa ketenangan hati adalah akar dari kebahagiaan sejati. Dalam pandangan Islam, kebahagiaan muncul ketika manusia hidup selaras dengan dirinya, sesama, dan Tuhannya. Saat hati sudah terpaut kepada Allah, dunia luar tidak lagi mengguncang kedamaian batinnya.
Ibnu Miskawaih menambahkan bahwa kebahagiaan bukan sekadar rasa senang, melainkan hasil kemampuan akal dan jiwa berjalan sesuai fitrahnya. Jiwa yang berakhlak mulia akan tetap merasakan nikmat batin meski dalam kesulitan. Ia menulis, “Sesungguhnya kebahagiaan tidak tergantung pada banyaknya nikmat dunia, tetapi pada kebijaksanaan yang menuntun jiwa menuju keseimbangan.”
Menemukan Akar Kebahagiaan: Mengelola Jiwa
Menurut Ibnu Miskawaih, manusia memiliki tiga kekuatan utama dalam dirinya: akal (nathiqah), amarah (ghadabiyyah), dan syahwat (syahwiyyah). Kebahagiaan hanya muncul jika ketiganya seimbang. Bila salah satu mendominasi, kehidupan akan kehilangan harmoni.
Karena itu, akal harus memimpin dua kekuatan lainnya. Ketika amarah dan nafsu tunduk pada bimbingan akal yang bijak, seseorang akan menemukan ketenangan. Sebaliknya, jika akal dikalahkan oleh nafsu, jiwa akan terjerat kegelisahan. Dari sini, Miskawaih menekankan pentingnya tahdzīb al-nafs—penyucian jiwa—sebagai jalan menuju kebahagiaan sejati.
Ia menulis dengan tegas: “Jiwa yang baik tidak lahir secara tiba-tiba, tetapi tumbuh melalui kebiasaan dan latihan yang panjang.” Seperti tubuh yang kuat karena latihan, jiwa pun perlu dibina terus-menerus agar tangguh menghadapi cobaan hidup.
Kebahagiaan Bukan dari Keadaan, Tapi dari Sikap
Banyak orang menunda kebahagiaan—menunggu gaji naik, menunggu pasangan datang, atau menunggu keadaan membaik. Padahal, menunda bahagia sama saja dengan menambah penderitaan. Kebahagiaan sejati tidak menunggu keadaan ideal; ia lahir dari cara kita memandang keadaan.
Rasulullah ﷺ bersabda:
« لَيْسَ الغِنَى عَنْ كَثْرَةِ العَرَضِ، وَلَكِنَّ الغِنَى غِنَى النَّفْسِ »
“Kekayaan bukanlah banyaknya harta, tetapi kekayaan adalah kaya jiwa.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini memperkuat pandangan Ibnu Miskawaih bahwa kebahagiaan bersumber dari keseimbangan batin, bukan dari keadaan luar. Jiwa yang kaya akan tetap tenang dalam kesulitan, sedangkan jiwa yang miskin akan tetap gelisah meski berlimpah harta.
Menurut Miskawaih, ketenangan bukan berarti pasrah tanpa usaha, tetapi kesadaran untuk menerima takdir setelah berikhtiar. Ia berkata, “Orang bijak tidak berharap sesuatu di luar kekuasaannya, dan tidak bersedih atas apa yang tak mampu diraihnya.” Inilah kebijaksanaan emosional yang melahirkan kebahagiaan abadi.
Kebahagiaan dan Moderasi: Jalan Tengah yang Menyelamatkan
Salah satu inti ajaran Tahdzīb al-Akhlāq adalah moderasi (wasathiyyah). Miskawaih menjelaskan bahwa setiap kebajikan merupakan keseimbangan antara dua ekstrem. Keberanian, misalnya, terletak di antara rasa takut dan kenekatan; kedermawanan berada di antara kikir dan boros.
Ia menegaskan, kebahagiaan sejati hanya dapat diraih melalui keseimbangan. Al-Qur’an pun mengajarkan:
﴿ وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا ﴾
“Dan demikianlah Kami jadikan kamu umat yang pertengahan.” (QS. Al-Baqarah [2]: 143)
Dengan berjalan di jalan tengah, manusia tidak terjebak dalam nafsu dunia, tetapi juga tidak mengabaikan kebutuhan hidup. Moderasi menjadi seni hidup bahagia—menyatukan tubuh, akal, dan ruh dalam harmoni.
Latihan Jiwa Menuju Kebahagiaan Sejati
Miskawaih menegaskan bahwa kebahagiaan tidak datang seketika. Ia butuh disiplin moral dan latihan batin yang terus-menerus. Beberapa langkah yang ia anjurkan antara lain:
1. Muhasabah Diri.
Setiap hari, seseorang perlu menilai dirinya: apakah hari ini lebih baik dari kemarin? Apakah ia mampu menahan amarah dan menundukkan hawa nafsu? Refleksi diri adalah kunci menuju kematangan batin.
2. Membiasakan Kebaikan.
Kebiasaan melahirkan karakter. Semakin sering seseorang berbuat baik, semakin kuat kecenderungan jiwanya pada kebenaran. Akhlak, seperti api yang terus dijaga, akan padam bila dibiarkan.
3. Menghindari Ketergantungan Duniawi.
Miskawaih menasihati agar manusia memanfaatkan dunia tanpa diperbudak olehnya. Dunia hanyalah sarana, bukan tujuan. Ketika hati bebas dari ketergantungan, kebahagiaan pun mengalir dengan tenang.
Melalui latihan ini, manusia melangkah perlahan menuju kebahagiaan sejati—kebahagiaan yang tidak bergantung pada keadaan, tetapi bertumpu pada kematangan jiwa.
Refleksi: Bahagia Itu Bukan Ditemukan, Tapi Dibentuk
Kita hidup di zaman ketika kebahagiaan dijual dalam bentuk iklan, seminar motivasi, atau gaya hidup mewah. Namun kebahagiaan sejati tidak bisa dibeli atau ditemukan secara instan. Ia harus dibentuk melalui proses panjang: mengenal diri, melatih akhlak, dan mendekatkan hati kepada Tuhan.
Ibnu Miskawaih menegaskan bahwa kebahagiaan adalah buah dari kebajikan (fadhilah). Orang yang hidup dalam kebajikan akan merasakan sa‘ādah yang abadi karena jiwanya menyatu dengan nilai Ilahi. Ia menulis, “Orang bahagia adalah yang memperbaiki dirinya, bukan yang sibuk memperbaiki dunia tanpa menata batinnya.”
Maka, sebelum mengejar dunia, kita perlu menata hati. Sebelum mencari cinta manusia, kita harus menumbuhkan cinta Ilahi. Sebab sumber bahagia sejati tidak pernah berada di luar diri, tetapi di dalam hati yang bersih.
Penutup: Bahagia Itu Soal Rasa yang Disucikan
Kebahagiaan sejati, sebagaimana diajarkan Ibnu Miskawaih, bukan tujuan akhir melainkan perjalanan menuju keutuhan jiwa. Setiap manusia memiliki potensi bahagia selama ia mau menyucikan hatinya dari serakah, amarah, dan benci.
Dalam keheningan, ketika hati berserah kepada Allah, di situlah kebahagiaan sejati bersemayam. Bahagia bukan berarti semua masalah selesai, melainkan ketika hati mampu menerima bahwa setiap peristiwa adalah bagian dari kasih-Nya.
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
