Surau.co. Di zaman serba cepat ini, manusia mudah sekali merasa senang — tetapi sulit benar merasa bahagia. Kita senang saat notifikasi datang, saat pesanan tiba, atau saat unggahan mendapat banyak tanda suka. Namun, beberapa jam kemudian, senyum itu memudar. Senang datang cepat, pergi lebih cepat.
Bahagia, kata para filsuf Islam klasik seperti Ibnu Miskawaih, bukan sesuatu yang hinggap sebentar di permukaan jiwa. Ia adalah keadaan batin yang stabil, hasil dari latihan moral yang panjang dan kesadaran spiritual yang matang. Dalam kitab monumental Tahdzīb al-Akhlāq wa Taṭhīr al-A‘rāq (“Penyucian Akhlak dan Pembersihan Watak”), Ibnu Miskawaih menulis:
السعادة هي كمال النفس بما هي نفس ناطقة عاقلة
“Kebahagiaan adalah kesempurnaan jiwa manusia sejauh ia adalah jiwa yang berpikir dan berakal.”
Jadi, bagi beliau, bahagia bukan perasaan yang muncul karena hal-hal lahiriah, tetapi kesempurnaan jiwa yang tahu menempatkan diri dan makna.
Senang Itu Reaktif, Bahagia Itu Reflektif
Kita sering mengira kebahagiaan sama dengan rasa senang. Padahal, keduanya sangat berbeda. Rasa senang muncul karena sesuatu yang datang dari luar — hadiah, pujian, kemenangan. Namun, kebahagiaan sejati tumbuh dari dalam diri. Ia adalah hasil dari keseimbangan antara akal, hati, dan tindakan.
Ibnu Miskawaih menulis, dalam jiwamu ada tiga kekuatan utama: akal, amarah, dan syahwat. Bila ketiganya seimbang, lahirlah kebajikan dan ketenangan; bila salah satu mendominasi, muncullah kegelisahan.
الفضيلة وسط بين طرفين رذيلتين
“Kebajikan adalah jalan tengah antara dua keburukan.”
Rasa senang sering lahir ketika kita menuruti nafsu — makan berlebihan, belanja tanpa henti, atau pamer prestasi. Tapi kebahagiaan, justru lahir ketika kita mampu menahan diri dan menata jiwa.
Bahagia tidak datang dari “menambah” kesenangan, tetapi dari mengatur keinginan. Orang yang bisa menertibkan hasratnya akan menemukan kedamaian yang tidak bisa dibeli oleh apa pun.
Membedakan Bahagia dan Pelarian
Banyak orang modern mencari “bahagia” dengan cara yang justru membuatnya semakin lelah. Mereka berlibur untuk lari dari stres, bukan untuk menenangkan jiwa. Mereka membeli barang baru agar hati terhibur, bukan agar hidup lebih bermakna.
Ibnu Miskawaih memberi peringatan:
ليس اللذة هي السعادة، بل قد تكون اللذة حجابًا عنها
“Kesenangan bukanlah kebahagiaan; bahkan kadang kesenangan menjadi penghalang darinya.”
Ini berarti, mengejar senang secara terus-menerus justru menjauhkan kita dari bahagia. Karena jiwa yang terus dikejar oleh rangsangan luar tak pernah punya waktu untuk mengenal dirinya sendiri.
Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:
أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
“Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenang.”
(QS. Ar-Ra‘d: 28)
Ayat ini menegaskan, ketenangan dan kebahagiaan sejati hanya bisa ditemukan ketika hati mengenal pusatnya — Allah, sumber makna dan arah kehidupan.
Riyadhah Jiwa: Latihan Menuju Bahagia yang Dewasa
Bagi Ibnu Miskawaih, bahagia tidak dicapai secara instan, tetapi melalui riyāḍah an-nafs — latihan jiwa. Seperti halnya tubuh yang memerlukan olahraga agar sehat, jiwa pun perlu latihan agar stabil dan kuat menghadapi gejolak dunia.
Ia menulis dalam Tahdzīb al-Akhlāq:
الرياضة للنفس كالتربية للجسم، بها تقوى وتصفو وتستقيم
“Latihan bagi jiwa seperti pendidikan bagi tubuh; dengannya jiwa menjadi kuat, jernih, dan lurus.”
Latihan itu berupa kebiasaan menahan diri, berpikir jernih sebelum bereaksi, dan menata emosi.
Inilah yang disebut hikmah amaliyyah — kebijaksanaan praktis yang membentuk karakter. Bahagia tidak lahir dari banyaknya hal yang dimiliki, tapi dari kemampuan untuk tetap tenang meski kehilangan.
Bahagia dan Akal yang Seimbang
Ibnu Miskawaih menekankan bahwa akal adalah pemimpin dalam diri manusia. Bila akal sehat memimpin, maka amarah dan syahwat akan tunduk padanya. Namun, bila akal dikalahkan oleh nafsu, hidup akan dipenuhi keserakahan dan penyesalan.
السعيد من أطاع عقله، والشقي من أطاع هواه
“Bahagia adalah orang yang taat kepada akalnya, celaka adalah orang yang taat kepada hawa nafsunya.”
Kebahagiaan sejati hanya dimiliki oleh orang yang mampu berpikir jernih di tengah kegelisahan. Ia tidak mudah terseret oleh tren atau arus opini, karena tahu apa yang berharga bagi hidupnya.
Dalam konteks modern, prinsip ini relevan: bahagia bukan berarti bebas tanpa batas, tetapi mampu memilih yang baik di antara banyak pilihan yang menggoda.
Bahagia yang Bermoral, Bukan Egois
Ada pandangan keliru di masyarakat modern: bahwa bahagia berarti “melakukan apa pun yang kita mau.” Padahal, kebebasan tanpa batas sering berujung kehancuran.
Ibnu Miskawaih menegaskan bahwa kebahagiaan sejati selalu terikat dengan akhlak. Ia menulis:
لا سعادة لمن أفسد أخلاقه
“Tidak ada kebahagiaan bagi orang yang merusak akhlaknya.”
Artinya, bahagia sejati adalah ketika tindakan kita sejalan dengan nilai-nilai kebaikan. Bahagia tidak pernah lahir dari menyakiti orang lain, sekalipun itu membuat kita tampak “menang.”
Kebahagiaan sejati justru lahir dari memberi manfaat. Dalam pandangan Islam, semakin luas manfaat seseorang bagi sesama, semakin tinggi pula tingkat kebahagiaannya. Nabi Muhammad ﷺ bersabda:
خَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lain.”
(HR. Ahmad)
Bahagia bukan milik yang banyak tertawa, tetapi milik yang banyak memberi arti.
Dari Bahagia Pribadi ke Bahagia Sosial
Ibnu Miskawaih menyebut bahwa manusia adalah madaniyyun biṭ-ṭab‘ — makhluk sosial secara fitrah. Artinya, kebahagiaan individu tidak akan sempurna tanpa keterlibatan orang lain.
لا كمال للسعادة إلا بالاجتماع والتعاون
“Kebahagiaan tidak akan sempurna tanpa pergaulan dan kerja sama.”
Orang yang hidup hanya untuk dirinya tidak akan pernah mencapai kebahagiaan utuh. Maka, bahagia yang sejati bukan bahagia yang memisahkan diri, tetapi bahagia yang menular. Dalam masyarakat yang saling peduli, kebahagiaan menjadi energi kolektif — menumbuhkan rasa aman, saling percaya, dan solidaritas.
Bahagia yang Tumbuh dari Kesadaran Spiritual
Bahagia bukanlah akhir dari pencapaian duniawi, tapi buah dari kesadaran spiritual. Ibnu Miskawaih memandang bahwa kebahagiaan tertinggi (as-sa‘ādah al-quṣwā) adalah ketika jiwa mencapai kedekatan dengan Sang Pencipta. Ia menulis:
السعادة القصوى هي التشبه بالإله بقدر الطاقة الإنسانية
“Kebahagiaan tertinggi adalah mendekati sifat-sifat Ilahi sesuai kemampuan manusia.”
Artinya, bahagia sejati bukan ketika kita memiliki segalanya, tapi ketika kita menjadi lebih baik — lebih sabar, lebih pemaaf, lebih dermawan.
Inilah kebahagiaan yang tidak bisa direbut oleh siapa pun, karena bersumber dari dalam diri dan berlabuh kepada Tuhan.
Bahagia dan Zaman yang Penuh Perbandingan
Zaman ini membuat kita mudah membandingkan diri dengan orang lain. Media sosial menghadirkan etalase kesenangan orang lain yang tampak sempurna. Akibatnya, banyak orang merasa gagal hanya karena hidupnya tidak “seindah” hidup orang lain.
Padahal, bahagia bukan hasil perbandingan, tapi hasil penerimaan. Ibnu Miskawaih menyebut:
القناعة رأس السعادة
“Qana‘ah (merasa cukup) adalah puncak kebahagiaan.”
Qana‘ah bukan berarti pasrah, melainkan sadar bahwa setiap orang punya jalan masing-masing menuju kebaikan. Jiwa yang qana‘ah tidak mudah iri, tidak mudah gelisah, dan tidak kehilangan arah.
Ketenangan lahir dari menerima diri apa adanya, sambil terus berusaha menjadi lebih baik. Itulah kebahagiaan yang matang — bahagia yang dewasa.
Penutup: Bahagia Adalah Keheningan yang Panjang
Bahagia sejati tidak datang dengan gegap gempita. Ia hadir pelan, seperti matahari pagi yang naik tanpa suara, tapi memberi terang bagi semua.
Ibnu Miskawaih menulis bahwa kebahagiaan sejati adalah hasil dari hidup yang baik secara berkelanjutan — bukan momen sesaat, tapi perjalanan panjang menuju kebijaksanaan.
Maka, jangan kejar senang yang cepat, tapi latihlah jiwa untuk tenang. Jangan menunggu momen luar biasa, tapi hiduplah dengan makna dalam hal-hal yang sederhana.
Sebab bahagia sejati bukan ketika dunia menepuk pundakmu, tapi ketika hatimu mampu berkata:
“Cukup, aku damai bersama Tuhanku.”
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
