Khazanah
Beranda » Berita » Rakyat Juga Punya Tanggung Jawab Moral

Rakyat Juga Punya Tanggung Jawab Moral

Sekelompok rakyat mencerminkan diri di depan simbol negara, menggambarkan tanggung jawab moral masyarakat dalam pandangan etika Islam.
sekelompok orang dari berbagai latar belakang berdiri di depan cermin besar berbentuk bendera negeri. Wajah mereka tampak bercahaya lembut, seolah sedang bercermin pada nurani masing-masing. Cahaya matahari pagi menyinari mereka, simbol kesadaran moral rakyat yang membangun bangsa.

Surau.co. Setiap kali krisis melanda negeri, banyak orang segera menuding: “Ini salah pemerintah!” Ketika harga naik, pelayanan publik lambat, atau hukum terasa pincang, semua sorotan diarahkan ke atas — seolah rakyat hanyalah penonton tanpa peran. Padahal, dalam pandangan etika Islam klasik, masyarakat bukan sekadar korban dari sistem, melainkan bagian yang aktif membentuknya.

Ibnu Miskawaih, dalam karyanya yang monumental Tahdzīb al-Akhlāq wa Taṭhīr al-A‘rāq (“Penyucian Akhlak dan Pembersihan Watak”), menulis dengan tegas bahwa keadilan sosial dan kemuliaan negara tidak akan terwujud tanpa moralitas rakyatnya. Ia mengatakan:

إِذَا صَلَحَتِ الْأَخْلَاقُ صَلَحَتِ الدُّوَلُ وَاسْتَقَامَتِ الْأُمَمُ
“Apabila akhlak manusia baik, maka baiklah negara dan tegaklah peradaban.”

Artinya, kemajuan bukan hanya soal pemimpin yang adil, tapi juga rakyat yang berakhlak. Rakyat bukan sekadar penerima kebijakan, tetapi juga penopang moral bangsa.

Ketika Etika Publik Menjadi Cermin Diri

Kita sering membayangkan etika publik hanya berlaku bagi pejabat. Padahal, ruang publik kini adalah milik semua — dari jalan raya sampai linimasa media sosial. Setiap komentar, unggahan, dan perilaku di ruang digital adalah potret moral rakyat.

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Di sinilah tanggung jawab moral rakyat diuji. Kita tidak bisa menuntut kejujuran dari pemimpin jika kita sendiri masih terbiasa menyebar kabar tanpa verifikasi. Kita tak bisa menuntut integritas dari birokrat jika kita masih mencari jalan pintas agar urusan pribadi cepat beres.

Ibnu Miskawaih mengingatkan, masyarakat yang rusak moralnya akan melahirkan pemimpin yang serupa. Beliau menulis:

كَمَا تَكُونُوا يُوَلَّى عَلَيْكُمْ
“Sebagaimana keadaan kalian, demikianlah penguasa yang akan memimpin kalian.”

Ungkapan ini bukan sekadar sindiran, tapi hukum sosial. Jika rakyat terbiasa korup dalam skala kecil — seperti menyontek, menipu timbangan, atau mencari jalan pintas — maka jangan heran jika korupsi dalam skala besar pun tumbuh subur di atasnya.

Tanggung Jawab Moral: Lebih dari Sekadar Ketaatan Hukum

Banyak orang mengira tanggung jawab rakyat hanya sebatas membayar pajak dan menaati aturan. Padahal, dalam pandangan etika Islam, tanggung jawab moral jauh melampaui itu. Ia mencakup kejujuran dalam niat, tanggung jawab sosial, dan kesadaran kolektif terhadap kebaikan bersama.

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Allah berfirman dalam Al-Qur’an:

إِنَّ اللّٰهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتّٰى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.”
(QS. Ar-Ra’d: 11)

Ayat ini menegaskan bahwa perubahan sosial berawal dari perubahan moral individu. Maka, ketika rakyat ingin hidup dalam keadilan, mereka harus lebih dahulu menegakkan keadilan dalam diri dan lingkar kecilnya: dalam keluarga, pekerjaan, dan interaksi sehari-hari.

Menjaga amanah, menepati janji, tidak berbohong di tempat kerja — itulah fondasi moral rakyat. Perubahan besar dimulai dari kebiasaan kecil yang jujur.

Moral Publik dan Kesalehan Sosial

Krisis Keteladanan: Mengapa Kita Rindu Sosok dalam Riyadus Shalihin?

Dalam Tahdzīb al-Akhlāq, Ibnu Miskawaih mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati (sa‘ādah) hanya tercapai jika manusia mampu hidup selaras dengan masyarakatnya. Ia menulis:

إِنَّ الْإِنْسَانَ مَدَنِيٌّ بِالطَّبْعِ، لَا يَسْتَقِيمُ لَهُ الْعَيْشُ إِلَّا بِالْغَيْرِ
“Manusia adalah makhluk sosial secara fitrah, dan kehidupannya tidak akan lurus kecuali dengan keterlibatan orang lain.”

Dari sini kita memahami: kesalehan tidak berhenti pada ibadah pribadi, tapi meluas menjadi tanggung jawab sosial. Seorang Muslim sejati bukan hanya rajin beribadah, tapi juga peduli terhadap lingkungan sosialnya — tidak membuang sampah sembarangan, tidak merusak fasilitas publik, dan menolong tetangga tanpa pamrih.

Keadilan sosial hanya akan tumbuh ketika warga negara memiliki empati terhadap sesamanya. Dan empati adalah buah dari akhlak.

Etika Politik Rakyat: Antara Kritik dan Kebijaksanaan

Rakyat yang berakhlak bukan berarti rakyat yang diam. Dalam Islam, amar makruf nahi mungkar adalah hak sekaligus kewajiban. Namun, cara menyampaikan kritik juga bagian dari akhlak.

Ibnu Miskawaih membedakan antara keberanian moral dan kemarahan emosional. Ia menulis:

الشَّجَاعَةُ هِيَ ثَبَاتُ النَّفْسِ عِندَ الْمَخَاوِفِ مَعَ الْعَقْلِ وَالْحِكْمَةِ، لَا مَعَ الْغَضَبِ وَالْفَوْرَةِ
“Keberanian adalah keteguhan jiwa di tengah ketakutan disertai akal dan kebijaksanaan, bukan karena amarah dan gejolak emosi.”

Artinya, rakyat berhak bersuara, tetapi dengan niat memperbaiki, bukan mempermalukan. Kritik yang dibangun atas dasar kebencian hanya melahirkan kebisingan moral. Namun kritik yang disampaikan dengan hikmah, justru menjadi cahaya bagi perubahan.

Dalam konteks modern, hal ini sangat relevan. Dunia digital sering membuat kita tergoda untuk menilai, menghina, bahkan melabeli orang lain tanpa menimbang kebenaran. Padahal, tanggung jawab moral rakyat mencakup etika berpendapat: menjaga kata, menahan emosi, dan memilih kebenaran daripada popularitas.

Rakyat yang Baik Melahirkan Sistem yang Baik

Ibnu Miskawaih percaya bahwa negara adalah refleksi moral masyarakatnya. Bila rakyatnya gemar bergunjing, sistemnya akan penuh fitnah. Bila rakyatnya disiplin, sistemnya akan tertata.

Filosof Yunani yang banyak menginspirasi Ibnu Miskawaih, seperti Aristoteles, juga menekankan bahwa negara bukan sekadar kesepakatan politik, tapi juga komunitas moral. Maka tugas rakyat bukan hanya memilih pemimpin, tetapi juga mendidik diri menjadi warga negara yang bermoral.

Kita bisa menuntut pemerintahan bersih, tapi apakah kita juga membersihkan niat saat bekerja? Kita bisa menuntut keadilan hukum, tapi apakah kita adil dalam menilai sesama? Pertanyaan-pertanyaan ini mungkin sederhana, tapi di sanalah akar perubahan bermula.

Keadilan Sosial Dimulai dari Keadilan Personal

Ibnu Miskawaih menjelaskan bahwa keadilan (al-‘adl) adalah puncak dari semua kebajikan moral. Ia menulis:

الْعَدْلُ هُوَ تَنْظِيمُ الْقُوَى النَّفْسِيَّةِ حَتَّى لَا يَطْغَى بَعْضُهَا عَلَى بَعْضٍ
“Keadilan adalah penataan kekuatan jiwa agar satu tidak menguasai yang lain secara berlebihan.”

Maknanya mendalam: sebelum menegakkan keadilan di masyarakat, seseorang harus terlebih dahulu menegakkan keadilan dalam dirinya sendiri — menyeimbangkan antara akal, amarah, dan nafsu.

Jika setiap rakyat mampu berlaku adil terhadap diri sendiri — tidak menuruti hawa nafsu, tidak mengambil hak orang lain, tidak menyakiti dengan kata — maka keadilan sosial bukan lagi cita-cita, melainkan realitas.

Tanggung Jawab Moral di Era Demokrasi Digital

Di era digital, suara rakyat tak lagi terbatas pada bilik suara lima tahun sekali. Setiap unggahan, komentar, dan opini kini menjadi bentuk partisipasi politik. Karena itu, tanggung jawab moral rakyat juga harus hadir di dunia maya.

Rasulullah ﷺ bersabda:

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis ini menjadi prinsip etika digital umat Islam. Setiap kalimat di media sosial adalah cermin iman. Maka, rakyat yang bermoral bukan hanya yang taat aturan, tapi juga yang berhati-hati dalam mengetik.

Ruang publik yang sehat hanya bisa tercipta bila rakyat memiliki kesadaran moral: tidak semua yang benar harus disebar, dan tidak semua yang salah harus dibalas.

Moral Kolektif: Dari Aku Menuju Kita

Dalam pandangan Ibnu Miskawaih, moral tidak pernah berdiri sendiri. Ia menulis bahwa kebaikan yang sejati adalah kebaikan yang memberi manfaat bagi orang lain.

الْفَضِيلَةُ لَا تَكْمُلُ إِلَّا بِمُعَاشَرَةِ النَّاسِ وَخِدْمَتِهِمْ
“Kebajikan tidak akan sempurna kecuali dengan bergaul dan melayani manusia.”

Dengan kata lain, moral pribadi harus menular menjadi moral kolektif. Kebaikan harus menetes ke lingkungan sekitar. Rakyat yang bermoral tidak menunggu sistem berubah, tetapi memulai perubahan dari dirinya.

Mulailah dari hal kecil: tertib di jalan, antri dengan sabar, jujur dalam berdagang, menghargai perbedaan. Semua itu adalah bentuk riyadhah jiwa — latihan spiritual yang membangun peradaban.

Penutup: Dari Moral Pribadi Menuju Moral Bangsa

Negeri ini tidak hanya butuh pemimpin yang bijak, tetapi juga rakyat yang beradab. Karena pemerintahan yang baik lahir dari rakyat yang baik.

Ibnu Miskawaih menulis dengan indah:

صَلَاحُ الْمَلِكِ بِصَلَاحِ الرَّعِيَّةِ، وَصَلَاحُ الرَّعِيَّةِ بِصَلَاحِ الْأَخْلَاقِ
“Baiknya pemimpin bergantung pada baiknya rakyat, dan baiknya rakyat bergantung pada baiknya akhlak.”

Rakyat juga punya tanggung jawab moral. Bukan sekadar untuk taat, tapi untuk menjadi bagian dari kebaikan. Sebab bangsa yang besar tidak hanya dibangun oleh kekuasaan, tetapi oleh hati yang jujur dan nurani yang hidup.

*Gerwin Satria N

Pegiat literasi Iqro’ University Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement