Surau.co. Dalam hiruk-pikuk dunia politik dan kepemimpinan, banyak orang ingin memimpin negeri sebelum mampu memimpin dirinya sendiri. Kita menyaksikan orang pandai berbicara tentang moral publik, tapi lalai terhadap moral pribadinya. Di sinilah relevansi ajaran Ibnu Miskawaih dalam Tahdzīb al-Akhlāq terasa kuat: bahwa perbaikan bangsa berawal dari perbaikan akhlak individu.
Ibnu Miskawaih, filsuf Muslim abad ke-10, menulis bahwa kebahagiaan sejati dan tatanan sosial yang baik hanya lahir dari pengendalian diri. Ia mengajarkan bahwa manusia yang mampu menaklukkan hawa nafsunya akan menebarkan keadilan, kebijaksanaan, dan ketenangan ke sekelilingnya. Dengan kata lain, sebelum seseorang “ngurus negeri”, ia wajib “ngurus diri”.
Akhlak sebagai Pondasi Kepemimpinan
Ibnu Miskawaih dalam Tahdzīb al-Akhlāq menjelaskan bahwa akhlak bukan bawaan lahir, melainkan hasil dari latihan dan kebiasaan. Beliau menulis:
“الأخلاق تُكتسب بالعادة والتربية لا بالطبع.”
“Akhlak dapat diperoleh melalui kebiasaan dan pendidikan, bukan semata-mata dari tabiat.”
Artinya, menjadi pemimpin berakhlak tidak otomatis lahir dari keturunan atau gelar, tetapi hasil dari pembinaan diri yang terus-menerus.
Rasulullah ﷺ sendiri menegaskan pentingnya kendali diri sebagai inti kekuatan sejati. Dalam hadits riwayat al-Bukhari disebutkan:
“لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرَعَةِ، إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ”
“Orang kuat bukanlah yang pandai bergulat, melainkan yang mampu mengendalikan dirinya ketika marah.” (HR. al-Bukhari)
Kepemimpinan sejati menuntut kekuatan batin, bukan sekadar kekuasaan lahiriah. Pemimpin yang belum selesai dengan egonya akan mudah tergelincir dalam kesewenang-wenangan.
Menaklukkan Nafsu: Jalan Awal Menguasai Diri
Dalam pandangan Ibnu Miskawaih, manusia terdiri atas tiga kekuatan jiwa:
- An-nafs al-bahīmiyyah (jiwa hewani) – yang mendorong pada kesenangan dan syahwat.
- An-nafs al-ghaḍabiyyah (jiwa amarah) – yang mendorong pada kekuasaan dan dominasi.
- An-nafs an-nāṭiqah (jiwa rasional) – yang menjadi pusat kebijaksanaan dan moral.
Keseimbangan di antara tiga kekuatan inilah yang menghasilkan akhlak mulia. Jika jiwa rasional mampu menundukkan nafsu dan amarah, seseorang akan menjadi pribadi yang adil, sabar, dan bijak. Namun jika rasio dikuasai nafsu, ia akan terperosok dalam kerakusan, kesombongan, dan kehancuran moral.
Al-Qur’an menggambarkan pentingnya pengendalian nafsu dalam firman Allah:
وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَىٰ فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَىٰ
“Dan adapun orang yang takut akan kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka surgalah tempat tinggalnya.” (QS. An-Nazi‘at [79]: 40–41)
Kuasai nafsu berarti menguasai arah hidup. Orang yang tak mampu menahan nafsunya tak akan mampu menahan godaan kekuasaan, harta, atau pujian.
Kepemimpinan dan Keadilan dalam Diri
Ibnu Miskawaih menulis bahwa keadilan bukan sekadar urusan politik atau hukum, melainkan harmoni dalam diri.
“العدلُ أن يكون كلُّ جزءٍ من النفس في موضعه لا يعتدي على غيره.”
“Keadilan adalah ketika setiap bagian dari jiwa berada pada tempatnya dan tidak melampaui batasnya.”
Dengan kata lain, seseorang tidak akan bisa menegakkan keadilan sosial jika jiwanya sendiri tidak seimbang. Pemimpin yang tidak adil terhadap dirinya—misalnya dengan menuruti hawa nafsu atau membiarkan kemarahan menguasai—akan sulit berlaku adil kepada rakyatnya.
Etika ini bersesuaian dengan sabda Rasulullah ﷺ:
“كُلُّكُمْ رَاعٍ، وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ”
“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Keadilan dimulai dari cara seseorang mengatur pikirannya, menimbang perasaannya, dan mengambil keputusan tanpa dikuasai ego.
Hikmah sebagai Pilar Kepemimpinan
Ibnu Miskawaih memandang hikmah (kebijaksanaan) sebagai puncak dari kebajikan akal. Hikmah bukan hanya pengetahuan, melainkan kemampuan menempatkan sesuatu pada tempatnya.
Ia menulis:
“الحكمة رأس الفضائل، وهي معرفة الخير والعمل به.”
“Hikmah adalah pangkal segala kebajikan, yaitu mengetahui kebaikan dan mengamalkannya.”
Pemimpin yang berhikmah tidak tergesa-gesa dalam bertindak, tidak mudah tersulut emosi, dan selalu mempertimbangkan maslahat. Ia menyadari bahwa setiap keputusan menyentuh banyak nasib manusia.
Dalam konteks modern, hikmah juga berarti kemampuan reflektif—melihat persoalan dengan pandangan luas, tidak reaktif terhadap kritik, dan berani belajar dari kesalahan.
Al-Qur’an pun menegaskan nilai hikmah sebagai karunia agung:
يُؤْتِي الْحِكْمَةَ مَن يَشَاءُ وَمَن يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا
“Allah menganugerahkan hikmah kepada siapa yang Dia kehendaki; dan barang siapa dianugerahi hikmah, sungguh ia telah dianugerahi kebaikan yang banyak.” (QS. Al-Baqarah [2]: 269)
Wibawa yang Lahir dari Kejujuran Diri
Kewibawaan sejati tidak dibangun dengan ketakutan, tetapi dengan integritas. Ibnu Miskawaih menekankan pentingnya konsistensi antara ucapan dan tindakan. Ia menulis:
“لا يكون الإنسانُ فاضلًا حتى يطابق قولُه فعلَه.”
“Seseorang tidak menjadi manusia utama sampai ucapannya sejalan dengan perbuatannya.”
Pemimpin yang berwibawa adalah yang jujur pada dirinya sendiri. Ia tidak menutupi kelemahan dengan pencitraan, dan tidak menipu rakyat dengan retorika kosong.
Rasulullah ﷺ adalah teladan tertinggi kewibawaan seperti itu. Beliau dikenal jujur (al-Amīn) bahkan sebelum diangkat menjadi nabi. Ketika beliau memimpin, kewibawaannya bukan berasal dari kekuatan senjata, melainkan kekuatan moral.
Kewibawaan moral ini pula yang membuat orang tunduk bukan karena takut, tapi karena hormat. Dan hormat yang lahir dari cinta jauh lebih langgeng daripada takut yang lahir dari ancaman.
Dari Diri ke Negeri: Rantai Moral yang Tak Terputus
Ibnu Miskawaih percaya bahwa negara adalah cerminan moral warganya. Jika individu rusak, tatanan sosial ikut goyah. Karena itu, memperbaiki diri berarti memperkuat fondasi bangsa.
Dalam logika beliau, keluarga yang berakhlak akan melahirkan masyarakat yang berakhlak, dan masyarakat yang berakhlak akan melahirkan negara yang adil. Semua berawal dari diri—dari kemampuan mengatur pikiran, emosi, dan keinginan.
Pandangan ini senada dengan pesan Al-Qur’an:
إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا مَا بِأَنفُسِهِمْ
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra‘d [13]: 11)
Artinya, perubahan sosial tidak bisa dimulai dari atas, melainkan dari dalam diri setiap manusia.
Penutup: Menjadi Pemimpin bagi Diri Sendiri
Menguasai diri sebelum mengurus negeri bukan sekadar slogan moral, tapi inti dari filsafat akhlak. Ibnu Miskawaih mengajarkan bahwa keadilan sosial hanya mungkin lahir dari keadilan personal; kepemimpinan publik berawal dari kepemimpinan diri.
Pemimpin sejati bukanlah yang paling keras suaranya, tapi yang paling jernih hatinya.Maka sebelum bermimpi memimpin orang banyak, mari kita latih diri menjadi pemimpin bagi satu orang paling sulit di dunia: diri sendiri.
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
