Surau.co. Manusia hidup tak pernah lepas dari luka. Ada kata yang menyakitkan, sikap yang mengecewakan, atau pengkhianatan yang menancap dalam. Sebagian orang memilih untuk memaafkan, tapi sebagian lain merasa lega hanya jika dendam terbalaskan. Di sinilah keadilan berubah menjadi racun.
Balas dendam sering disamarkan sebagai “pembalasan yang setimpal”. Padahal, di balik keinginan itu, tersembunyi api amarah yang tak pernah padam. Semakin kita menyiramnya dengan balasan, semakin besar ia membakar jiwa.
Ibnu Miskawaih, seorang filsuf dan ahli etika Islam abad ke-10, dalam karya monumentalnya Tahdzīb al-Akhlāq wa Taṭhīr al-A‘rāq (“Penyucian Akhlak dan Pembersihan Watak”), menjelaskan bahwa balas dendam adalah cerminan jiwa yang belum matang, jiwa yang masih dikuasai oleh amarah dan ego. Beliau berkata:
إِنَّ الْاِنْتِقَامَ شِعَارُ النَّفْسِ الْغَضَبِيَّةِ وَأَمَارَةُ الضَّعْفِ وَالْهَوَى
“Sesungguhnya balas dendam adalah tanda jiwa yang dikuasai amarah dan pertanda kelemahan hawa nafsu.”
Dengan kata lain, orang yang masih haus membalas tidak sedang menegakkan keadilan, tetapi sedang mempertontonkan kekalahan dirinya terhadap hawa nafsu.
Balas Dendam: Godaan yang Terasa Manis Tapi Merusak
Dalam kehidupan sehari-hari, balas dendam sering terasa melegakan. Kita merasa membalas membuat posisi menjadi setara, harga diri kembali tegak. Namun, rasa itu semu. Seperti air laut yang diminum untuk menghilangkan haus, balas dendam justru menambah dahaga jiwa.
Ibnu Miskawaih mengingatkan bahwa amarah dan dendam termasuk bagian dari kekuatan jiwa yang harus dikendalikan, bukan diikuti. Jiwa manusia, kata beliau, terdiri dari tiga unsur: akal, amarah, dan nafsu keinginan. Jika akal menjadi pemimpin, maka manusia akan bijak. Tapi jika amarah mengambil alih, maka keburukan akan lahir dari tindakan.
Ia menulis:
إِذَا غَلَبَتِ الْقُوَّةُ الْغَضَبِيَّةُ عَلَى الْعَقْلِ أَفْسَدَتِ الْعَدْلَ وَوَلَّدَتِ الْاِنْتِقَامَ وَالظُّلْمَ
“Jika kekuatan amarah mengalahkan akal, maka keadilan akan rusak dan yang lahir adalah dendam serta kezaliman.”
Jelas, balas dendam bukan jalan mulia. Ia membuat manusia jatuh pada keburukan yang sama dengan pelaku awalnya. Dalam bahasa sederhana, orang yang membalas sebenarnya sedang memperpanjang rantai kebencian yang tak berujung.
Al-Qur’an Tentang Menahan Diri dari Balas Dendam
Al-Qur’an berulang kali memuji orang yang mampu menahan diri dari membalas kejahatan dengan kejahatan. Dalam Surah Asy-Syura ayat 40, Allah berfirman:
وَجَزَاءُ سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِّثْلُهَا فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ ۚ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الظَّالِمِينَ
“Balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang setimpal, tetapi barangsiapa memaafkan dan berbuat baik, maka pahalanya atas tanggungan Allah. Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim.”
Ayat ini menunjukkan dua jalan: membalas dengan adil atau memaafkan dengan mulia. Namun, Allah menjanjikan pahala langsung bagi yang memilih memaafkan. Karena memaafkan bukan kelemahan, melainkan kekuatan batin yang tak dimiliki banyak orang.
Rasulullah ﷺ juga bersabda:
مَا زَادَ اللهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلَّا عِزًّا
“Tidaklah Allah menambahkan kepada seorang hamba yang suka memaafkan kecuali kemuliaan.”
(HR. Muslim)
Artinya, memaafkan bukan kehilangan harga diri, tetapi justru meninggikannya. Orang yang mampu menahan diri ketika bisa membalas adalah pemenang sejati.
Mengurai Amarah dengan Akal Sehat
Menurut Ibnu Miskawaih, akal adalah penuntun yang harus memimpin dua kekuatan lainnya: amarah dan nafsu syahwat. Bila akal lemah, dua kekuatan itu akan menimbulkan kerusakan moral. Oleh karena itu, seseorang perlu melatih dirinya agar mampu menunda reaksi emosional, terutama ketika marah atau tersakiti.
Beliau menulis:
الْعَاقِلُ مَنْ غَلَبَ الْغَضَبَ بِالْحِلْمِ وَالْعَدَاوَةَ بِالْإِحْسَانِ
“Orang berakal adalah yang mampu menundukkan amarah dengan kesabaran dan permusuhan dengan kebaikan.”
Prinsip ini sangat relevan dalam kehidupan modern yang penuh gesekan: di tempat kerja, di dunia maya, bahkan dalam hubungan pribadi. Saat emosi memuncak, kemampuan menahan diri bukan tanda kelemahan, tetapi kedewasaan spiritual.
Seperti pepatah Arab berkata:
الحلم سيد الأخلاق —
“Kesabaran adalah tuan dari segala akhlak.”
Siklus Dendam di Dunia Modern
Balas dendam kini hadir dalam bentuk yang lebih halus namun tetap mematikan. Ia bisa berupa unfollow di media sosial, sindiran di status, atau komentar tajam yang sengaja ditulis agar lawan tersinggung. Dunia digital memberi ruang bagi dendam bersembunyi di balik kata-kata manis.
Namun, balas dendam digital pun tetap racun. Ia mungkin tidak menumpahkan darah, tapi tetap menumpahkan kedamaian.
Ibnu Miskawaih akan menyebut fenomena ini sebagai bentuk jiwa yang tidak tenang, jiwa yang masih dikendalikan oleh rasa ingin menang. Ia menulis:
إِنَّ الْحِقْدَ وَالْاِنْتِقَامَ يُضْعِفَانِ النَّفْسَ وَيُفْسِدَانِ الْعَقْلَ
“Kedengkian dan dendam melemahkan jiwa serta merusak akal.”
Dengan kata lain, setiap kali kita menyimpan dendam, kita sedang membiarkan racun kecil bekerja perlahan di dalam diri. Ia mengganggu tidur, menutup pintu syukur, dan menjauhkan kita dari ketenangan.
Memaafkan: Jalan Para Bijak
Memaafkan adalah puncak dari latihan akhlak. Tidak semua orang mampu melakukannya, karena ia menuntut pengendalian diri tingkat tinggi.
Ibnu Miskawaih menjelaskan bahwa orang yang memaafkan bukan berarti melupakan kejahatan, melainkan memilih untuk tidak membalasnya demi kebersihan hati. Ia menulis:
الْعَفْوُ هُوَ التَّرْكُ عِنْدَ الْقُدْرَةِ
“Memaafkan adalah meninggalkan pembalasan padahal memiliki kemampuan untuk melakukannya.”
Itulah yang membedakan manusia biasa dari manusia besar. Orang biasa membalas ketika disakiti, tapi orang besar justru menahan diri ketika mampu membalas.
Nabi Muhammad ﷺ sendiri adalah teladan tertinggi dalam hal ini. Ketika beliau menaklukkan Makkah setelah bertahun-tahun disakiti, difitnah, dan diusir, beliau berkata kepada para musuhnya:
اذْهَبُوا فَأَنْتُمُ الطُّلَقَاءُ
“Pergilah, kalian semua bebas.”
Sebuah kalimat yang meruntuhkan dendam berlapis sejarah, digantikan oleh kemuliaan tanpa batas.
Latihan Jiwa: Dari Amarah ke Kasih
Menurut Tahdzīb al-Akhlāq, pengendalian diri bukan datang tiba-tiba. Ia perlu riyāḍah al-nafs — latihan jiwa yang konsisten. Ibnu Miskawaih menyarankan beberapa langkah untuk menaklukkan amarah dan keinginan membalas:
- Menunda reaksi pertama. Jangan langsung menanggapi ketika marah. Diam adalah bentuk awal kemenangan.
- Merenungkan akibat. Pikirkan apakah dendammu akan membuat keadaan lebih baik atau justru memperburuk semuanya.
- Melihat kelemahan pelaku. Kadang orang yang menyakiti hanyalah orang yang tidak bahagia. Menyadarinya bisa memunculkan belas kasih.
- Mendoakan, bukan mencaci. Doa adalah cara mengembalikan kendali hati kepada Tuhan, bukan kepada ego.
Jika latihan ini dilakukan terus-menerus, dendam akan kehilangan daya. Yang tersisa adalah ketenangan dan kebijaksanaan.
Mengubah Dendam Jadi Doa
Ada satu kalimat indah dari Ibnu Miskawaih yang patut direnungkan:
مَنْ عَفَا عَنْ خَصْمِهِ أَصْلَحَ نَفْسَهُ وَسَكَنَ قَلْبُهُ
“Barangsiapa memaafkan musuhnya, maka ia telah memperbaiki dirinya dan menenangkan hatinya.”
Kalimat ini menegaskan bahwa tujuan utama memaafkan bukan demi orang lain, tetapi demi diri sendiri. Memaafkan bukan berarti membenarkan kesalahan, melainkan mengambil alih kendali dari rasa sakit.
Ketika kita mengubah dendam menjadi doa, hidup menjadi lebih ringan. Kita tak lagi sibuk menghitung siapa yang menyakiti, tapi sibuk menjaga agar hati tetap bersih.
Menyembuhkan Diri di Era Emosi Publik
Kita hidup di era ketika emosi mudah menjadi konsumsi publik. Marah bisa direkam, disebar, dan ditonton jutaan orang. Akibatnya, manusia sering memilih membalas agar terlihat kuat. Padahal, dalam pandangan etika klasik Islam, kekuatan sejati justru ada pada kemampuan menahan diri di hadapan publik.
Rasulullah ﷺ bersabda:
لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرَعَةِ، إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِندَ الْغَضَبِ
“Orang kuat bukanlah yang menang dalam gulat, tetapi yang mampu mengendalikan dirinya ketika marah.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini seakan menjawab kegelisahan modern: bahwa kekuatan bukan soal citra, tapi soal kendali batin.
Penutup: Tenang Itu Menang
Balas dendam mungkin terasa memuaskan sesaat, tetapi memaafkan menenangkan selamanya. Dendam membakar jembatan, sementara maaf membangun jalan baru menuju kedamaian.
Ibnu Miskawaih mengajarkan bahwa akhlak yang tinggi tidak tumbuh dari kemarahan, melainkan dari kesadaran akan nilai manusia itu sendiri. Orang yang mampu menahan diri ketika bisa membalas sejatinya sedang meniru sifat Tuhan: Ar-Rahman dan Ar-Rahim.
Maka, jangan jadi orang yang suka balas dendam. Jadilah orang yang damai, karena hanya hati yang damai yang mampu mendengar bisikan Tuhan di tengah hiruk pikuk dunia.
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
