Khazanah
Beranda » Berita » Menghindari Iri dan Dengki di Era FYP: Pandangan Ibnu Miskawaih dalam Kitab Tahdzīb al-Akhlāq

Menghindari Iri dan Dengki di Era FYP: Pandangan Ibnu Miskawaih dalam Kitab Tahdzīb al-Akhlāq

Seorang Muslim menatap layar ponsel dengan hati tenang, menggambarkan upaya menahan iri dan dengki di era FYP menurut Ibnu Miskawaih
seorang laki-laki Muslim duduk di depan layar ponsel yang memancarkan cahaya kuat, sementara di sekelilingnya tampak bayangan wajah orang-orang sukses di layar. Namun, di wajahnya terpancar ketenangan dan doa, dengan cahaya lembut dari langit menyorotinya. Warna keemasan senja dan biru lembut, menciptakan suasana reflektif dan damai.

Surau.co. Zaman ini, yang viral lebih sering dipuja daripada yang bernilai. Kita hidup dalam pusaran “FYP”—For You Page—yang menampilkan kisah sukses, wajah cantik, prestasi gemilang, dan pencapaian hidup orang lain. Dalam satu guliran jempol, kita bisa merasa kecil, kalah, bahkan tak berguna. Saat itu, benih iri dan dengki perlahan tumbuh, menyelimuti hati tanpa disadari.

Fenomena ini bukan hal baru. Hanya saja, media sosial mempercepat dan memperluasnya. Jika dulu iri mungkin muncul di pasar atau majelis kecil, kini ia menjelma global—muncul di layar, setiap hari, setiap jam. Di tengah badai perbandingan itu, Ibnu Miskawaih—seorang filsuf Muslim abad ke-10—menawarkan resep penyembuhan hati melalui karya besarnya, Tahdzīb al-Akhlāq wa Taṭhīr al-A‘rāq (“Penyucian Akhlak dan Pembersihan Watak”).

Baginya, iri dan dengki bukan hanya penyakit sosial, tetapi penyakit batin yang melemahkan jiwa dan menghalangi manusia mencapai kesempurnaan moral.

Makna Iri dan Dengki Menurut Ibnu Miskawaih

Ibnu Miskawaih menjelaskan bahwa iri (ḥasad) adalah ketika seseorang tidak suka melihat nikmat yang dimiliki orang lain, bahkan berharap nikmat itu hilang darinya. Ia menulis:

الْحَاسِدُ هُوَ الَّذِي يَتَمَنَّى زَوَالَ النِّعْمَةِ عَنْ غَيْرِهِ وَإِنْ لَمْ تَصِلْ إِلَيْهِ
“Orang yang dengki adalah yang berharap hilangnya nikmat dari orang lain, meskipun nikmat itu tidak berpindah kepadanya.”
(Tahdzīb al-Akhlāq, hal. 135)

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Menurutnya, iri adalah tanda ketidakseimbangan jiwa. Ia lahir dari kelemahan moral dan ketidakmampuan menerima takdir Allah. Orang yang iri, dalam pandangan Ibnu Miskawaih, adalah orang yang menyakiti dirinya sendiri — sebab ia menderita bukan karena kehilangan, tapi karena orang lain bahagia.

Rasa iri adalah racun halus: tak terlihat, tapi pelan-pelan menghancurkan. Ia membuat seseorang tidak mampu bersyukur, tidak tenang, dan selalu merasa kurang.

Akar Iri dalam Jiwa Modern

Jika kita refleksikan, apa yang membuat iri hari ini begitu mudah muncul? Jawabannya: perbandingan tanpa jeda. Media sosial mengubah cara kita melihat diri. Kita menilai kebahagiaan dari foto, kesuksesan dari tampilan, bahkan kebermaknaan dari jumlah like.

Kita sering lupa bahwa yang kita lihat hanyalah cuplikan terbaik dari hidup orang lain, bukan realitas utuhnya. Maka, saat orang lain FYP, kita merasa gagal padahal mungkin kita hanya belum waktunya terlihat.

Ibnu Miskawaih akan menyebut kondisi ini sebagai kelelahan jiwa akibat ketidakteraturan nafsu. Ia mengatakan:

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

وَمِنْ أَعْلَامِ فَسَادِ النَّفْسِ أَنْ تَسْتَثْقِلَ نِعْمَةَ غَيْرِهَا وَتَسْتَقِلَّ نِعْمَتَهَا
“Tanda kerusakan jiwa adalah ketika seseorang merasa berat melihat nikmat orang lain dan meremehkan nikmat dirinya sendiri.”

Inilah akar iri modern. Kita sibuk mengagumi layar orang lain, hingga lupa mensyukuri hidup sendiri.

Dengki dan Dosa Sosial

Dalam Al-Qur’an, Allah telah memperingatkan bahaya iri hati:

وَمِن شَرِّ حَاسِدٍ إِذَا حَسَدَ
Dan dari kejahatan pendengki apabila ia dengki.”
(QS. Al-Falaq: 5)

Ayat ini menunjukkan bahwa dengki bukan hanya penyakit pribadi, tapi juga sumber kejahatan sosial. Iri membuat manusia sulit bahagia atas keberhasilan orang lain. Ia melahirkan ghibah, fitnah, bahkan permusuhan.

Krisis Keteladanan: Mengapa Kita Rindu Sosok dalam Riyadus Shalihin?

Rasulullah ﷺ pun bersabda:

لَا تَحَاسَدُوا، وَلَا تَبَاغَضُوا، وَلَا تَدَابَرُوا، وَكُونُوا عِبَادَ اللهِ إِخْوَانًا
“Jangan saling iri, jangan saling membenci, jangan saling memutus hubungan, dan jadilah hamba-hamba Allah yang bersaudara.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Pesan ini menegaskan bahwa kedengkian bukan sekadar emosi, tapi bentuk pembelotan dari fitrah persaudaraan manusia. Iri adalah api kecil yang bisa membakar tatanan sosial — mulai dari keluarga hingga bangsa.

Riyadhah Jiwa: Menahan Nafsu Iri

Ibnu Miskawaih menyebut proses penyucian hati ini sebagai riyāḍah al-nafs — latihan jiwa. Sama seperti tubuh perlu olahraga untuk sehat, jiwa juga perlu “gym spiritual” agar kuat menghadapi godaan emosi negatif.

Beliau menulis:

النَّفْسُ تُهَذَّبُ بِالْعَمَلِ الصَّالِحِ وَتُزَكَّى بِتَرْكِ الشَّهَوَاتِ وَالْغَضَبِ وَالْحَسَدِ
“Jiwa akan menjadi baik melalui amal saleh, dan disucikan dengan meninggalkan syahwat, amarah, dan iri hati.”

Dalam konteks modern, riyadhah jiwa bisa berarti puasa dari perbandingan, dzikir di tengah notifikasi, dan mengatur pandangan hati. Setiap kali muncul rasa iri, latihlah diri untuk berkata: “Nikmat itu datang dari Allah, sebagaimana nikmatku juga.”

Latihan kecil ini akan menumbuhkan kebahagiaan sejati — bukan karena kita lebih dari orang lain, tapi karena kita cukup dengan apa yang Allah beri.

Antara Iri, Ambisi, dan Kompetisi

Perlu dibedakan antara iri dengan semangat berkompetisi. Iri muncul dari kebencian terhadap keberhasilan orang lain, sementara ambisi lahir dari dorongan untuk memperbaiki diri.

Ibnu Miskawaih membedakan keduanya dengan indah:

الْغِبْطَةُ فِي الْخَيْرِ مَحْمُودَةٌ، وَالْحَسَدُ مَذْمُومٌ
“Rasa ingin seperti orang lain dalam kebaikan adalah terpuji, tetapi dengki adalah tercela.”

Dalam Islam, ada istilah ghibṭah kagum yang positif. Misalnya, ketika kita melihat orang dermawan dan ingin menirunya. Nabi ﷺ bersabda:

لَا حَسَدَ إِلَّا فِي اثْنَتَيْنِ: رَجُلٌ آتَاهُ اللهُ مَالًا فَسَلَّطَهُ عَلَى هَلَكَتِهِ فِي الْحَقِّ، وَرَجُلٌ آتَاهُ اللهُ الْحِكْمَةَ فَهُوَ يَقْضِي بِهَا وَيُعَلِّمُهَا
“Tidak boleh iri kecuali terhadap dua orang: seseorang yang diberi harta lalu menggunakannya di jalan kebenaran, dan seseorang yang diberi hikmah lalu mengajarkannya kepada orang lain.”
(HR. Bukhari)

Artinya, Islam tidak menolak ambisi, tapi mengarahkannya pada kebaikan. Kompetisi dalam kebaikan (fastabiqul khairat) justru menjadi energi positif untuk kemajuan, bukan sumber kebencian.

Detoks Media Sosial: Puasa dari Perbandingan

Salah satu langkah konkret menghindari iri adalah mengatur konsumsi media sosial. Dalam dunia FYP, kita cenderung membandingkan fase hidup kita dengan sorotan terbaik orang lain. Ini membuat jiwa lelah dan hati keruh.

Ibnu Miskawaih menyarankan agar manusia menjaga pandangan batin sebagaimana menjaga pandangan mata. Berliau menginatkan:

مَنْ أَطْلَقَ بَصَرَهُ فِي نِعَمِ النَّاسِ ضَعُفَ قَلْبُهُ عَنْ شُكْرِ نِعْمَةِ نَفْسِهِ
“Barangsiapa membiarkan pandangannya pada nikmat orang lain, maka hatinya akan lemah dalam mensyukuri nikmatnya sendiri.”

Detoks media sosial bukan berarti anti-teknologi, melainkan memberi ruang bagi jiwa untuk bernapas tanpa harus terus merasa kalah. Batasi waktu melihat, perbanyak waktu merenung.

Saat dunia menyoraki pencapaian orang lain, mungkin Tuhan sedang menyiapkan bab terbaik dalam hidupmu yang belum waktunya muncul di FYP.

Menumbuhkan Qana‘ah: Obat Paling Manjur

Setelah hati dibersihkan dari iri, langkah berikutnya adalah menumbuhkan qana‘ah — rasa cukup.

Rasulullah ﷺ bersabda:

لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ، وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ
“Kekayaan bukanlah banyaknya harta benda, tetapi kekayaan adalah kaya hati.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Ibnu Miskawaih menegaskan bahwa orang yang qana‘ah adalah orang yang telah menang melawan iri, karena ia sadar bahwa kebahagiaan sejati tidak bergantung pada perbandingan, tapi pada keseimbangan batin.

مَنْ رَضِيَ بِقَسْمِ اللهِ أَغْنَاهُ، وَمَنْ طَمِعَ فِيمَا عِنْدَ النَّاسِ أَفْقَرَهُ
“Barangsiapa ridha terhadap pembagian Allah, maka ia akan kaya; dan barangsiapa tamak terhadap milik orang lain, maka ia akan miskin.”

Qana‘ah bukan berarti pasrah tanpa usaha, melainkan tahu kapan berhenti membandingkan. Orang yang qana‘ah bisa tetap berjuang tanpa kehilangan ketenangan.

Membangun Empati di Tengah Dunia Kompetitif

Salah satu cara paling efektif untuk menaklukkan iri adalah dengan menumbuhkan empati. Doakan orang yang sukses, syukuri nikmatmu, dan bantu mereka yang kesulitan.

Empati mengubah arah hati: dari panas menjadi sejuk. Ia menumbuhkan rasa syukur dan memutus rantai perbandingan. Ibnu Miskawaih menyebut empati sebagai bentuk tertinggi dari akhlak sosial, karena ia menumbuhkan kasih sayang antar manusia tanpa pamrih.

Ketika melihat orang lain berhasil, alih-alih iri, kita bisa berkata: “Alhamdulillah, semoga aku juga diberi kesempatan untuk bermanfaat seperti itu.” Dengan begitu, energi iri berubah menjadi doa dan motivasi.

Penutup: Membersihkan Cermin Hati

Iri dan dengki adalah kabut yang menutupi cahaya jiwa. Ia menghalangi kita melihat nikmat sendiri karena sibuk menghitung nikmat orang lain.

Ibnu Miskawaih, melalui Tahdzīb al-Akhlāq, mengajarkan bahwa hati yang bersih tidak diukur dari seberapa sering kita beribadah saja, tapi dari seberapa ringan kita merasa bahagia atas kebahagiaan orang lain.

Di era FYP, mungkin kita tidak perlu viral untuk bahagia. Cukup jika hati kita damai, doa kita tulus, dan rasa syukur kita terus tumbuh setiap hari.

*Gerwin Satria N

Pegiat literasi Iqro’ University Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement