Khazanah
Beranda » Berita » Mengasihi Tanpa Menguasai: Etika Cinta Universal Dilihat dari Kitab Tahdzīb al-Akhlāq

Mengasihi Tanpa Menguasai: Etika Cinta Universal Dilihat dari Kitab Tahdzīb al-Akhlāq

ilustrasi cinta yang membebaskan, simbol kasih universal
sosok manusia berdiri saling membelakangi di padang luas dengan sinar lembut yang menyatukan mereka di tengah. Satu sisi langit hangat keemasan, sisi lain biru lembut. Cahaya dari tengah melambangkan cinta universal yang tidak mengikat tapi menyatukan. Nuansa realistik-filosofis, tenang, dan penuh makna spiritual.

Surau.co. Cinta sering dielu-elukan sebagai sumber kebahagiaan. Namun, kenyataannya, banyak orang justru menderita karena cinta. Dalam berbagai hubungan—baik pertemanan, keluarga, maupun pasangan—cinta kerap berubah menjadi alat kontrol. Ia tak lagi menjadi kasih yang menumbuhkan, melainkan penguasaan yang mengekang.

Ibnu Miskawaih, seorang filsuf etika Islam klasik, melalui karyanya Tahdzīb al-Akhlāq wa Tathhīr al-A‘rāq, mengajak kita memandang cinta dari sisi lain. Ia menempatkan cinta (mahabbah) bukan sekadar perasaan yang datang tiba-tiba, melainkan tindakan moral yang tumbuh dari jiwa yang seimbang dan berakal sehat. Bagi Ibnu Miskawaih, cinta sejati lahir dari keinginan tulus untuk kebaikan, bukan dari hasrat untuk memiliki.

Be;iau berkata:

“المحبة الصادقة هي إرادة الخير للمحبوب من غير طلب عوض.”
“Cinta sejati adalah kehendak untuk menghadirkan kebaikan bagi yang dicintai tanpa berharap balasan.”

Cinta seperti ini melahirkan kasih tanpa keinginan untuk menguasai. Ia menjadi buah dari akhlak yang lembut—etika cinta yang bersifat universal, lintas agama, dan lintas zaman.

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Cinta sebagai Cermin Jiwa yang Sehat

Dalam pandangan Ibnu Miskawaih, setiap emosi manusia berakar dari keseimbangan atau ketidakseimbangan jiwa. Ketika cinta tumbuh dari jiwa yang sehat, ia menjadi murni dan menenangkan. Namun, ketika jiwa sakit karena dikuasai nafsu atau ego, cinta berubah menjadi beban.

Menurutnya, manusia memiliki tiga kekuatan batin:

  1. Akal (al-nāṭiqah) – yang berfungsi menimbang dan menilai.

  2. Amarah (al-ghaḍabiyyah) – yang melahirkan keberanian.

  3. Syahwat (al-shahwāniyyah) – yang menimbulkan keinginan.

    Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Cinta yang sejati hanya muncul ketika akal mampu mengendalikan dua kekuatan lainnya. Ketika syahwat dan amarah dibiarkan memimpin, cinta terdistorsi menjadi hasrat untuk menguasai. Di sinilah muncul cemburu buta, posesivitas, dan bahkan kekerasan atas nama kasih sayang.

Ibnu Miskawaih mengingatkan:

“إذا غلبت القوة الشهوانية على العقل، فسدت المحبة وصارت شهوةً.”
“Apabila kekuatan syahwat mengalahkan akal, rusaklah cinta dan berubah menjadi nafsu.”

Maka, cinta yang sehat selalu memberi ruang. Ia tidak menuntut kepemilikan atas hidup orang lain. Sebaliknya, ia tumbuh dalam kebebasan dan berakar pada tanggung jawab moral.

Mengasihi Tanpa Menguasai: Seni Mencintai dengan Akal dan Hati

Ibnu Miskawaih mengajarkan bahwa cinta sejati bukan sekadar luapan perasaan, tetapi tindakan sadar yang dilatih dengan akal budi. Karena itu, manusia harus mengarahkan dan menata cinta agar tidak berubah menjadi dorongan yang menyesatkan.

Krisis Keteladanan: Mengapa Kita Rindu Sosok dalam Riyadus Shalihin?

Cinta yang baik selalu membebaskan:

  • Ia menginginkan kebaikan bagi yang dicintai, bukan ketergantungan.

  • Ia menjaga martabat, bukan merendahkan.

  • Ia mendidik, bukan menundukkan.

Rasulullah ﷺ menegaskan nilai moral cinta ini dalam sabdanya:

لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
“Tidaklah seseorang beriman hingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis tersebut menegaskan bahwa cinta sejati berakar pada keadilan dan empati. Artinya, seseorang yang benar-benar mencintai tidak mungkin mendahulukan egonya. Ia menyamakan kebahagiaan dirinya dengan kebahagiaan orang lain.

Dengan demikian, mengasihi tanpa menguasai berarti menjadikan cinta sebagai jalan menuju kemerdekaan jiwa. Dalam cinta semacam ini, seseorang tetap menjadi dirinya tanpa menenggelamkan orang lain di dalamnya.

Etika Cinta Menurut Ibnu Miskawaih: Antara Akal dan Moral

Ibnu Miskawaih membedakan antara dua bentuk cinta: cinta hewani dan cinta rasional. Cinta hewani tunduk pada nafsu dan selalu berakhir dengan penderitaan. Sebaliknya, cinta rasional berpijak pada akal dan etika, sehingga membawa kebahagiaan.

Beliau berkata:

“المحب العاقل لا يحب إلا لما فيه صلاح المحبوب.”
“Orang yang mencintai dengan akal hanya mencintai karena adanya kebaikan bagi yang dicintai.”

Cinta rasional selaras dengan prinsip ‘adl (keadilan) yang menjadi inti dari moralitas. Dalam cinta, berlaku hukum keseimbangan: tidak menuntut berlebihan, tidak memaksa, dan tidak pula mengabaikan. Dengan keseimbangan inilah cinta berubah menjadi kesadaran moral yang lembut dan beradab.

Ketika Cinta Menjadi Penguasaan: Cermin Jiwa yang Tidak Seimbang

Banyak kisah cinta berakhir tragis karena kehilangan kendali akal. Kasih berubah menjadi kontrol, perhatian menjadi pengekangan. Ibnu Miskawaih menjelaskan bahwa ketika jiwa dikuasai syahwat, manusia cenderung ingin memiliki segalanya secara mutlak. Akibatnya, cinta menurun menjadi egoisme.

Cinta yang dikuasai nafsu membuat seseorang memperlakukan orang lain sebagai objek pemuas diri. Dari sinilah lahir kecemburuan buta, manipulasi emosional, bahkan kekerasan. Semua itu adalah tanda-tanda penyakit jiwa (amrāḍ al-nafs) yang hanya bisa disembuhkan melalui pendidikan akhlak dan latihan spiritual.

Oleh karena itu, mencintai tanpa menguasai bukan sekadar pilihan moral, melainkan proses penyembuhan. Melalui proses ini, cinta tumbuh dari dorongan naluriah menuju tindakan kesadaran.

Cinta sebagai Jalan Menuju Kemanusiaan Universal

Ibnu Miskawaih tidak membatasi cinta dalam ruang pribadi. Ia melihat cinta sebagai fondasi bagi masyarakat beradab. Cinta sejati, menurutnya, meluas dari relasi antarindividu menuju kasih universal terhadap seluruh makhluk.

Beliau berkata:

“المحبة إذا تمت في النفس، اتسعت حتى تشمل جميع الخلق.”
“Apabila cinta telah sempurna dalam jiwa, maka ia meluas hingga mencakup seluruh makhluk.”

Ajaran ini sejalan dengan firman Allah:

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ
“Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam.” (QS. Al-Anbiyā’ [21]: 107)

Dengan demikian, cinta sejati menjadi bentuk rahmah (kasih sayang) yang tidak terbatas oleh agama, status, atau perbedaan. Ia mewujud dalam empati sosial, kedermawanan, dan kepedulian terhadap makhluk lainnya.

Mengasihi Diri Sendiri: Fondasi Cinta kepada Sesama

Kita sering gagal mencintai dengan sehat karena belum berdamai dengan diri sendiri. Ibnu Miskawaih mengingatkan bahwa mencintai diri dengan benar merupakan awal dari akhlak yang baik, beliau mengingatkan bahwa:

“من لم يحب نفسه على الوجه الصحيح، لم يقدر أن يحب غيره كذلك.”
“Barang siapa belum mencintai dirinya dengan benar, tidak akan mampu mencintai orang lain dengan benar.”

Cinta pada diri bukan bentuk egoisme, tetapi kesadaran untuk menghormati diri sendiri. Orang yang menghormati dirinya tidak akan menyakiti atau membiarkan dirinya disakiti. Ia memahami bahwa menjaga martabat diri berarti menjaga martabat orang lain.

Dengan cara itu, cinta kepada diri dan cinta kepada sesama saling melengkapi. Orang yang damai dengan dirinya akan lebih mudah menebar kedamaian bagi orang lain.

Mengasihi sebagai Latihan Spiritual

Ibnu Miskawaih memandang cinta sejati sebagai jalan menuju kesempurnaan jiwa (sa‘ādah). Semakin murni cinta seseorang, semakin tinggi derajat moral dan spiritualnya. Al-Qur’an juga menggambarkan cinta sebagai buah dari iman dan amal saleh:

إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ سَيَجْعَلُ لَهُمُ الرَّحْمَٰنُ وُدًّا
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, Allah Yang Maha Pengasih akan menanamkan dalam hati mereka rasa kasih sayang.” (QS. Maryam [19]: 96)

Ayat ini menegaskan bahwa cinta bukan sekadar perasaan, melainkan hasil dari kebajikan dan ketulusan. Mengasihi tanpa menguasai adalah bentuk ibadah batin—cara manusia meneladani kasih Allah yang memberi tanpa pamrih.

Cinta yang Membebaskan, Bukan Menyandera

Pada akhirnya, cinta sejati tidak mengekang, tetapi membebaskan. Ia tidak menuntut atau menekan, melainkan hadir seperti cahaya matahari—menghangatkan tanpa membakar, memberi tanpa meminta.

Ibnu Miskawaih menegaskan bahwa cinta sejati adalah puncak dari akhlak mulia, sebab ia memuat seluruh kebajikan: kesabaran, kelembutan, keadilan, dan kebijaksanaan.

“أكمل الناس عقلاً، من أحبّ الناس أكثرهم نفعاً لهم.”
“Manusia yang paling sempurna akalnya adalah yang paling banyak cintanya dan paling besar manfaatnya bagi sesama.”

Dengan demikian, mengasihi tanpa menguasai menjadi jalan panjang menuju kemanusiaan sejati—cinta yang tidak mengekang, tetapi memerdekakan.

*Gerwin Satria N

Pegiat literasi Iqro’ University Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement