Khazanah
Beranda » Berita » Persahabatan: Antara Kawan, Relasi, dan Koneksi Internet dalam Pandangan Ibnu Miskawaih

Persahabatan: Antara Kawan, Relasi, dan Koneksi Internet dalam Pandangan Ibnu Miskawaih

Dua sahabat Muslim di bawah cahaya sore, menggambarkan makna persahabatan sejati di era digital menurut Ibnu Miskawaih.
dua laki-laki Muslim duduk berdampingan di taman sore, satu memegang ponsel, satu menatap langit dengan tenang. Di sekitar mereka, simbol koneksi digital perlahan memudar menjadi cahaya hangat persahabatan sejati. Warna lembut oranye dan biru senja, suasana damai dan reflektif.

Surau.co. Kita hidup di era yang disebut sebagai “zaman koneksi tanpa kedekatan.” Ribuan teman terdaftar di media sosial, tetapi di dunia nyata kita kerap merasa sendirian. Tombol “add friend” terasa lebih mudah daripada menyapa dengan hati. Dalam hiruk pikuk notifikasi dan scroll tanpa henti, kita jarang bertanya: masih adakah makna sejati dari persahabatan?

Jauh sebelum era digital, Ibnu Miskawaih, seorang filsuf dan moralis Muslim dari abad ke-10, telah mengupas esensi persahabatan dalam karyanya yang monumental, Tahdzīb al-Akhlāq wa Taṭhīr al-A‘rāq — “Penyucian Akhlak dan Pembersihan Watak.” Ia memandang persahabatan bukan sekadar hubungan sosial, melainkan cermin dari kesehatan jiwa dan kualitas moral seseorang.

Menurut Miskawaih, pertemanan sejati hanya bisa tumbuh dari kebajikan, bukan dari kepentingan. Dalam dunia modern, nasihat ini menjadi semakin relevan — ketika hubungan manusia sering diukur dengan manfaat, jaringan, atau jumlah pengikut.

Makna Persahabatan Menurut Ibnu Miskawaih

Dalam Tahdzīb al-Akhlāq, Ibnu Miskawaih membagi hubungan antarmanusia ke dalam tiga tingkatan. Pertama, persahabatan karena kesenangan; kedua, persahabatan karena kemanfaatan; dan ketiga, persahabatan karena kebajikan (ṣadāqah li al-faḍīlah).

Bwliau menulis:

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

وَالصَّدَاقَةُ الْفَاضِلَةُ هِيَ الَّتِي تَكُونُ لِذَاتِ الصَّدِيقِ لَا لِعَارِضٍ آخَرَ، وَهِيَ أَكْمَلُ الصَّدَاقَاتِ وَأَبْقَاهَا
“Persahabatan yang utama ialah yang didasari karena diri sahabat itu sendiri, bukan karena sesuatu yang lain. Itulah jenis persahabatan yang paling sempurna dan paling langgeng.”
(Tahdzīb al-Akhlāq, hal. 112)

Artinya, persahabatan sejati bukan dibangun karena untung-rugi, tapi karena nilai-nilai moral: kejujuran, kasih sayang, dan saling menumbuhkan.

Di era media sosial, pandangan ini menjadi cermin kritis. Banyak “pertemanan digital” berakhir begitu kepentingan berhenti. Kita sering menjalin koneksi bukan karena jiwa saling memahami, tapi karena algoritma mempertemukan. Ibnu Miskawaih mengingatkan: jika sebuah hubungan tidak melahirkan kebaikan dalam diri, ia bukanlah sahabat, melainkan sekadar relasi yang fana.

Persahabatan Sebagai Latihan Akhlak

Bagi Ibnu Miskawaih, persahabatan adalah sarana untuk melatih akhlak. Dalam bergaul, seseorang diuji: sejauh mana ia mampu bersabar, jujur, rendah hati, dan memaafkan. Tanpa sahabat, kata beliau, manusia sulit menyempurnakan akhlaknya karena ia tidak memiliki cermin untuk mengenal dirinya sendiri.

Beliau menulis:

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

الصَّدِيقُ مِرْآةُ صَدِيقِهِ
“Sahabat adalah cermin bagi sahabatnya.”

Ungkapan ini kelak juga dikenal dalam hadis Nabi ﷺ:

الْمُؤْمِنُ مِرْآةُ الْمُؤْمِنِ
“Seorang mukmin adalah cermin bagi mukmin lainnya.”
(HR. Abu Dawud)

Ketika kita berinteraksi dengan sahabat sejati, kita akan melihat refleksi diri kita sendiri — kekurangan, kelebihan, dan ruang untuk tumbuh. Maka, mencari sahabat bukan sekadar mencari teman bicara, tapi mencari orang yang mau menegur tanpa menyakiti, mendukung tanpa menuntut, dan tetap bersama meski tidak selalu setuju.

Kawan di Era Digital: Dekat di Jari, Jauh di Hati

Media sosial telah mengubah cara kita memaknai koneksi. Dahulu, pertemanan tumbuh dari interaksi langsung: duduk bersama, berbagi cerita, dan menatap wajah satu sama lain. Kini, kedekatan sering diukur dari frekuensi “like” dan “chat.”

Krisis Keteladanan: Mengapa Kita Rindu Sosok dalam Riyadus Shalihin?

Fenomena ini menimbulkan paradoks: kita terkoneksi dengan semua orang, tapi kehilangan kedalaman hubungan. Kita punya banyak “followers,” tapi sedikit “friends.”

Ibnu Miskawaih seakan mengantisipasi hal ini. Ia memperingatkan bahwa hubungan yang dibangun atas dasar kesenangan sesaat atau manfaat pribadi akan rapuh. Ia menulis:

وَالصَّدَاقَةُ الَّتِي تَكُونُ لِلَّذَّةٍ أَوْ لِلنَّفْعِ تَنْقَطِعُ إِذَا زَالَ السَّبَبُ الَّذِي أَنْشَأَهَا
“Persahabatan yang didasarkan pada kesenangan atau manfaat akan berakhir ketika sebab yang menumbuhkannya hilang.”

Kalimat ini terasa seperti kritik bagi hubungan digital hari ini: begitu tidak lagi menyenangkan, kita dengan mudah memutus “pertemanan.” Dunia maya memperbanyak koneksi, tapi menipiskan empati.

Etika Berteman: Adab dalam Kedekatan

Dalam pandangan Ibnu Miskawaih, adab adalah napas dari persahabatan. Tanpa adab, kedekatan berubah menjadi penjara emosional. Persahabatan sejati tidak menuntut kesamaan, tapi saling memahami dalam perbedaan.

Beliau menasihati:

لَا يَنْبَغِي لِلصَّدِيقِ أَنْ يُفْضِيَ إِلَى صَدِيقِهِ بِكُلِّ أَسْرَارِهِ، فَإِنَّ لِكُلِّ نَفْسٍ حُدُودًا لَا يَتَعَدَّاهَا
“Tidak sepantasnya seseorang membuka seluruh rahasianya kepada sahabatnya, karena setiap jiwa memiliki batas yang tidak boleh dilampaui.”

Ini menunjukkan bahwa bahkan dalam persahabatan, keseimbangan tetap penting. Terlalu terbuka tanpa bijak bisa menimbulkan luka, sedangkan terlalu tertutup menghalangi kehangatan.

Dalam konteks digital, etika ini berarti menjaga batas privasi, tidak memamerkan segalanya, dan menghormati ruang pribadi teman. Dunia maya sering menipu kita bahwa kedekatan berarti keterbukaan tanpa batas, padahal justru di situlah muncul masalah — dari gosip, salah paham, hingga kehilangan rasa hormat.

Sahabat Sebagai Penjaga Moral

Ibnu Miskawaih juga menekankan fungsi sahabat sebagai penjaga moral. Dalam salah satu bagian Tahdzīb al-Akhlāq, ia menyebut bahwa manusia yang baik harus dikelilingi oleh orang-orang yang mendorongnya kepada kebaikan, bukan hanya yang menyanjungnya.

خَيْرُ الْأَصْدِقَاءِ مَنْ يَنْبِهُكَ عَنِ الْعُيُوبِ، وَيَدُلُّكَ عَلَى الْفَضَائِلِ
“Sahabat terbaik adalah yang menegurmu atas kekurangan dan membimbingmu menuju keutamaan.”

Inilah perbedaan mendasar antara kawan sejati dan relasi sosial. Relasi bisa sekadar pertukaran manfaat; sementara sahabat sejati adalah guru kehidupan. Ia menegur bukan karena benci, tapi karena peduli. Ia tidak selalu setuju, tapi selalu ingin kamu menjadi lebih baik.

Dalam era filter dan pencitraan, kejujuran semacam ini menjadi langka. Banyak orang lebih suka dipuji daripada dikritik, padahal kritik dari sahabat adalah hadiah yang memperbaiki jiwa.

Persahabatan dan Spiritualitas: Menghubungkan Hati, Bukan Akun

Islam memandang persahabatan bukan hanya hubungan sosial, tapi juga bagian dari perjalanan spiritual. Rasulullah ﷺ bersabda:

الرَّجُلُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ، فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ
“Seseorang berada dalam agama (karakter) sahabatnya, maka hendaklah kalian memperhatikan siapa yang kalian jadikan sahabat.”
(HR. Tirmidzi)

Hadis ini menegaskan bahwa sahabat memiliki pengaruh besar terhadap arah moral dan spiritual seseorang.

Dalam perspektif Ibnu Miskawaih, sahabat yang baik adalah bagian dari riyadhah al-nafs — latihan jiwa. Berteman dengan orang saleh dan berakal memperluas wawasan, memperhalus emosi, dan menenangkan hati. Maka, sahabat sejati bukan hanya yang hadir di pesta, tapi juga yang hadir di sujud panjang malam hari.

Persahabatan spiritual menumbuhkan dua hal yang jarang ada di dunia modern: keikhlasan dan ketenangan. Tidak ada algoritma di antara hati yang tulus.

Relasi, Networking, dan Nilai Kebajikan

Kata “relasi” kini menjadi istilah penting dalam dunia profesional. Orang berlomba memperluas jaringan agar bisa “berkoneksi.” Tapi relasi yang sehat, menurut Ibnu Miskawaih, harus dibangun di atas keadilan dan kejujuran — bukan manipulasi.

الْمُجَالَسَةُ تُعْرَفُ بِالْمَحَبَّةِ، وَالْمَحَبَّةُ تُبْنَى عَلَى الْعَدْلِ
“Kebersamaan tumbuh karena cinta, dan cinta berdiri di atas keadilan.”

Relasi yang baik bukan tentang siapa yang lebih menguntungkan, tapi siapa yang lebih menumbuhkan. Dunia kerja dan media sosial bisa menjadi ladang moral jika diisi dengan niat saling menolong, bukan saling memanfaatkan.

Dengan demikian, ajaran klasik Ibnu Miskawaih tetap relevan: etika persahabatan dan relasi yang baik adalah kunci stabilitas sosial dan kebahagiaan pribadi.

Penutup: Menemukan Kembali Makna Teman Sejati

Di zaman penuh koneksi ini, kita mungkin perlu berhenti sejenak dan bertanya: dari sekian banyak teman, berapa yang benar-benar mengenal kita tanpa topeng?

Ibnu Miskawaih mengingatkan bahwa persahabatan adalah taman bagi jiwa. Bila kita menanamnya dengan ikhlas, ia akan berbuah keindahan yang tak lekang oleh waktu. Namun bila hanya ditanam karena kepentingan, ia akan layu sebelum sempat mekar.

Sahabat sejati tidak hanya hadir di layar, tapi juga di doa. Ia mungkin jauh di mata, tapi dekat di makna.

Mari kita jaga persahabatan bukan dengan like atau emoji, melainkan dengan kejujuran, perhatian, dan doa yang tulus. Sebab dalam dunia yang bising, kadang yang kita butuhkan hanyalah satu hati yang benar-benar mendengar.

*Gerwin Satria N

Pegiat literasi Iqro’ University Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement