Surau.co. Kita hidup di zaman di mana segala hal dapat diakses hanya dengan satu sentuhan jari. Makanan bisa datang dalam lima belas menit, hiburan tanpa batas tinggal digeser layar, bahkan pujian pun bisa dibeli dengan algoritma. Dunia modern seolah memanjakan hasrat manusia untuk selalu ingin lebih. Namun, di balik kemudahan itu, lahirlah penyakit baru: kelelahan batin karena kecanduan yang tak pernah kenyang.
Ibnu Miskawaih — seorang filsuf moral Islam abad ke-10 dalam karya agungnya Tahdzīb al-Akhlāq wa Taṭhīr al-A‘rāq (Penyucian Akhlak dan Pembersihan Watak) — menyebut bahwa penyakit jiwa terbesar manusia adalah ketidakmampuannya menahan diri. Ia menulis bahwa “jiwa yang tidak pernah puas akan menjadi hamba bagi hawa nafsunya sendiri.”
Menahan diri, dalam pandangan Miskawaih, bukan tindakan represif, melainkan seni — seni untuk tetap elegan di tengah godaan, untuk hidup dengan sadar di dunia yang serba berlebihan.
Godaan Tak Pernah Usai: Nafsu sebagai Kekuatan dan Ujian
Menurut Ibnu Miskawaih, nafsu tidak sepenuhnya buruk. Ia seperti api: berguna jika dikendalikan, berbahaya jika dibiarkan. Tanpa nafsu, manusia tak akan bekerja, mencintai, atau berjuang. Tapi bila nafsu mendominasi akal, manusia akan kehilangan arah dan martabatnya.
Dalam Tahdzīb al-Akhlāq, beliau menulis:
فَإِذَا غَلَبَتِ الشَّهْوَةُ وَالْغَضَبُ عَلَى النَّفْسِ، أَعْمَتْ بَصِيرَتَهَا وَأَذْهَبَتْ عَقْلَهَا، فَتَكُونُ بِمَنْزِلَةِ الْبَهَائِمِ
“Apabila syahwat dan amarah menguasai jiwa, maka ia akan membutakan pandangan batin dan menghilangkan akalnya, hingga manusia turun ke derajat hewan.” (Tahdzīb al-Akhlāq, hal. 47)
Bagi Miskawaih, inti dari akhlak yang baik bukanlah menghapus nafsu, melainkan menyeimbangkannya. Karena dalam keseimbangan itulah lahir keindahan moral. Ia mencontohkan, seperti musisi yang memainkan alat musik: suara indah muncul bukan karena ia menekan semua nada, tapi karena ia tahu kapan harus menahan dan kapan harus melepas.
Menahan Diri Bukan Menolak Nikmat
Dalam masyarakat yang serba konsumtif, menahan diri sering disalahartikan sebagai sikap anti-nikmat atau anti-kesenangan. Padahal, Islam tidak mengajarkan anti dunia. Rasulullah ﷺ bersabda:
إِنَّ لِرَبِّكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَلِنَفْسِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَلِأَهْلِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، فَأَعْطِ كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ
“Sesungguhnya Tuhanmu memiliki hak atasmu, dirimu memiliki hak atasmu, dan keluargamu memiliki hak atasmu, maka berikanlah setiap yang berhak akan haknya.”
(HR. Bukhari)
Hadis ini menunjukkan keseimbangan yang sejalan dengan gagasan etika Ibnu Miskawaih. Ia menegaskan bahwa “al-‘iffah” (menahan diri) adalah kebajikan tengah antara kerakusan dan kejumudan.
Bila seseorang mampu menikmati nikmat dunia tanpa diperbudak olehnya, maka ia telah mencapai kecanduan yang elegan: bukan menolak kenikmatan, tapi mengelolanya dengan penuh kesadaran.
Latihan Menahan Diri: Dari Mulut, Mata, dan Pikiran
Menahan diri adalah proses berlapis. Tidak cukup sekadar menolak sesuatu secara fisik, tetapi menata cara pandang terhadapnya. Ibnu Miskawaih menulis bahwa pengendalian diri dimulai dari “tazkiyah al-nafs” — pembersihan niat dan pikiran.
Pertama, menahan lidah. Dalam kehidupan modern, “lidah” bisa berarti jari di media sosial. Betapa sering kita menulis komentar yang memantik amarah, padahal hanya perlu satu detik menahan diri untuk diam. Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
“Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Kedua, menahan pandangan. Di era digital, mata adalah gerbang terbesar menuju hati. Menahan pandangan bukan hanya tentang tidak melihat yang haram, tetapi juga tidak menatap sesuatu yang menimbulkan iri, dendam, atau rasa kurang.
Ketiga, menahan pikiran. Miskawaih menegaskan, “perbuatan buruk bermula dari pikiran yang tidak dikendalikan.” Karena itu, riyadhah jiwa — latihan spiritual — adalah mengawasi pikiran sebelum ia menumbuhkan tindakan.
Kecanduan yang Tak Terlihat: Mengapa Kita Tak Pernah Puas
Ibnu Miskawaih menyebut manusia sebagai makhluk yang memiliki “syahwat tak terbatas.” Ia menulis:
لَا يَشْبَعُ الْإِنْسَانُ مِنَ الدُّنْيَا، كَمَا لَا يَشْبَعُ الْبَحْرُ مِنَ الْمَطَرِ
“Manusia tidak akan pernah kenyang dari dunia, sebagaimana laut tidak pernah penuh oleh hujan.”
Kata-kata ini terasa menampar zaman kita. Kita mengejar “lebih banyak” — lebih banyak uang, pengakuan, dan cinta — padahal jiwa yang lapar tidak akan kenyang dengan materi.
Ibnu Miskawaih tidak menolak kemajuan, tetapi mengingatkan: jangan biarkan keinginan menjadi penguasa batin. Bila hidup hanya mengikuti dorongan, kita bukan lagi manusia yang berpikir, tapi budak algoritma.
Dalam konteks modern, menahan diri berarti juga melatih mindfulness: sadar kapan harus berhenti, kapan harus melepaskan gawai, dan kapan harus cukup.
Seni Menahan Diri: Ketenangan di Tengah Kelebihan
Seni menahan diri tidak tumbuh dalam sehari. Ia seperti melatih otot batin. Semakin sering kita berlatih menolak yang berlebihan, semakin kuat kendali kita atas diri.
Miskawaih menggunakan analogi menarik: jiwa seperti anak kecil. Jika dibiarkan memakan semua yang diinginkan, ia akan sakit. Tapi bila dilatih dengan sabar, ia tumbuh sehat dan beradab. Begitu pula dengan jiwa orang dewasa: ia perlu disiplin agar tidak dimanja oleh keinginan.
النَّفْسُ إِذَا أُطِيعَتْ فِي كُلِّ مَا تَهْوَى أَهْلَكَتْ صَاحِبَهَا
“Jiwa yang selalu dituruti keinginannya akan membinasakan pemiliknya.”
Seni menahan diri bukan soal menolak hidup, tapi menata hidup dengan penuh kendali. Orang yang mampu berkata “cukup” sebenarnya lebih kaya daripada mereka yang terus berkata “lagi”.
Dari Filosofi ke Spiritualitas: Jalan Tengah yang Menenangkan
Menariknya, pemikiran Ibnu Miskawaih tentang pengendalian diri tidak lepas dari landasan spiritual Islam. Ia meyakini bahwa pengendalian diri adalah jalan menuju kebahagiaan sejati (sa‘ādah).
Akal dan wahyu harus bekerja bersama: akal menjaga keseimbangan, wahyu memberi arah. Tanpa spiritualitas, menahan diri hanya menjadi diet emosional tanpa makna.
Allah berfirman:
وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى، فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى
“Dan adapun orang yang takut akan kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sungguh surgalah tempat tinggalnya.”
(QS. An-Nāzi‘āt [79]: 40–41)
Ayat ini seolah menjadi simpulan dari ajaran Miskawaih: bahwa menahan diri bukan sekadar moralitas, tapi ibadah — sebuah bentuk keindahan rohani.
Latihan Sehari-hari: Mengolah Kecanduan Jadi Keindahan
Bagaimana melatih diri agar mampu menahan? Miskawaih menganjurkan tiga langkah sederhana yang relevan hingga kini:
- Mengenali kelemahan diri. Ia menulis, “Siapa yang tidak mengenali aib dirinya, ia akan terus jatuh dalam kesalahan yang sama.”
Dalam konteks modern, ini berarti introspeksi — menyadari hal-hal kecil yang memicu kecanduan, entah gawai, perhatian, atau ego. - Menetapkan batas. Segala sesuatu yang tak dibatasi akan menelan waktu dan makna. Misalnya, membatasi waktu layar atau pembelian konsumtif adalah bentuk riyadhah kontemporer.
- Mengganti kebiasaan buruk dengan yang lebih baik. Miskawaih tidak menyarankan menahan secara total, melainkan mengalihkan energi. Jika biasanya kita mengisi waktu kosong dengan hiburan tak berguna, gantilah dengan membaca, berjalan, atau merenung.
Penutup: Menjadi Manusia yang Tak Diperbudak Keinginan
Menahan diri adalah kemewahan yang tak semua orang bisa miliki. Ia tidak terlihat, tidak viral, tapi justru paling mulia. Dalam pandangan Ibnu Miskawaih, manusia sejati bukan yang bebas melakukan apa saja, tetapi yang bebas dari dorongan untuk selalu menuruti keinginan. Di situlah letak elegansinya: ketenangan di tengah kelimpahan.
Seperti air di wadah, kebahagiaan bukan berasal dari banyaknya isi, tapi dari bentuk wadah yang tertata. Jiwa yang terlatih akan memantulkan kejernihan, bukan gejolak.
Mari kita belajar menahan diri — bukan untuk menyiksa, tapi untuk menemukan rasa cukup. Karena dalam cukup, kita menemukan kedamaian yang dunia tak mampu berikan.
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
