Surau.co. Kita hidup di zaman ketika orang sangat sadar pentingnya olahraga jasmani. Setiap hari, ribuan orang memenuhi gym, berlari di treadmill, mengangkat beban, dan menghitung kalori dengan penuh semangat. Namun, berapa banyak yang menyadari bahwa batin juga butuh gym? Jiwa juga bisa lelah, bahkan lebih cepat daripada tubuh. Di sinilah konsep riyadhah al-nafs — latihan jiwa — menjadi penting.
Ibn Miskawaih, seorang filsuf Muslim abad ke-10, dalam kitab monumentalnya Tahdzīb al-Akhlāq (Penyucian Akhlak), berbicara panjang lebar tentang pentingnya melatih jiwa agar mencapai keseimbangan dan kebahagiaan sejati. Menurut beliau, manusia yang sehat bukan hanya yang tubuhnya kuat, melainkan yang jiwanya mampu menundukkan hawa nafsu dan menegakkan akal sebagai pelatih utama.
Riyadhah Jiwa: Latihan Mengendalikan Diri
Dalam bahasa Arab, riyadhah berarti latihan atau upaya berulang. Ibn Miskawaih menegaskan bahwa sebagaimana tubuh perlu dilatih agar bugar, jiwa pun perlu dilatih agar tidak dikuasai syahwat, amarah, dan ego. Ia menulis:
وَإِذَا كَانَتِ النَّفْسُ تُهَذَّبُ بِالْعِلْمِ وَالرِّيَاضَةِ صَارَتْ فِي أَفْضَلِ حَالٍ وَأَحْسَنِ مِزَاجٍ
“Apabila jiwa dibina dengan ilmu dan latihan (riyādhah), maka ia akan berada dalam keadaan terbaik dan temperamen yang paling baik.” (Tahdzīb al-Akhlāq, hal. 31)
Jiwa manusia ibarat kuda liar. Bila dibiarkan tanpa kendali, ia akan membawa penunggangnya terjatuh di lembah kehancuran. Tapi bila dilatih dengan kesabaran dan disiplin, ia menjadi kendaraan yang mengantar manusia ke puncak kemuliaan.
Riyadhah jiwa bukan berarti menjauh dari dunia, melainkan belajar menata batin di tengah hiruk pikuk kehidupan. Saat seseorang mampu menahan diri untuk tidak membalas caci maki, menunda kepuasan, atau bersabar atas kesulitan, di situlah ia sedang berlatih — mengangkat beban spiritual yang tak terlihat.
Menemukan Keseimbangan: Jalan Tengah Menurut Ibn Miskawaih
Ibn Miskawaih banyak dipengaruhi oleh filsafat etika Yunani, namun ia mengislamkannya dengan menempatkan wahyu sebagai penuntun utama. Dalam Tahdzīb al-Akhlāq, ia menekankan bahwa kebaikan adalah keseimbangan antara dua ekstrem: berlebihan dan kekurangan.
Amarah misalnya, bila berlebihan melahirkan kekerasan, bila kurang menimbulkan kelemahan. Tapi bila seimbang, ia melahirkan keberanian yang terarah. Begitu pula nafsu: jika dikuasai, ia menjadi kebinatangan; jika dipadamkan, manusia kehilangan gairah hidup.
Konsep keseimbangan ini sejalan dengan firman Allah:
وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا
“Dan demikianlah Kami jadikan kamu umat yang tengah-tengah (seimbang).”
(QS. Al-Baqarah [2]: 143)
Menjadi umat yang seimbang bukan perkara mudah. Diperlukan kesadaran terus-menerus untuk tidak larut dalam emosi dan tidak hanyut dalam keinginan. Ibn Miskawaih menyebut latihan akhlak sebagai proses yang panjang, tidak cukup sekali niat. Seperti otot yang perlu diasah, kebajikan pun butuh pengulangan.
Latihan yang Tak Terlihat: Kesabaran, Kejujuran, dan Rendah Hati
Latihan jiwa tidak menuntut peralatan mahal, hanya kejujuran terhadap diri sendiri. Ibn Miskawaih menulis bahwa seseorang yang ingin menjadi sabar harus memaksakan dirinya bersabar dalam hal-hal kecil terlebih dahulu.
مَنْ لَمْ يَصْبِرْ عَلَى الْأَذَى الصَّغِيرِ لَا يَصْبِرْ عَلَى الْأَكْبَرِ
“Barang siapa tidak mampu bersabar atas gangguan kecil, ia tidak akan mampu bersabar atas yang lebih besar.”
Kesabaran adalah otot jiwa yang tumbuh lewat pengulangan. Ketika kita memaafkan kesalahan kecil orang lain, ketika kita menahan diri dari komentar tajam di media sosial, atau ketika kita memilih diam saat sedang benar — kita sedang berlatih.
Rasulullah ﷺ bersabda:
لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرَعَةِ، إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِندَ الْغَضَبِ
“Orang yang kuat bukanlah yang pandai bergulat, tetapi orang yang kuat adalah yang mampu mengendalikan dirinya ketika marah.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Latihan kejujuran juga serupa. Ibn Miskawaih menilai bahwa kebohongan adalah penyakit jiwa yang menodai kesucian akal. Maka ia menganjurkan agar setiap kali tergoda untuk berbohong, seseorang mencoba menahan diri, meski kecil. Karena kebenaran tidak lahir dari spontanitas, tetapi dari latihan panjang.
Riyadhah Jiwa di Era Digital: Tantangan Baru bagi Batin Lama
Di masa modern, riyadhah al-nafs justru lebih dibutuhkan. Media sosial membuat kita sibuk membandingkan, cepat tersinggung, dan mudah lelah secara emosional. Dunia digital mempercepat reaksi, tapi memperlambat refleksi.
Di sini, latihan jiwa menemukan konteks baru. Misalnya, riyadhah digital bisa berarti menahan diri untuk tidak segera menanggapi komentar negatif, menunda unggahan yang didorong ego, atau memilih merenung sebelum berbicara.
Setiap kali kita menahan diri dari dorongan impulsif, kita sedang memperkuat otot kesadaran. Ibn Miskawaih pasti akan sepakat: akhlak bukanlah sesuatu yang jatuh dari langit, tetapi hasil kerja keras melawan kecenderungan buruk dalam diri sendiri.
Dari Akal ke Tindakan: Peran Rasionalitas dalam Menata Jiwa
Salah satu gagasan penting Ibn Miskawaih adalah bahwa akal adalah “pelatih utama” jiwa. Akal yang sehat berfungsi seperti pelatih pribadi di gym: mengarahkan, mengingatkan, dan mengoreksi.
Namun, akal tidak bisa bekerja sendiri. Ia perlu latihan juga — membaca, merenung, berdialog, dan menimbang. Ibn Miskawaih menulis:
فَإِذَا سَلِمَ الْعَقْلُ مِنَ الْهَوَى وَالْغَضَبِ، صَارَ الْإِنْسَانُ إِلَى سَعَادَةٍ كَامِلَةٍ
“Apabila akal terbebas dari hawa nafsu dan amarah, maka manusia akan sampai pada kebahagiaan yang sempurna.”
Latihan akal berarti belajar berpikir jernih di tengah kabut emosi. Dalam praktik modern, ini bisa berarti tidak terburu-buru menilai orang lain, berani mengakui kesalahan, dan bersikap adil bahkan pada diri sendiri.
Batin yang Lapang: Buah dari Riyadhah Jiwa
Setelah melalui latihan panjang, jiwa yang terlatih akan memiliki tanda-tanda tertentu. Pertama, ia tenang — tidak mudah goyah oleh pujian atau hinaan. Kedua, ia bijak — tahu kapan bicara dan kapan diam. Ketiga, ia penuh kasih — melihat manusia lain bukan sebagai lawan, tapi sebagai sesama yang juga berjuang.
Ibn Miskawaih menyebut ini sebagai al-saadah al-haqiqiyyah — kebahagiaan sejati. Kebahagiaan ini tidak bergantung pada harta atau jabatan, melainkan pada harmoni antara akal, amarah, dan syahwat. Jiwa yang seimbang tidak lagi bergulat melawan dirinya sendiri; ia telah menjadi sahabat bagi batinnya.
Penutup: Menguatkan Batin, Merawat Kemanusiaan
Latihan jiwa tidak akan pernah viral, karena tidak ada yang bisa diukur dengan kamera atau angka. Tapi justru di situlah nilainya. Ia sunyi, tapi membentuk manusia yang utuh.
Riyadhah jiwa adalah gym batin — tempat di mana kita belajar menata niat, menundukkan ego, dan menemukan kedamaian. Seperti tubuh yang butuh olahraga teratur, batin pun butuh disiram dengan kesabaran, introspeksi, dan doa.
Mungkin tidak ada yang memotret saat kita menahan marah, tidak ada yang bertepuk tangan saat kita memilih diam. Tapi di langit, malaikat mencatat setiap detik perjuangan itu. Karena sebagaimana sabda Nabi ﷺ:
إِنَّ اللَّهَ لَا يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَلَا إِلَى أَمْوَالِكُمْ، وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ
“Sesungguhnya Allah tidak melihat rupa dan harta kalian, tetapi Allah melihat hati dan amal kalian.”
(HR. Muslim)
Maka, mari kita rawat jiwa dengan sabar, tenang, dan penuh kasih. Karena batin yang kuat bukan yang tak pernah lelah, tetapi yang terus berlatih untuk tetap lembut di tengah kerasnya dunia.
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
