Surau.co. Di dunia yang semakin sibuk oleh debat, komentar, dan penghakiman cepat di media sosial, kita sering lupa bahwa keadilan sejati tidak hanya lahir dari aturan, tetapi dari iman yang menimbang hati.
Dalam pandangan Imam Yahya Ibn Syaraf al-Nawawi, sebagaimana termaktub dalam kitab Minhāj al-Ṭālibīn, hukum dan hakim bukan sekadar soal pasal, tetapi jalan spiritual menuju keseimbangan: antara hak dan belas kasih, antara nalar dan nurani.
Kitab ini bukan hanya pegangan bagi fuqaha. Ia adalah cermin untuk setiap orang yang pernah menimbang sesuatu—menimbang pilihan, menimbang manusia lain, menimbang keadilan di dalam dirinya. Sebab, sejatinya setiap dari kita adalah “hakim kecil” dalam kehidupan sehari-hari.
Hukum yang Hidup di Dalam Diri
Bagi Imam al-Nawawi, hukum adalah jantung kehidupan sosial. Tanpa hukum, masyarakat menjadi kabur batasnya. Tapi hukum tanpa iman — hanya menghasilkan kebenaran yang kering.
Dalam Minhāj al-Ṭālibīn, beliau menulis dengan ketelitian luar biasa:
«وَمَا أَذْكَرْتُهُ مِنَ الذِّكْرِ مُخَالِفًا لِمَا فِي الْمُحَرَّرِ وَغَيْرِهِ مِنْ كُتُبِ الْفِقْهِ فَاعْتَمِدْهُ، فَإِنِّي حَقَّقْتُهُ مِنْ كُتُبِ الْحَدِيثِ الْمُعْتَمَدَةِ.»
“Apa yang aku sebutkan dan tampak berbeda dengan kitab al-Muḥarrar atau kitab fiqh lainnya, maka jadikanlah itu pegangan, karena aku telah menelitinya dari kitab-kitab hadis yang terpercaya.”
Kutipan ini menunjukkan satu hal: keadilan tidak lahir dari kebetulan. Ia lahir dari kejujuran ilmiah, dari proses verifikasi dan keimanan yang menolak manipulasi.
Dalam kehidupan modern, kita pun dihadapkan pada “hukum-hukum kecil”: menilai orang tanpa bukti, menyebar kabar tanpa tabayyun. Imam al-Nawawi seakan mengingatkan — sebelum menimbang orang lain, timbanglah dulu hatimu.
Hakim yang Menimbang dengan Lapang Hati
Menjadi hakim, dalam makna luasnya, bukan tentang memegang palu atau duduk di kursi tinggi. Ia tentang kemampuan menimbang dengan hati yang lapang.
Imam al-Nawawi menulis:
«وَالْمَسَائِلُ نَفِيسَةٌ أَضُمُّهَا إِلَيْهِ يَنْبَغِي أَلَّا يُخْلَى الْكِتَابُ مِنْهَا.»
“Masalah-masalah bernilai tinggi yang aku tambahkan ke dalamnya, hendaklah kitab ini tidak kosong darinya.”
Kalimat ini lahir dari kerendahan hati seorang ulama besar. Ia tidak hanya menulis hukum, tapi juga memasukkan nilai-nilai kemanusiaan di antara teks-teksnya. Bagi al-Nawawi, seorang hakim sejati bukan hanya orang yang paham hukum, tapi juga paham manusia.
Fenomena ini bisa kita rasakan di sekitar kita. Seorang guru yang menegur murid dengan kasih, seorang ayah yang memaafkan kesalahan anak tanpa kehilangan wibawa, seorang pemimpin yang mendengar keluhan rakyat tanpa marah — mereka semua, sejatinya, sedang menegakkan keadilan dengan timbangan iman.
Antara Nash dan Nurani
Keadilan dalam Islam berdiri di atas dua kaki: nash (teks hukum) dan nurani (suara hati). Imam al-Nawawi memahami betul ketegangan di antara keduanya. Karena itu dalam Minhāj al-Ṭālibīn beliau menulis:
«فَحَيْثُ أَقُولُ: (النَّصُّ) فَهُوَ نَصُّ الشَّافِعِيِّ – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَيَكُونُ هُنَاكَ وَجْهٌ ضَعِيفٌ أَوْ قَوْلٌ مُخَرَّجٌ.»
“Ketika aku mengatakan ‘ini adalah nash’, maka itu adalah nash Imam Syafi‘i – semoga Allah merahmatinya – dan mungkin ada pendapat lemah atau pendapat yang diturunkan darinya.”
Di sini, al-Nawawi mengajarkan adab berilmu: bahwa kebenaran hukum harus dirujuk, bukan dikarang; namun juga harus dipahami dengan keluasan hati.
Dalam konteks kehidupan kita, kadang kita terjebak dalam sikap “aku paling benar” — padahal Imam besar sekalipun mengajarkan untuk mengenali wajah-wajah lemah dari sebuah pendapat, agar kita tidak sombong di hadapan kebenaran.
Keadilan yang Mewangi dari Iman
Al-Qur’an menegaskan:
﴿إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ﴾
“Sesungguhnya Allah memerintahkan (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan.”
(QS. An-Nahl [16]: 90)
Ayat ini menjadi nafas dari seluruh hukum Islam. Keadilan tanpa ihsan hanya akan melahirkan kebekuan, sementara ihsan tanpa keadilan akan menciptakan kelemahan.
Maka, ketika Imam al-Nawawi menulis Minhāj al-Ṭālibīn, beliau seolah merajut dua benang itu: hukum yang tegas, namun disulam dengan kelembutan iman.
Beliau juga menegaskan:
«وَحَيْثُ أَقُولُ: (فِي الْأَظْهَرِ أَوِ الْمَشْهُورِ) فَمِنَ الْقَوْلَيْنِ أَوِ الْأَقْوَالِ، فَإِنْ قَوِيَ الْخِلَافُ قُلْتُ: (الْأَظْهَرُ) وَإِلَّا فَـ(المَشْهُورُ).»
“Ketika aku mengatakan ‘pendapat yang paling tampak’ atau ‘yang paling masyhur’, maka itu berasal dari dua atau beberapa pendapat. Jika perbedaan itu kuat, aku katakan yang paling tampak; jika tidak, aku sebut yang paling masyhur.”
Makna yang indah: keadilan bukan sekadar mengambil pendapat yang populer, tetapi menimbang dengan jernih. Dalam kehidupan nyata, kita pun diingatkan untuk tidak selalu mengikuti mayoritas suara, tetapi mencari yang paling mendekati kebenaran.
Menjadi Hakim bagi Diri Sendiri
Rasulullah ﷺ bersabda:
«الْقُضَاةُ ثَلَاثَةٌ: وَاحِدٌ فِي الْجَنَّةِ، وَاثْنَانِ فِي النَّارِ.»
“Hakim itu ada tiga: satu di surga, dua di neraka.”
(HR. Abu Dawud)
Hadis ini bukan hanya untuk hakim pengadilan. Ia adalah peringatan bagi siapa pun yang gemar menghakimi — baik di dunia nyata maupun di dunia maya. Hanya satu jenis hakim yang selamat: yang menimbang dengan kebenaran dan iman.
Minhāj al-Ṭālibīn mengajarkan bahwa iman adalah timbangan yang tidak pernah rusak. Ia tidak bisa dibeli, tidak bisa dimanipulasi, dan tidak tunduk pada kepentingan dunia. Imanlah yang menjaga agar hukum tetap hidup, dan agar hakim tetap rendah hati di hadapan kebenaran.
Penutup: Menimbang dengan Cermin Cinta
Pada akhirnya, hukum tanpa cinta hanyalah pasal-pasal dingin, dan cinta tanpa hukum hanyalah perasaan tanpa arah.
Imam al-Nawawi — dengan pena yang penuh kasih — menulis kitabnya bukan untuk menghukum manusia, tapi untuk menuntun mereka pada kedamaian.
Keadilan sejati bukan ketika semua orang puas, tetapi ketika semua merasa didengar dan dihargai.
Dan itulah arti “menimbang keadilan dengan timbangan iman”: sebuah keseimbangan antara hukum, hati, dan kemanusiaan.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
