Surau.co. Dalam Minhāj al-Ṭālibīn karya Imam Yahya ibn Sharaf al-Nawawi, bab tentang nikah tidak hanya menjelaskan hukum-hukum akad, mahar, atau syarat wali. Lebih dari itu, ia menegaskan bahwa pernikahan adalah ibadah yang menyatukan dua jiwa dalam satu tujuan: mencari ridha Allah melalui cinta yang dijaga dengan kesetiaan dan keikhlasan.
Dalam masyarakat hari ini, banyak orang memahami pernikahan hanya sebagai peristiwa sosial—pesta, dekorasi, atau ajang gengsi. Padahal, menurut Imam al-Nawawi, pernikahan merupakan madrasah kehidupan, tempat seseorang belajar tentang sabar, ikhlas, memberi, dan menerima. Karena itu, nikah bukan hanya menyatukan dua tubuh, melainkan dua hati yang berjanji untuk tumbuh bersama dalam ketaatan.
Cinta yang Disyariatkan untuk Menumbuhkan Kedamaian
Imam al-Nawawi memulai pembahasan dengan kalimat yang penuh makna:
النِّكَاحُ سُنَّةٌ مُؤَكَّدَةٌ لِمَنْ احْتَاجَ إِلَيْهِ، وَفِي حَقِّ مَنْ لَا يَحْتَاجُ يُسْتَحَبُّ
“Nikah adalah sunnah yang sangat dianjurkan bagi yang membutuhkannya, dan bagi yang tidak membutuhkan, hukumnya tetap disunnahkan.”
Pernikahan bukan hanya solusi biologis, tetapi ibadah yang menenangkan hati. Allah ﷻ berfirman:
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu pasangan-pasangan dari jenismu sendiri agar kamu merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antara kamu kasih dan sayang.” (QS. Ar-Rum [30]: 21)
Kata litaskunū ilayhā (agar kamu merasa tenteram kepadanya) menunjukkan bahwa cinta dalam Islam tidak berhenti pada rasa, tetapi berlanjut menjadi ketenangan spiritual. Karena itu, Imam al-Nawawi melihat pernikahan sebagai bentuk ibadah yang memperluas ruang sakinah dalam diri manusia. Ia menjadi jalan bagi hati untuk mengenal kedamaian sejati.
Pernikahan Sebagai Ladang Pahala dan Tanggung Jawab
Selain sebagai ladang cinta, pernikahan juga menjadi ladang tanggung jawab. Dalam Minhāj al-Ṭālibīn, Imam al-Nawawi menulis:
وَيَجِبُ عَلَى الزَّوْجِ نَفَقَةُ زَوْجَتِهِ، وَكِسْوَتُهَا، وَمَسْكَنُهَا بِالْمَعْرُوفِ
“Wajib bagi suami memberi nafkah kepada istrinya, memberinya pakaian, dan tempat tinggal sesuai kebiasaan yang makruf.”
Kewajiban itu tidak dimaksudkan sebagai beban, tetapi sebagai cara cinta diterjemahkan dalam tindakan nyata. Karena itu, nafkah tidak hanya berupa uang, melainkan juga perhatian, waktu, dan perlindungan. Dengan memberi, suami sebenarnya sedang meneguhkan cintanya.
Sementara itu, Imam al-Nawawi menulis:
وَيَجِبُ عَلَيْهَا طَاعَةُ الزَّوْجِ فِيمَا لَا مَعْصِيَةَ فِيهِ
“Istri wajib taat kepada suami dalam hal-hal yang tidak mengandung maksiat.”
Taat di sini tidak berarti tunduk secara buta, melainkan kerja sama dalam kebaikan. Suami dan istri berjalan beriringan, saling menuntun menuju surga. Rasulullah ﷺ bersabda:
خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ، وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِي
“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya, dan aku adalah yang paling baik terhadap keluargaku.” (HR. Tirmidzi)
Karena itu, cinta yang benar selalu melahirkan kebaikan. Dalam rumah tangga, kemenangan bukan milik yang pandai berdebat, melainkan bagi mereka yang lebih dahulu menebar kasih.
Mahar: Simbol Kerendahan Hati, Bukan Kebanggaan Dunia
Di sisi lain, banyak orang kini menjadikan mahar sebagai tolok ukur gengsi. Padahal, Imam al-Nawawi menegaskan bahwa mahar hanyalah simbol kasih, bukan harga atau nilai jual.
وَأَقَلُّ الْمَهْرِ لَا حَدَّ لَهُ، وَيَجُوزُ بِقَلِيلٍ مِمَّا لَهُ قِيمَةٌ
“Tidak ada batas minimal untuk mahar, dan boleh dengan sesuatu yang sedikit selama memiliki nilai.”
Pesannya jelas: mahar mengajarkan kerendahan hati. Cinta yang tulus tidak menuntut kemewahan, cukup dengan niat yang baik dan kesediaan untuk saling setia. Rasulullah ﷺ bahkan menikahkan seorang sahabatnya hanya dengan mahar sederhana:
زَوَّجْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ
“Aku menikahkanmu dengannya dengan (mahar) hafalan Al-Qur’an yang kamu miliki.” (HR. Bukhari & Muslim)
Karena itu, mahar yang paling mulia bukan yang paling mahal, tetapi yang paling bermakna. Dalam pandangan Allah, nilai sejati cinta tidak ditakar dari benda, melainkan dari niat dan keikhlasan.
Menjalin Cinta dalam Bingkai Ibadah
Selanjutnya, Imam al-Nawawi menjelaskan bahwa cinta dalam Islam tidak boleh berjalan tanpa arah. Ia harus dijaga, disalurkan, dan disucikan melalui akad nikah. Beliau menulis:
وَيَصِحُّ النِّكَاحُ بِإِيجَابٍ وَقَبُولٍ، وَبِشُرُوطِهِ الْمَعْلُومَةِ
“Nikah sah dengan ijab dan kabul, serta dengan syarat-syarat yang telah diketahui.”
Akad bukan sekadar kontrak sosial, melainkan janji suci yang disaksikan oleh langit. Dalam ijab kabul itu, dua insan berjanji untuk saling menjaga dan saling menumbuhkan kebaikan. Karena itu, menjalani cinta dalam bingkai ibadah berarti menerima pasangan bukan karena kesempurnaannya, tetapi karena keyakinan bahwa ia bagian dari takdir terbaik. Imam al-Nawawi menekankan pentingnya niat ibadah dalam pernikahan agar cinta tidak berhenti di dunia, melainkan berlanjut hingga akhirat.
Menumbuhkan Rahmah di Tengah Perbedaan
Namun, setiap rumah tangga pasti diuji. Perbedaan karakter, latar belakang, dan kebiasaan kadang menimbulkan gesekan. Justru di situlah cinta diuji — bukan di masa senang, tetapi di masa sulit.
Imam al-Nawawi memberi panduan lembut:
وَيُسْتَحَبُّ لِلزَّوْجِ أَنْ يُحْسِنَ الْعِشْرَةَ وَيُطَيِّبَ الْكَلَامَ
“Disunnahkan bagi suami untuk memperindah pergaulan dan mempermanis ucapan.”
Dengan kata lain, kebaikan tutur kata mampu menjadi obat bagi hati yang lelah. Karena cinta, seperti tanaman, memerlukan siraman kebaikan dan cahaya kesabaran agar terus hidup. Rasulullah ﷺ bersabda:
إِنَّ مِنْ أَكْمَلِ الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا، أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا، وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ
“Sesungguhnya orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya, dan yang terbaik di antara kalian adalah yang paling baik terhadap istrinya.” (HR. Tirmidzi)
Karena itu, cinta dalam pernikahan bukan tentang siapa yang paling benar, melainkan siapa yang paling berakhlak.
Penutup: Cinta yang Bertumbuh dalam Doa
Akhirnya, pernikahan yang digambarkan Imam al-Nawawi dalam Minhāj al-Ṭālibīn bukan kisah dongeng yang selalu bahagia. Ia merupakan perjalanan dua jiwa yang beribadah melalui saling mencintai. Kadang penuh tawa, kadang penuh air mata, namun selalu bermuara pada satu hal: keridhaan Allah.
Pernikahan adalah ibadah terpanjang dalam hidup, tempat di mana cinta diuji agar semakin suci. Karena itu, ia disebut “ibadah yang menyatukan dua cinta dalam satu tujuan”: ibadah kepada Allah dan ibadah kepada pasangan. Ketika cinta menjadi ibadah, rumah pun berubah menjadi surga kecil. Setiap langkah, setiap percakapan, dan setiap doa di dalamnya menjadi bagian dari jalan menuju surga yang hakiki.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
