Surau.co — Silaturahmi dalam Islam bukan sekadar tradisi sosial atau basa-basi tahunan saat Lebaran. Ia adalah napas rohani yang menyambung kembali hati yang sempat menjauh, memperluas rezeki, dan memanjangkan umur dalam makna keberkahan. Namun, di zaman yang serba sibuk dan individualistis ini, silaturahmi sering berubah menjadi jalan sunyi — tidak ramai, tapi penuh berkah.
Dalam Bulūgh al-Marām min Adillat al-Aḥkām, Al-Ḥāfiẓ Ibn Ḥajar al-‘Asqalānī menempatkan silaturahmi sebagai bagian penting dari akhlak dan etika sosial yang memiliki dasar kuat dalam syariat. Rasulullah ﷺ bersabda sebagaimana diriwayatkan oleh Ibn Ḥajar:
«مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ، وَيُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ، فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ»
“Barang siapa ingin diluaskan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah ia menyambung silaturahmi.”
(HR. al-Bukhārī dan Muslim)
Hadis ini menegaskan hubungan indah antara silaturahmi dan keberkahan hidup. Melalui silaturahmi, manusia tidak hanya mempererat hubungan sesama, tetapi juga mengundang rahmat Allah.
Sayangnya, banyak dari kita kini melupakannya. Kita lebih mudah menekan tombol “like” daripada menengok saudara. Kita asyik menyapa dunia maya, tetapi enggan mengetuk pintu tetangga. Padahal, silaturahmi adalah obat bagi hati yang sempit dan hidup yang sulit.
Silaturahmi yang Tertukar dengan Formalitas
Seiring perkembangan zaman, silaturahmi sering tergantikan oleh interaksi digital. Banyak orang merasa sudah “menyambung hubungan” hanya karena mengirim emoji senyum atau pesan singkat “semoga sehat selalu”. Padahal, silaturahmi sejati bukan sekadar komunikasi, melainkan kasih yang hadir. Ia lahir dari niat untuk menyambung, bukan hanya menyapa.
Ibn Ḥajar dalam Bulūgh al-Marām mengutip sabda Nabi ﷺ:
«لَيْسَ الْوَاصِلُ بِالْمُكَافِئِ، وَلَكِنَّ الْوَاصِلَ الَّذِي إِذَا قُطِعَتْ رَحِمُهُ وَصَلَهَا»
“Bukanlah orang yang menyambung silaturahmi itu orang yang membalas hubungan, tetapi orang yang menyambung hubungan meskipun telah diputuskan.”
(HR. al-Bukhārī)
Inilah esensi silaturahmi: menyambung, bukan membalas. Pada titik ini, silaturahmi menjadi jihad hati. Tidak mudah mendatangi seseorang yang pernah menyakiti kita atau menelpon saudara yang lama diam. Tetapi justru di situlah nilainya — bukan pada kemudahan, melainkan pada ketulusan menjaga hubungan karena Allah.
Seperti kata Gus Mus, “Kadang, kita lebih ingin dimengerti daripada memahami. Padahal, silaturahmi dimulai dari keberanian untuk memaafkan.”
Buah Keberkahan dari Hati yang Menyambung
Silaturahmi tidak hanya menghadirkan kedamaian batin, tetapi juga membuka pintu berkah duniawi. Rezeki yang luas tidak selalu berarti harta yang banyak, melainkan kehidupan yang cukup dan hati yang lapang. Ibn Ḥajar menjelaskan, “Yubsathu lahu fi rizqihi” — diluaskan rezekinya — bermakna Allah menjadikan hidup seseorang berkah dan tenang, bukan sekadar kaya.
Rasulullah ﷺ juga bersabda:
«إِنَّ أَعْجَلَ الطَّاعَةِ ثَوَابًا صِلَةُ الرَّحِمِ، حَتَّى إِنَّ أَهْلَ الْبَيْتِ لَيَكُونُونَ فُجَّارًا فَتَنْمُو أَمْوَالُهُمْ وَيَكْثُرُ عَدَدُهُمْ إِذَا وَصَلُوا أَرْحَامَهُمْ»
“Sesungguhnya amalan yang paling cepat mendapatkan ganjaran adalah silaturahmi. Bahkan keluarga yang durhaka pun, jika mereka menyambung silaturahmi, niscaya hartanya bertambah dan jumlah mereka meningkat.”
(HR. al-Bayhaqī)
Hadis ini menggambarkan bahwa silaturahmi adalah energi kehidupan. Ia menumbuhkan keberkahan bahkan dalam keluarga yang belum sempurna imannya. Maka tidak mengherankan bila rumah yang hangat dan saling menyayangi terasa lebih damai dibanding rumah megah yang dipenuhi keheningan.
Lebih dari itu, silaturahmi menjadi sebab turunnya pertolongan Allah. Ketika hati manusia saling menyambung, rahmat Allah pun turun. Hubungan yang dirawat dengan cinta membuka pintu rezeki dan ketenangan.
Ketika Menyambung yang Terputus Menjadi Ujian
Menyambung silaturahmi tidak selalu mudah. Terkadang, luka lama belum sembuh atau harga diri masih menghalangi. Namun, Islam mengajarkan bahwa silaturahmi dilakukan bukan karena orang lain pantas, melainkan karena Allah memerintahkan.
Ibn Ḥajar mencatat sabda Nabi ﷺ:
«لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَاطِعٌ»
“Tidak akan masuk surga orang yang memutuskan silaturahmi.”
(HR. al-Bukhārī dan Muslim)
Hadis ini menjadi peringatan lembut sekaligus tegas. Memutus hubungan berarti menutup jalan rahmat. Setiap hubungan yang dibiarkan retak tanpa usaha memperbaiki sejatinya sedang menjauhkan diri dari kasih Allah.
Dalam nasihat lembutnya, Gus Mus pernah berkata, “Kalau kamu merasa dirimu benar dan dia salah, maka temui dia. Bukan untuk membenarkan, tapi untuk menenangkan.”
Sebab, silaturahmi bukan tentang siapa yang meminta maaf duluan, melainkan siapa yang lebih mencintai Allah.
Silaturahmi yang Menyembuhkan Dunia
Bayangkan dunia di mana setiap orang memilih menyambung, bukan memutus. Dunia akan terasa lebih ringan. Tidak ada dendam yang diwariskan, tidak ada kesepian yang menumpuk di hati tua.
Silaturahmi adalah obat sosial yang menenangkan umat. Ia menyembuhkan luka perbedaan, menghapus jurang kesalahpahaman, dan mempertemukan manusia dalam kasih sayang.
Selain itu, silaturahmi tidak memerlukan biaya besar. Kadang cukup dengan pesan singkat, kunjungan sederhana, atau doa dalam diam. Namun, di sisi Allah, setiap usaha kecil itu bernilai besar. Seperti ladang yang terus berbuah, silaturahmi akan tumbuh subur selama dipelihara dengan ikhlas.
Refleksi: Menyambung Adalah Tanda Kehidupan
Selama hati masih ingin menyambung, iman masih hidup. Silaturahmi bukan urusan siapa yang lebih dekat, melainkan siapa yang lebih lembut hatinya.
Allah berfirman:
﴿وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ﴾
“Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta, dan peliharalah hubungan silaturahmi.”
(QS. an-Nisā’ [4]: 1)
Ayat ini adalah panggilan dari langit agar manusia terus menjaga jalinan kasih. Sebab, di setiap hubungan yang dijaga dengan tulus, Allah menanamkan berkah yang tak terlihat.
Jadi, ketika hidup terasa sempit, jangan terburu-buru menyalahkan takdir. Coba tengok sekeliling — barangkali ada hubungan yang belum kau sambung.
* Sugianto al-jawi
Budayawan kontemporer Tulungagung
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
