Surau.co. Haji dan perjalanan selalu saling melengkapi. Haji bukan sekadar langkah fisik menuju Ka’bah, tetapi perjalanan batin untuk menemukan asal-usul diri. Dalam Bulūgh al-Marām min Adillat al-Aḥkām, Al-Ḥāfiẓ Ibn Ḥajar al-‘Asqalānī menulis bab tentang haji dengan kedalaman spiritual yang menakjubkan. Ia tidak hanya menguraikan tata cara manasik, melainkan juga menyingkap makna di balik setiap gerak menuju tanah suci: sebuah perjalanan untuk mengenal Allah — dan akhirnya mengenali diri sendiri.
Ketika Langkah Menuju Ka’bah Adalah Langkah Menuju Hati
Setiap tahun, jutaan manusia berangkat ke Makkah. Mereka datang dari berbagai bahasa, warna kulit, dan status sosial. Namun begitu mengenakan kain ihram putih, semua perbedaan seakan larut. Keseragaman itu menyampaikan pesan lembut: di hadapan Allah, semua manusia setara.
Rasulullah ﷺ bersabda, sebagaimana dikutip Ibn Hajar dalam Kitāb al-Ḥajj:
مَنْ حَجَّ لِلَّهِ، فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ، رَجَعَ كَيَوْمٍ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ
(HR. Al-Bukhārī & Muslim, Bulūgh al-Marām, Kitāb al-Ḥajj)
“Barang siapa berhaji karena Allah, tidak berkata keji dan tidak berbuat dosa, maka ia kembali seperti pada hari ibunya melahirkannya.”
Hadis ini seolah menegaskan: haji adalah kelahiran kembali. Orang yang berhaji tidak hanya pulang membawa oleh-oleh, melainkan juga pulang dengan jiwa yang dibersihkan dari debu dunia. Seperti bayi yang baru lahir, ia membawa hati yang suci, bebas dari kesombongan dan kebencian.
Fenomena Sehari-hari: Dari Tiket ke Tanah Suci Menuju Tiket ke Kesadaran
Banyak orang menabung bertahun-tahun demi bisa berhaji. Namun sesungguhnya, perjalanan spiritual itu sudah dimulai jauh sebelum pesawat lepas landas. Ia dimulai ketika seseorang menata niatnya, mengikhlaskan langkahnya, dan menyiapkan hatinya untuk melepas segala yang bukan Allah.
Haji bukan perjalanan wisata, melainkan perjalanan meninggalkan ego. Lihatlah pakaian ihram: kain putih sederhana yang menghapus simbol status sosial. Semua perbedaan diluruhkan, semua kesombongan dilebur. Di hadapan Ka’bah, tidak ada yang bisa membanggakan apapun — karena setiap jiwa hanyalah hamba.
Rasulullah ﷺ bersabda:
الْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلَّا الْجَنَّةُ
(HR. Al-Bukhārī & Muslim, Bulūgh al-Marām, Kitāb al-Ḥajj)
“Haji yang mabrur tidak ada balasan baginya kecuali surga.”
Menurut Ibn Hajar, “mabrur” bukan sekadar haji yang sah secara fiqh, melainkan haji yang menumbuhkan perubahan hati. Haji yang membuat seseorang menjadi lebih lembut, lebih jujur, dan lebih peduli. Karena pada akhirnya, surga bukan hanya tempat, tetapi keadaan jiwa yang damai.
Makna Tawaf: Mengitari Cinta yang Tak Pernah Usai
Tawaf, salah satu ritual paling menyentuh dalam haji, melambangkan orbit cinta yang tak pernah berhenti. Manusia berputar di sekitar pusat ilahi, mengakui bahwa hidupnya selalu bergantung kepada Yang Maha Ada.
Ibn Hajar menukil sabda Rasulullah ﷺ:
مَنْ طَافَ بِالْبَيْتِ سَبْعًا، فَلا يَرْفَعْ قَدَمًا وَلَا يَضَعْهَا إِلَّا حَطَّ اللَّهُ عَنْهُ خَطِيئَةً، وَكَتَبَ لَهُ بِهَا حَسَنَةً
(HR. At-Tirmidzī, Bulūgh al-Marām, Kitāb al-Ḥajj)
“Barang siapa bertawaf mengelilingi Ka’bah tujuh kali, maka setiap langkah yang diangkat dan diturunkan, Allah hapuskan satu dosa dan menulis satu kebaikan baginya.”
Tawaf bukan sekadar gerak melingkar; ia simbol kesetiaan. Dalam kehidupan sehari-hari, manusia juga berputar di sekitar sesuatu — entah kekuasaan, cinta, harta, atau dirinya sendiri. Namun melalui haji, Allah mengingatkan: hanya Dia yang layak dijadikan pusat.
Maka setiap langkah di sekeliling Ka’bah menjadi pernyataan cinta yang terus berputar tanpa henti.
Wuquf di Arafah: Saat Jiwa Benar-Benar Telanjang
Puncak haji bukan pada tawaf atau sa’i, melainkan pada wuquf di Arafah. Di tempat itulah manusia benar-benar “berdiri di hadapan Allah.” Tidak ada kemegahan, tidak ada atribut, hanya kesadaran bahwa hidup ini sementara.
Rasulullah ﷺ bersabda:
الْحَجُّ عَرَفَةُ
(HR. At-Tirmidzī, Bulūgh al-Marām, Kitāb al-Ḥajj)
“Haji itu (intinya) adalah Arafah.”
Wuquf di Arafah seperti cermin akhir kehidupan: manusia berdiri di padang luas, hanya membawa amal dan air mata. Di sana, jiwa benar-benar pulang — bukan ke rumah, melainkan ke kesadaran bahwa sejak awal, kita hanyalah milik Allah.
Saat matahari tenggelam di Arafah, jutaan doa naik ke langit. Tidak ada pemandangan yang lebih agung: manusia, tanah, dan langit bersujud bersama. Di situlah haji menemukan puncak maknanya — pulang ke asal, ke fitrah, ke cinta yang abadi.
Refleksi: Pulang Tanpa Pergi, Kembali Tanpa Berpisah
Setelah haji, banyak orang berkata, “Aku ingin kembali ke Makkah.” Namun sejatinya, yang harus kembali adalah rasa haji itu sendiri — rasa tunduk, rasa ikhlas, rasa cinta kepada Allah. Sebab haji sejati bukan yang diulang setiap tahun, melainkan yang mengubah seseorang sepanjang tahun.
Ibn Hajar mengajarkan bahwa haji mencerminkan kehidupan manusia: dimulai dengan niat, diwarnai perjuangan, dipenuhi doa, dan diakhiri dengan kepulangan. Bedanya, haji berakhir di rumah, sedangkan hidup berakhir di hadapan Tuhan.
Karena itu, siapa pun yang pulang dari haji dengan hati lebih lembut, dengan jiwa lebih peka, dan dengan cinta yang lebih luas — sesungguhnya ia telah benar-benar pulang. Bukan sekadar dari Makkah, tapi dari ketersesatan menuju cahaya asalnya.
* Sugianto al-jawi
Budayawan kontemporer Tulungagung
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
