SURAU.CO. Di era digital yang serba cepat ini, cinta tidak lagi sekadar hadir dalam rasa—orang mengemasnya, memotretnya, lalu menyiarkannya ke dunia. Cinta jadi konten, ya setiap pelukan, hadiah, dan ucapan sayang berlomba menghiasi layar ponsel. Romantisme yang dulu tumbuh dari tatapan dan percakapan kini bergeser ke kolom caption dan deretan emoji hati.
Media sosial berubah menjadi panggung besar tempat cinta diukur, bukan lewat ketulusan, melainkan lewat jumlah like dan komentar. Banyak orang mengejar pengakuan dengan cara mengunggah potret kebahagiaan, seolah cinta baru sah jika publik menyaksikan. Mereka terus memperlihatkan momen manis, padahal rasa hangat di dalamnya kian menipis. Semakin gencar seseorang menampilkan cintanya, semakin sering pula ia kehilangan maknanya. Di titik inilah romantisme runtuh perlahan—terlihat indah di layar, tetapi rapuh di hati.
Cinta: Antara Layar Ponsel dan Realitas
Dira, seperti banyak orang lain, terpaku pada layar ponselnya malam itu. Ia menatap foto pasangan influencer yang tersenyum bahagia di sebuah kafe, lengkap dengan caption manis: “Cinta sederhana yang tumbuh setiap hari.” Ratusan komentar membanjiri unggahan itu—emoji hati, doa, dan pujian. Dira tersenyum tipis, lalu membuka galeri di ponselnya. Di sana, tersimpan foto serupa bersama kekasihnya. Tangannya hampir menekan tombol unggah, tapi ia menahan diri. “Nanti aja, tunggu caption yang pas,” gumamnya pelan.
Namun Dira tidak sendiri. Banyak orang hidup dalam pusaran yang sama—merasa cinta belum lengkap sebelum semuanya menyaksikan. Seolah kebahagiaan baru sah ketika mendapat validasi dari dunia maya. Romantisme pun berubah menjadi strategi pencitraan. Setiap senyum, pelukan, dan ucapan sayang dikurasi, disusun, dan dipamerkan. Cinta menjadi proyek visual yang menuntut bukti di layar, bukan ketulusan di hati.
Dunia Maya: Cermin atau Fatamorgana Cinta?
Kita hidup di era post-truth, masa ketika tampilan lebih dipercaya daripada kenyataan. Dunia maya menampilkan kisah cinta yang tampak sempurna—tawa yang renyah, pelukan yang hangat, dan hadiah yang manis memenuhi feed media sosial. Namun, di balik setiap unggahan, bisa saja tersimpan dingin yang tak tampak di layar. Foto-foto yang viral jarang menjadi cermin kejujuran; lebih sering, mereka adalah editan rasa, hasil olahan emosi yang dibungkus agar tampak bahagia.
Romantisme digital perlahan menggerus kesunyian batin dalam hubungan. Momen yang seharusnya sakral berubah menjadi bahan unggahan. Cinta yang mestinya tumbuh dari kedekatan kini terjebak dalam pencitraan. Jika dulu orang takut kehilangan pasangan, kini yang lebih menakutkan adalah kehilangan perhatian publik. Pertanyaan seperti “Kok dia nggak posting aku lagi?” menjadi bentuk baru kegelisahan cinta, sebuah keresahan yang lahir dari hausnya pengakuan.
Membandingkan Diri: Jebakan Generasi Digital
Budaya cinta-konten menciptakan generasi yang gemar membandingkan. Remaja seringkali merasa gagal karena pasangannya tak seromantis pasangan viral. Kebahagiaan sejati tidak ditentukan oleh seberapa sering kita diunggah. Kebahagiaan ditentukan oleh seberapa tulus kita dijaga.
Penelitian menunjukkan bahwa pasangan yang membagikan momen bahagia terkadang lebih bahagia. Namun, pasangan yang benar-benar bahagia cenderung tidak terlalu sibuk mengumbar kemesraan. Mereka memilih waktu berkualitas tanpa kamera. Unggahan tidak pernah bisa menjadi tolok ukur kebahagiaan.
Mengumbar kehidupan pribadi berlebihan membawa risiko. Cyberbullying, penyalahgunaan foto, hingga stres akibat tekanan sosial mengintai. Media sosial, jika tak bijak menggunakannya dapat memicu gangguan mental. Begiru huga dengan kecemasan dan depresi bisa timbul dari penilaian diri berdasarkan jumlah like dan komentar.
Cinta dalam Pandangan Islam: Antara Panggung dan Ketenangan
Dalam pandangan Islam, cinta bukan sekadar perasaan, tetapi tanggung jawab spiritual. Rasulullah Saw bersabda, “Apabila seseorang mencintai saudaranya, hendaklah ia mengatakannya karena Allah.” (HR. Abu Dawud). Cinta karena Allah Swt tidak butuh panggung; ia mencari ketenangan. Ia tumbuh dalam diam, berbuah doa, dan memperkuat jiwa.
Namun, dunia digital sering memutarbalikkan makna cinta. Ia menjadikannya ladang riya dan ujub. Riya mendorong seseorang menampilkan cinta demi validasi manusia, sedangkan ujub menumbuhkan kebanggaan berlebihan atas hubungan yang tampak ideal di layar. Dua penyakit hati ini halus, tapi mematikan. Saat keikhlasan terkikis, cinta kehilangan ruhnya. Ia mungkin tampak bersinar di dunia maya, tetapi redup di hadapan Allah Swt.
Dalam Al-Qur’an, Allah Swt menggambarkan cinta sejati dengan tiga kata: sakinah, mawaddah, dan rahmah. Nilai-nilai ini lahir dari kejujuran dan kesetiaan. Hal ini tidak lahir dari feed yang estetik. Di tengah gemuruh digital, langkah paling berani adalah mencintai dalam diam. Cinta sejati tidak butuh kamera untuk terlihat indah tetapi cukup Allah Swt yang tahu, dan dua hati yang saling memahami.(kareemustofa)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
