CM Corner
Beranda » Berita » Partisipasi Bermakna dalam Pesta Demokrasi

Partisipasi Bermakna dalam Pesta Demokrasi

Bilik Suara Tempat Pemungutan Suara
Indeks Partisipasi Pilkada

Oleh : Masykurudin Hafidz, Direktur Akademi Pemilu dan Demokrasi (APD)

Pilkada Serentak 2024 menjadi salah satu ujian terbesar bagi demokrasi Indonesia. Penyelenggaraannya sarat dengan kompleksitas, terutama karena jadwalnya yang berdekatan dengan Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden. Kondisi ini menimbulkan tantangan tersendiri untuk menjaga antusiasme pemilih tetap tinggi di tengah padatnya agenda elektoral. Meski demikian, Pilkada Serentak yang digelar November 2024 relatif berjalan damai, partisipatif, dan penuh inovasi.

Berbagai catatan dan kekurangan memang masih mewarnai proses penyelenggaraan. Salah satu sorotan utama adalah terkait partisipasi politik warga. Untuk memotret dan mengkaji partisipasi politik secara lebih komprehensif, KPU kemudian meluncurkan Indeks Partisipasi Pilkada (IPP) 2024 sebagai instrumen baru yang menawarkan perspektif berbeda dalam memahami partisipasi politik.

Selama ini, partisipasi politik kerap diukur hanya melalui variabel tunggal, yaitu voter turnout atau tingkat kehadiran pemilih di tempat pemungutan suara. Tingginya angka kehadiran juga sering dianggap sebagai standar kualitas demokrasi yang baik. Padahal angka partisipasi yang tinggi belum tentu mencerminkan partisipasi yang substantif. Karena itu, cara pandang semacam ini dinilai terlalu menyederhanakan realitas.

Jika ditelusuri lebih jauh, kehadiran pemilih di TPS tidak selalu lahir dari kesadaran politik warga, melainkan bisa dipengaruhi oleh mobilisasi politik melalui berbagai strategi seperti politik uang, atau tekanan identitas lainnya. Padahal, dalam iklim demokrasi yang sehat, partisipasi politik seharusnya lahir dari kesadaran warga, keterlibatan kritis, dan akses yang setara bagi seluruh warga negara.

Menyelaraskan Minimalisme dan Konsep Zuhud: Relevansi Kitab Riyadhus Shalihin di Era Modern

Untuk itulah IPP dihadirkan, guna memberikan potret yang lebih komprehensif. Pengukuran partisipasi politik tidak lagi berhenti pada angka turnout. Partisipasi politik diukur melalui lima variabel kunci: registrasi pemilih, pencalonan, kampanye, sosialisasi dan pendidikan pemilih, serta voter turnout. Dengan demikian, partisipasi politik dipahami sebagai rangkaian proses yang berlangsung sepanjang tahapan pemilu, bukan sekadar pada saat pencoblosan.

Memperluas Makna Partisipasi

Dalam praktiknya, penting untuk memperluas makna partisipasi agar seluruh warga negara memperoleh akses yang setara dalam proses elektoral. Pada saat Pilkada 2024, realitas dilapangan menunjukan bahwa tingkat partisipasi kelompok rentan termasuk disabilitas mendapatkan tantangan serius mulai dari aksesibilitas TPS hingga kurangnya dukungan data yang akurat.

Hal serupa juga terlihat pada keterwakilan perempuan dalam proses pencalonan dan partisipasi politik. Meskipun tingkat partisipasi perempuan dalam memberikan suara relatif tinggi, keterlibatan mereka dalam pencalonan kepala daerah masih sangat terbatas. Kondisi ini menunjukkan bahwa tingginya angka partisipasi di satu sisi justru dapat menutupi minimnya partisipasi yang lebih bermakna.

Untuk menjawab persoalan tersebut, KPU daerah menggagas berbagai inisiatif dan inovasi program sosialisasi serta pendidikan pemilih. Perogram yang dijalankan misalnya seperti KKN Pemilu, Café Demokrasi, Rabu Bacarita, hingga Camp Pilkada. Program-program ini menjadi wujud konkret upaya mendorong masyarakat agar tidak sekadar hadir di tempat pemungutan suara, tetapi juga memahami demokrasi sebagai bagian dari praktik kehidupan sehari-hari.

Laporan Indeks Partisipasi Pilkada 2024 menunjukkan contoh menarik dari Jawa Timur. Melalui berbagai inovasi dan program yang dijalankan, provinsi ini berhasil meraih skor akhir tertinggi dengan nilai 80,87. Meskipun skor voter turnout hanya mencapai 68,88, variabel lainnya secara konsisten memperoleh nilai di atas 80.

Strategi Membangun Masyarakat Madani Melalui Nilai-Nilai Hadis yang Autentik

Dari Jawa Timur kita belajar bahwa keberhasilan partisipasi politik tidak hanya ditentukan oleh angka kehadiran pemilih di bilik suara. Variabel lain seperti registrasi pemilih, pencalonan, kampanye, serta sosialisasi dan pendidikan pemilih juga menunjukkan adanya upaya serius untuk membangun partisipasi yang lebih bermakna. Dengan demikian, Jawa Timur memberikan contoh bagaimana inovasi dan konsistensi program mampu memperluas ruang partisipasi politik warga di luar sekadar momentum pencoblosan.

Tentu, langkah ini belum sempurna. Variasi partisipasi antar-daerah, kesenjangan gender, keterbatasan akses kelompok rentan, serta tantangan kualitas kampanye tetap menjadi pekerjaan rumah besar. Namun, hadirnya IPP memberi fondasi penting untuk melihat partisipasi politik secara lebih komprehensif.

Menjaga Demokrasi, Melampaui Angka Statistik

Sudah semestinya partisipasi politik tidak hanya dimaknai sebagai angka, tetapi juga sebagai wujud ketangguhan demokrasi (democratic resilience). Dalam konteks global, capaian IPP dapat dibaca sebagai tanda resiliensi demokrasi Indonesia. Tren kemunduran indeks demokrasi di berbagai negara mencerminkan gelombang backsliding yang menegaskan bahwa demokrasi tidak boleh dianggap stabil dan aman begitu saja. Pilkada 2024 menjadi bukti bahwa, di tengah berbagai tekanan dan tantangan, demokrasi lokal di Indonesia masih hidup dan berdenyut.

Ke depan, tantangan kita adalah memastikan bahwa inovasi, partisipasi, dan pendidikan politik benar-benar mampu melahirkan warga yang kritis, rasional, dan inklusif. Demokrasi Indonesia tidak boleh berhenti pada tataran prosedural, tetapi harus tumbuh sebagai demokrasi yang substantif. Dengan demikian, demokrasi hanya akan kuat jika rakyat merasa memiliki serta terlibat dalam setiap tahapannya.

Sinergi Hukum dan Moralitas dalam Kitab Riyadus Shalihin: Membentuk Pribadi Muslim Utuh

Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement