Opinion
Beranda » Berita » Tajam Bicaranya Tapi Tumpul Penanya

Tajam Bicaranya Tapi Tumpul Penanya

Tajam Bicaranya, Tapi Tumpul Penanya
Tajam Bicaranya, Tapi Tumpul Penanya

 

SURAU.CO – “Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 104)

Dakwah adalah amanah besar. Ia bukan sekadar seruan dari lisan, melainkan gerak hati dan kerja intelektual yang memancar dari keimanan. Seorang pendakwah sejati tidak hanya fasih di atas mimbar, tetapi juga mampu menorehkan hikmah lewat tulisan. Sebab, tulisan memiliki umur yang lebih panjang dari suara. Ceramah mungkin berhenti di telinga, tapi tulisan hidup di hati dan waktu yang jauh lebih lama.

Antara Retorika dan Pena

Dalam dunia dakwah, sering kita temui para dai yang begitu tajam lisannya dalam menyampaikan kebenaran — suaranya menggugah, retorikanya membakar semangat. Mereka adalah singa podium, penggetar jiwa umat. Namun, ketika diminta menulis, tangan mereka seakan kaku. Pena mereka tumpul, tak sebanding dengan ketajaman lidahnya.

Padahal, sejarah Islam menunjukkan bahwa kekuatan dakwah tidak hanya disebarkan lewat lisan, tapi juga lewat tulisan.

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Para ulama terdahulu seperti Imam al-Ghazali, Ibn Taimiyah, Ibn Katsir, al-Syafi’i, dan ratusan ulama lainnya bukan hanya orator ulung, tetapi juga penulis produktif. Karya mereka menjadi warisan ilmu yang menembus lintas zaman, menjangkau umat dari generasi ke generasi.

Menulis Sebagai Dakwah Abadi

Menulis adalah bentuk ta’lim (pengajaran) yang abadi. Apa yang disampaikan secara lisan akan hilang bersama angin, tapi apa yang ditulis akan kekal dan bisa dibaca kapan pun. Itulah sebabnya Rasulullah ﷺ menekankan pentingnya mencatat dan mendokumentasikan ilmu.

Imam an-Nawawi rahimahullah berkata,

“Barangsiapa menulis ilmu, maka ia telah mengikatnya. Dan barangsiapa tidak menulisnya, maka ia telah melepaskannya.”

Seorang dai yang menulis berarti memperluas ladang dakwahnya. Ia tidak hanya berdakwah kepada seratus jamaah di masjid, tetapi kepada ribuan pembaca di masa depan.

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Dakwah Bukan Profesi, Tapi Jalan Hidup

“Pendakwah memang tidak punya gaji, tapi mereka punya rezeki.” Kalimat ini sangat dalam maknanya. Dakwah bukan sekadar profesi yang diukur dengan materi, melainkan jalan hidup yang penuh berkah. Rezeki seorang pendakwah tidak selalu berupa uang, tetapi berupa keberkahan, ketenangan, dan pahala jariyah yang terus mengalir.

Rasulullah ﷺ bersabda:

> “Sampaikanlah dariku walau satu ayat.” (HR. Bukhari)

Tugas seorang dai adalah menyampaikan, bukan memastikan hasil. Tetapi ketika ia menyampaikan dengan ilmu, keikhlasan, dan keindahan bahasa — baik lewat suara maupun tulisan — Allah akan menumbuhkan pengaruh dari dakwah itu di hati manusia.

Menghidupkan Kembali Tradisi Pena Ulama

Mengubah Insecure Menjadi Bersyukur: Panduan Terapi Jiwa Ala Imam Nawawi

Kita membutuhkan kebangkitan pena dakwah. Dunia Islam modern sangat kaya dengan dai yang berbicara, tetapi masih minim penulis yang menulis dari hati dan ilmu. Padahal, media digital hari ini lebih membutuhkan pena daripada suara.

Tulisan yang baik bisa menembus algoritma, menjelajah dunia tanpa perlu izin, dan menggugah hati pembaca yang bahkan tak pernah kita temui. Seorang dai yang menulis berarti memperluas jejak dakwahnya — dari mimbar ke media, dari panggung ke pikiran, dari kata ke karya.

Menulis dengan Niat dan Adab

Namun, tidak semua tulisan bernilai dakwah. Pena seorang pendakwah harus diiringi niat yang benar dan adab yang luhur. Jangan sampai pena digunakan untuk mencaci, menuduh, atau memperkeruh keadaan.

Tulisan seorang dai seharusnya mencerminkan hikmah, kelembutan, dan kecerdasan ruhani. Sebagaimana firman Allah:

> “Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik.” (QS. An-Nahl [16]: 125)

Maka, sebelum menulis, seorang dai hendaknya berwudhu, menata hati, dan mengingat bahwa setiap kata akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah.

Konsistensi: Antara Lisan dan Tulisan

Tantangan terbesar bagi seorang pendakwah bukan hanya menjaga lisannya dari dusta, tapi juga menjaga penanya dari kelalaian. Konsistensi antara lisan dan tulisan adalah bentuk istiqamah ilmiah.

Seorang dai sejati tidak menulis untuk terkenal, tetapi untuk menghidupkan ilmu. Tidak menulis untuk dipuji, tetapi untuk menyebarkan petunjuk. Ia sadar bahwa dakwah adalah kerja panjang — dan tulisan adalah bekal untuk meneruskannya setelah ia tiada.

Doa dan Harapan

Semoga Allah menjadikan para pendakwah masa kini bukan hanya tajam bicaranya, tetapi juga tajam penanya. Bukan hanya mampu memukau di atas mimbar, tetapi juga mampu menginspirasi lewat karya tulis.

Semoga pula Allah memberi kekuatan dan keikhlasan kepada kita semua untuk istiqamah dalam menyampaikan risalah-Nya — baik lewat ucapan, tindakan, maupun tulisan. Salam Sehat dan Barokah. (Tengku Iskandar, M. Pd –
Duta Literasi Pena Da’i Nusantara Provinsi Sumatera Barat)


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement