Khazanah
Beranda » Berita » Mendoakan Baik Orang yang Menyakiti: Cahaya Maaf dalam Kitab Riyadhus Shalihin

Mendoakan Baik Orang yang Menyakiti: Cahaya Maaf dalam Kitab Riyadhus Shalihin

Laki-laki muslim berdoa dengan tenang di bawah cahaya lembut, menggambarkan makna mendoakan orang yang menyakiti dalam pandangan Riyadhus Shalihin
Ilustrasi realistik dan nyeni: seorang laki-laki muslim duduk di tepi jalan sunyi menjelang senja, dengan kedua tangan menengadah dalam doa, sementara cahaya lembut keemasan menerangi wajahnya. Latar belakangnya hening dan damai — menggambarkan kekuatan doa dan keikhlasan hati.

Surau.co. Tidak ada hati yang luput dari luka. Dalam perjalanan hidup, selalu ada manusia yang tanpa sengaja — atau bahkan dengan sengaja — menyakiti kita. Rasa kecewa, marah, dan sedih adalah bagian alami dari jiwa manusia. Namun, Islam datang bukan sekadar untuk menenangkan hati yang terluka, melainkan untuk menyucikan hati agar mampu mendoakan orang yang melukai.

Di sinilah letak keindahan ajaran Rasulullah ﷺ. Dalam kitab Riyadhus Shalihin, Imam an-Nawawi mengumpulkan banyak hadis tentang memendam amarah, memberi maaf, dan mendoakan kebaikan bagi orang lain, bahkan bagi mereka yang berbuat zalim. Sebuah pelajaran spiritual yang menuntun manusia keluar dari lingkaran dendam menuju cahaya rahmat.

Rasulullah ﷺ bersabda:

« لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرَعَةِ، إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الغَضَبِ »
“Orang kuat bukanlah yang pandai bergulat, tetapi yang mampu menahan dirinya ketika marah.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis ini menjadi fondasi spiritual bagi siapa pun yang berusaha menaklukkan amarah dengan doa.

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Menyikapi Luka dengan Doa

Ketika seseorang menyakiti, hati kita ingin membalas. Namun, Al-Qur’an mengajarkan jalan yang lebih tinggi: mendoakan kebaikan bagi yang berbuat buruk.

Allah ﷻ berfirman:

﴿ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ ﴾
“Balaslah (kejahatan) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antara kamu dan dia ada permusuhan akan menjadi seperti teman yang setia.” (QS. Fussilat [41]: 34)

Ayat ini tidak sekadar memberi nasihat moral, tapi menawarkan terapi jiwa. Doa untuk orang yang menyakiti bukan bentuk kelemahan, melainkan tanda kekuatan hati. Ia menandakan bahwa seseorang tidak dikendalikan oleh emosi, melainkan oleh cinta dan kesadaran spiritual.

Dalam Riyadhus Shalihin, Imam Nawawi menyebutkan bahwa mendoakan kebaikan bagi orang lain, termasuk musuh, adalah akhlak yang terpuji karena mengandung dua kebajikan: tazkiyatun nafs (penyucian jiwa) dan ihsan (kebaikan tingkat tinggi).

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

Teladan Rasulullah ﷺ dalam Memaafkan

Sejarah Rasulullah penuh dengan contoh bagaimana beliau menghadapi kebencian dengan doa. Saat penduduk Thaif melempar batu hingga kaki beliau berdarah, malaikat Jibril datang menawarkan untuk membinasakan mereka. Namun Rasulullah ﷺ berkata dengan lembut:

« اللَّهُمَّ اهْدِ قَوْمِي فَإِنَّهُمْ لاَ يَعْلَمُونَ »
“Ya Allah, berilah petunjuk kepada kaumku, karena mereka tidak mengetahui.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Kata-kata ini bukan sekadar doa, tapi simbol kematangan spiritual. Beliau tidak berdoa agar mereka dihukum, tetapi agar mereka mendapat hidayah. Itulah cinta sejati — cinta yang melihat potensi kebaikan dalam diri orang yang berbuat salah.

Imam Nawawi dalam syarahnya menulis:

قال النووي رحمه الله: “في هذا الحديث دليل على كمال حلمه ﷺ، وعظيم شفقته على أمته.”
“Hadis ini menunjukkan kesempurnaan kesabaran beliau ﷺ dan besarnya kasih sayang beliau terhadap umatnya.”

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Rasulullah ﷺ memaafkan bukan karena lemah, tapi karena beliau melihat dunia dari kaca mata akhirat — tempat segala luka disembuhkan oleh pahala.

Mengubah Dendam Menjadi Ibadah

Mendoakan orang yang menyakiti adalah ibadah hati. Ia bukan hanya bentuk kesabaran, tapi juga sarana pembersihan batin. Dalam setiap doa untuk orang lain, kita sebenarnya sedang menyembuhkan diri sendiri.

Imam an-Nawawi mengutip hadis Nabi ﷺ:

« مَنْ دَعَا لِأَخِيهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ، قَالَ الْمَلَكُ: آمِينَ، وَلَكَ بِمِثْلٍ »
“Barang siapa mendoakan saudaranya tanpa sepengetahuannya, malaikat berkata: ‘Amin, dan untukmu juga seperti itu.’” (HR. Muslim)

Hadis ini menunjukkan bahwa ketika seseorang berdoa untuk kebaikan orang lain — termasuk orang yang menyakitinya — maka malaikat juga mendoakan hal yang sama untuk dirinya.

Maka, setiap doa kebaikan yang kita kirimkan kepada orang yang melukai hati kita adalah kebaikan yang kembali kepada diri sendiri. Dendam hanya melahirkan gelap, sedangkan doa melahirkan cahaya.

Kekuatan Spiritual dari Pemaafan

Dalam psikologi modern, banyak penelitian menunjukkan bahwa memaafkan orang lain mengurangi stres dan meningkatkan kesehatan mental. Namun jauh sebelum teori psikologi itu lahir, Islam telah menanamkan makna ini dalam ajaran akhlaknya.

Allah berfirman:

﴿ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ ﴾
“(Ialah) orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain; Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Ali Imran [3]: 134)

Ayat ini menunjukkan tiga tahap spiritual: menahan amarah, memberi maaf, dan berbuat baik. Mendoakan orang yang menyakiti berada di puncak tahapan ini — karena kita bukan hanya menahan amarah, tapi juga membalas keburukan dengan doa.

Imam Nawawi menjelaskan dalam Riyadhus Shalihin bahwa orang yang mampu mencapai tahap ini berarti telah menempuh jalan para shalihin, karena hatinya telah dibersihkan dari dendam.

Mengubah Pandangan: Dari Luka Menjadi Pelajaran

Mendoakan orang yang menyakiti tidak berarti melupakan kesalahan mereka. Islam tidak meminta kita untuk menjadi naif, tetapi untuk menjadi bijak dan lapang hati.

Ketika seseorang berbuat buruk, kita belajar tentang kesabaran. Ketika seseorang menipu, kita belajar tentang kejujuran. Dan ketika seseorang melukai, kita belajar tentang kekuatan doa.

Doa bukan tanda menyerah, tetapi tanda bahwa kita mempercayakan urusan kepada Allah. Dalam Riyadhus Shalihin, Imam Nawawi menegaskan pentingnya tawakkal dalam menghadapi manusia:

“مَنْ تَوَكَّلَ عَلَى اللَّهِ كَفَاهُ اللَّهُ وَوَقَاهُ شَرَّ النَّاسِ.”
“Barang siapa bertawakal kepada Allah, maka Allah akan mencukupinya dan melindunginya dari kejahatan manusia.”

Artinya, saat kita menyerahkan segala luka kepada Allah, kita tidak kehilangan kendali, justru menemukan ketenangan.

Mendoakan Musuh: Jalan Para Kekasih Allah

Para ulama sufi dan ahli tasawuf sering menyebut bahwa salah satu tanda hati yang bersih adalah kemampuan mendoakan musuh dengan tulus. Mereka melihat orang yang berbuat buruk bukan sebagai musuh, melainkan sebagai sarana ujian untuk menguji kualitas sabar dan kasih.

Imam al-Ghazali menulis dalam Ihya’ Ulumiddin, “Ketika engkau mendoakan kebaikan bagi musuhmu, sebenarnya engkau sedang memadamkan api kebencian yang setan tiupkan ke dalam hatimu.”

Doa yang lahir dari hati seperti ini akan menumbuhkan kedamaian batin. Dan kedamaian batin adalah bentuk kemenangan sejati yang tidak bisa direbut oleh siapa pun.

Menghidupkan Cinta di Atas Luka

Mendoakan orang yang menyakiti adalah seni hidup yang hanya dipahami oleh hati yang lembut. Ia tidak lahir dari teori, tapi dari perjalanan spiritual panjang yang penuh air mata.

Ketika kita memilih untuk berdoa, bukan membalas, maka kita sedang menyiram api kebencian dengan air cinta. Inilah yang menjadikan seorang hamba mulia di sisi Allah. Doa tidak selalu mengubah orang lain, tapi selalu mengubah diri sendiri. Ia menjadikan luka sebagai ladang pahala dan menjadikan kesabaran sebagai mahkota yang tak ternilai.

Pada akhirnya, mendoakan orang yang menyakiti adalah amal hati yang paling indah. Ia bukan hanya bentuk kebaikan kepada sesama, tapi juga ibadah yang menumbuhkan kedekatan dengan Allah.

*Gerwin Satria N

Pegiat literasi Iqro’ University Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement