Surau.co. Di era serba posting, banyak orang terdorong melakukan kebaikan agar terlihat, di-like, atau di-comment. Sedekah, yang seharusnya menjadi ibadah sunyi antara hamba dan Allah, sering berubah menjadi konten pamer kebaikan. Padahal, Islam telah lama mengajarkan bahwa sedekah diam-diam lebih utama karena menjaga hati dari riya dan menjauhkan amal dari tepuk tangan manusia. Kitab Riyadhus Shalihin karya Imam an-Nawawi, juga ayat-ayat Al-Qur’an serta hadits Nabi, menegaskan betapa agungnya sedekah yang tersembunyi.
Sedekah diam-diam bukan sekadar aksi sosial, tetapi upaya menyucikan batin. Di era digital, saat perhatian menjadi mata uang baru, menjaga keikhlasan menjadi ujian yang jauh lebih berat. Karena itu, berbicara tentang sedekah diam-diam hari ini sama relevannya dengan 1400 tahun yang lalu. Bahkan, mungkin lebih mendesak.
Keutamaan Sedekah yang Disembunyikan
Imam an-Nawawi dalam Riyadhus Shalihin mengutip hadits Nabi ﷺ tentang tujuh golongan yang akan mendapat naungan Allah di hari ketika tiada naungan selain naungan-Nya. Salah satunya adalah:
وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا حَتَّى لَا تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِينُهُ
“Seseorang yang bersedekah dengan satu sedekah lalu ia menyembunyikannya, hingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diinfakkan tangan kanannya.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits ini menegaskan bahwa kemuliaan sedekah justru tampak saat tidak ada sorotan. Nabi ﷺ menggambarkan kesungguhan menyembunyikannya sampai-sampai tangan kiri—sebagai simbol diri sendiri—tidak tahu apa yang dilakukan tangan kanan. Ini bukan sekadar gaya bahasa, tetapi penekanan agar hati steril dari motif pamer.
Allah juga menegaskan:
﴿إِنْ تُبْدُوا الصَّدَقَاتِ فَنِعِمَّا هِيَ ۖ وَإِنْ تُخْفُوهَا وَتُؤْتُوهَا الْفُقَرَاءَ فَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ﴾
“Jika kalian menampakkan sedekah, itu baik. Namun jika kalian menyembunyikannya dan memberikannya kepada orang-orang fakir, maka itu lebih baik bagi kalian.” (QS. Al-Baqarah: 271)
Ayat ini sangat eksplisit: menampakkan boleh, tetapi menyembunyikan lebih baik.
Ujian Baru di Era Serba Posting
Dulu, godaan sedekah hanya dua: ikhlas atau riya. Hari ini, godaannya bercabang: ikhlas, riya, panjat sosial, konten engagement, branding personal, atau monetisasi aksis sosial. Banyak yang berawal dari niat baik, tetapi pelan-pelan jiwanya mulai haus dilihat.
Media sosial menciptakan panggung, dan manusia sering terdorong menjadi aktor kebaikan. Setelah sekali posting dan mendapat pujian, muncul godaan episode kedua, ketiga, dan seterusnya. Lama-lama, sedekah tidak lagi mencari ridha Allah, tetapi mencari validasi dan tepuk tangan.
Akibatnya, sedekah kehilangan ruh. Yang tersisa hanya citra—indah dilihat, hampa di langit.
Sedekah Sunyi: Melatih Keikhlasan dalam Kebisingan Dunia
Menjaga sedekah tetap sunyi di era bising adalah latihan ruhani tingkat tinggi. Sedekah diam-diam memaksa seseorang berdiri hanya di hadapan Allah. Tidak ada kamera, tidak ada saksi, tidak ada “bukti” untuk dipamerkan.
Imam an-Nawawi menjelaskan bahwa sedekah yang disembunyikan lebih menghantarkan pelakunya pada maqam ikhlas, karena ia “khālishan lillāh dūna syarikatin”—murni hanya untuk Allah, tanpa sekutu (syuhrah, pujian, atau pamrih manusia).
Saat seseorang sanggup memberi tanpa dilihat, Allah-lah yang menjadi saksi. Satu-satunya “notifikasi” yang ia harapkan hanyalah pahala yang terkirim ke akhirat.
Praktik Sedekah Diam-Diam yang Relevan Hari Ini
Sedekah diam-diam bukan berarti membisu tanpa aksi. Justru sebaliknya—ia harus aktif, kreatif, dan peka. Di zaman sekarang, wujud konkretnya bisa berupa:
- Transfer tanpa nama kepada yang membutuhkan
- Menitipkan bantuan melalui orang ketiga tanpa identitas
- Mengirim sembako tanpa jejak kamera
- Membayar utang seseorang tanpa memperkenalkan diri
- Mendanai anak yatim tanpa exposure media sosial
Teknologi bisa tetap dipakai—asalkan bukan untuk panggung ego.
Bolehkah Sedekah Diumumkan?
Islam tidak melarang sedekah terbuka. Bahkan terkadang dianjurkan jika untuk memotivasi orang lain. Namun, yang harus dijaga adalah hati. Sedekah yang tampak mata tidak otomatis salah. Yang salah adalah ketika niatnya bergeser demi popularitas, tepuk tangan, dan citra diri.
Karena itu, rumusnya begini:
Jika untuk memotivasi orang lain — boleh.
Jika untuk memotivasi diri sendiri — hati-hati.
Jika untuk memamerkan — hentikan.
Penutup: Ke Sunyi yang Menghidupkan
Pada akhirnya, sedekah diam-diam adalah perjalanan kembali ke sunyi. Di sana, seorang hamba belajar moralitas tertinggi: berbuat baik meski tidak ada yang tahu. Dunia mungkin tidak mencatatnya, tetapi langit menyimpannya sebagai cahaya.
Di era serba posting, sembunyikan sebagian amalmu. Biarlah ada rahasia antara engkau dan Allah. Sebab, kelak pada hari ketika semua manusia ingin dilihat, hanya sedikit yang mendapat tempat tersembunyi di bawah naungan-Nya.
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
