Khazanah
Beranda » Berita » Ketika Niat Jadi Kompas: Mengukur Amal di Dunia Serba Viral (Refleksi dari Kitab Riyadhus Shalihin)

Ketika Niat Jadi Kompas: Mengukur Amal di Dunia Serba Viral (Refleksi dari Kitab Riyadhus Shalihin)

Kompas bersinar sebagai simbol keikhlasan di dunia digital
Seorang pejalan berdiri di padang luas pada senja hari, memegang kompas yang bersinar lembut, sementara cahaya menyerupai kaligrafi Arab “إخلاص” muncul samar di langit.

Surau.co. Di zaman ketika segalanya dapat dilihat, diabadikan, dan dibagikan dalam hitungan detik, manusia seakan berlomba untuk menjadi “terlihat baik.” Amal, yang dahulu bersifat rahasia antara hamba dan Tuhan, kini sering tampil dalam sorotan publik, padahal niat dapat menjadi sebuah kompas — di media sosial, ruang siar, bahkan di ruang pribadi yang terbuka bagi ribuan mata.
Namun demikian, di balik kemajuan teknologi ini, muncul pertanyaan yang mengusik hati: masihkah kita melakukan sesuatu karena Allah semata, atau karena ingin dilihat dan dikagumi manusia?

Sebagai landasan, dalam bab pertama kitab Riyadhus Shalihin, Imam Nawawi membuka pembahasan dengan hadis agung yang menjadi fondasi seluruh amal:

عَنْ أَمِيرِ الْمُؤْمِنِينَ أَبِي حَفْصٍ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ:
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
“Sesungguhnya setiap amal tergantung pada niatnya, dan sesungguhnya setiap orang akan mendapatkan balasan sesuai dengan apa yang diniatkannya.” (HR. Bukhari & Muslim)

Hadis ini bukan sekadar pembuka kitab. Sebaliknya, ia merupakan kompas ruhani yang menentukan arah seluruh amal manusia. Dalam penjelasannya, Imam Nawawi menegaskan bahwa niat adalah “timbangan amal yang paling halus dan paling menentukan.” Oleh karena itu, tanpa niat yang lurus, amal besar akan menjadi ringan; sedangkan dengan niat yang ikhlas, amal kecil bisa melampaui gunung-gunung pahala.

Dunia Viral dan Krisis Ikhlas

Kini, dunia “viral” menantang setiap niat manusia. Amal saleh tak lagi sekadar dilakukan, tetapi juga ditampilkan. Secara perlahan namun pasti, niat yang semula murni bisa bergeser — dari “karena Allah” menjadi “karena algoritma.”
Setiap tombol upload menyimpan godaan riya’ yang halus. Kita ingin dikenal sebagai dermawan, aktivis sosial, atau relawan kemanusiaan. Di sisi lain, kita juga ingin postingan kita disukai, dibagikan, bahkan disanjung.

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Padahal, Allah telah mengingatkan dalam Al-Qur’an:

فَوَيْلٌ لِّلْمُصَلِّينَ، الَّذِينَ هُمْ عَن صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ، الَّذِينَ هُمْ يُرَاءُونَ
“Maka celakalah orang-orang yang shalat, (yaitu) mereka yang lalai dari shalatnya, yang berbuat riya.”
(QS. Al-Ma’un: 4–6)

Ayat ini menegur bukan hanya mereka yang meninggalkan ibadah, tetapi juga mereka yang beribadah untuk dilihat orang lain. Dengan kata lain, riya’ adalah penyakit niat — penyakit yang tidak selalu tampak, tetapi mampu membatalkan makna amal secara mendalam.
Sebagaimana dijelaskan Imam Nawawi dalam komentarnya terhadap Riyadhus Shalihin:

«والإخلاص تصفية العمل عن ملاحظة المخلوقين»
“Ikhlas adalah memurnikan amal dari pandangan manusia.”

Betapa sulitnya memurnikan amal di zaman yang serba terlihat ini. Bahkan sering kali amal yang tak disiarkan terasa kurang bermakna. Namun justru di situlah letak ujian keikhlasan yang sejati — ketika seseorang tetap beramal meski tanpa penonton.

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

Niat dan Amal dalam Kacamata Riyadhus Shalihin

Selanjutnya, Imam Nawawi menempatkan bab niat di awal Riyadhus Shalihin bukan tanpa alasan. Hal ini menunjukkan bahwa niat merupakan akar dari seluruh amal. Bahkan, amal yang sama bisa bernilai sangat berbeda tergantung pada niat pelakunya.
Sebagai contoh, seseorang memberi sedekah: yang satu karena Allah, sementara yang lain karena ingin dianggap dermawan. Maka nilai amal keduanya pun sejauh langit dan bumi.

Dalam penjelasannya yang lembut, Imam Nawawi menulis:

«نية المؤمن خير من عمله»
“Niat seorang mukmin lebih baik daripada amalnya.”

Mengapa demikian? Sebab, niat menumbuhkan konsistensi batin. Ia menjadi energi yang menuntun amal, bukan sekadar dorongan spontan. Oleh karena itu, di era serba cepat, ketika manusia mudah tergoda melakukan sesuatu demi validasi publik, niat menjadi jangkar yang menahan hati agar tetap tenang dan tulus.

Media Sosial dan Amal yang Terbuka

Sementara itu, tidak ada yang salah dengan menampilkan kebaikan di ruang publik. Allah bahkan berfirman dalam surah Al-Baqarah ayat 271:

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

إِن تُبْدُوا الصَّدَقَاتِ فَنِعِمَّا هِيَ ۖ وَإِن تُخْفُوهَا وَتُؤْتُوهَا الْفُقَرَاءَ فَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ
“Jika kamu menampakkan sedekahmu, itu baik; tetapi jika kamu menyembunyikannya dan memberikannya kepada orang miskin, itu lebih baik bagimu.”

Dengan demikian, ayat ini menegaskan bahwa amal yang terlihat tidak selalu tercela, selama niatnya tetap lurus. Di dunia digital, niat itulah yang harus terus dijaga. Amal yang disiarkan bisa menjadi inspirasi bagi orang lain, tetapi harus dimulai dari keinginan memberi teladan, bukan mengejar pengakuan.
Maka, sebelum menekan tombol “bagikan”, mari bertanya: apakah ini akan membuat orang lebih dekat kepada Allah, atau hanya membuatku tampak lebih baik di mata manusia?

Menimbang Amal di Era Algoritma

Setiap era memiliki tantangan spiritualnya sendiri. Jika dahulu orang berjuang melawan riya’ di majelis dan pasar, kini kita melawannya di layar gawai.
Algoritma memang tidak memiliki moral, namun ia sangat memahami apa yang paling menggoda manusia: pujian, perhatian, dan keterlibatan. Oleh sebab itu, niat menjadi alat ukur yang tak tergantikan dalam menimbang nilai amal.

Kita boleh beramal di ruang digital — berdakwah, berbagi inspirasi, atau membantu sesama — tetapi jangan biarkan layar menggantikan wajah Allah sebagai tujuan akhir. Dalam sebuah hadis qudsi, Allah berfirman:

أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ، مَنْ عَمِلَ عَمَلًا أَشْرَكَ مَعِي فِيهِ غَيْرِي تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ
“Aku adalah Dzat yang paling tidak membutuhkan sekutu. Siapa yang melakukan amal dengan menyekutukan Aku dengan yang lain, maka Aku tinggalkan dia bersama sekutunya itu.”
(HR. Muslim)

Hadis ini seakan menampar lembut kesadaran kita: apabila amal tidak murni karena Allah, maka hilanglah nilai keutamaannya — meski tampak megah di mata dunia.

Ikhlas yang Tersembunyi: Amal Sunyi di Tengah Keramaian

Perlu dipahami bahwa ikhlas tidak berarti diam atau menolak tampil. Sebaliknya, ia berarti tetap lurus niat meski amalmu disaksikan banyak orang. Seorang ulama pernah berkata, “Orang ikhlas adalah yang tak peduli dipuji atau dicaci, sebab tujuannya bukan manusia.”
Imam Nawawi juga menulis:

«من أراد بعمله وجه الله فذلك الإخلاص، ومن أراد به غير ذلك فليس له من عمله شيء»
“Barang siapa menginginkan dengan amalnya wajah Allah, itulah ikhlas; siapa yang menginginkan selain itu, maka tiada bagian baginya.”

Dengan kata lain, dalam keheningan niat terdapat kebebasan. Amal menjadi ringan karena tidak lagi dibebani oleh harapan dilihat. Justru dalam kesunyian itulah ruh amal menemukan maknanya yang sejati.

Menemukan Kompas di Dalam Diri

Oleh karena itu, di tengah dunia yang penuh sorotan, mari kita kembali menemukan kompas batin: niat. Ia memang tidak bersuara, tetapi menentukan arah setiap langkah.
Jika niat kita benar, maka langkah sekecil apa pun akan bernilai besar di sisi Allah. Namun sebaliknya, jika niat melenceng, amal sebesar apa pun akan kehilangan arah.
Sebab sesungguhnya, niat bukan sekadar kata di hati, melainkan kesadaran yang tumbuh dari cinta kepada Allah. Ia menjadikan setiap gerak bernilai ibadah — makan, bekerja, menulis, bahkan bersosial media — asalkan tujuan akhirnya adalah ridha-Nya.

Penutup: Cahaya Kompas di Jalan Sunyi

Pada akhirnya, dunia ini akan terus berputar, dan algoritma akan terus berubah. Meskipun demikian, niat — kompas ruhani itu — akan selalu setia menunjukkan arah yang sama: menuju Allah.
Ketika niat lurus, amal menjadi jernih, dan hidup pun tenang. Niat menjadi sebuah kompas, tak peduli seberapa viral amalmu, selama hatimu tertaut kepada Allah, maka engkau telah berjalan di jalan yang benar.

Semoga kita semua mampu menjaga niat di tengah dunia yang gemar menatap dan menilai. Sebagaimana sabda Nabi ﷺ:

إِنَّ اللهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ، وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ
“Sesungguhnya Allah tidak melihat rupa dan harta kalian, tetapi Dia melihat hati dan amal kalian.” (HR. Muslim)

*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement