SURAU.CO– Mengenai konsep fitrah, kita dapat menukil dalam hadis Rasulullah :
“Abu Hurairah r.a meriwayatkan bahwa Nabi Saw telah bersabda: “Tidak ada seorang anak pun yang terlahir ke dunia ini melainkan ia terlahir dalam keadaan al-fithrah (kesucian Islam). Maka, kedua orang tuanyalah yang kemudian mendidiknya menjadi beragama Yahudi, atau Nashrani, atau Majusi. Sebagaimana seekor binatang terlahir dalam bentuk binatang yang sempurna anggota tubuhnya, adakah kamu mengetahui pada diri binatang itu anggota tubuh yang cacat?”. Lalu Abu Hurairah mengutip sebuah ayat (yang intinya) berkata: ‘Tetaplah pada kesucian agama Allah di mana manusia telah diciptakan dalam keadaan tersebut. Tidak ada yang dapat merubah fitrah yang telah diciptakan Allah, dan itulah agama yang lurus.”
Hadis ini menjelaskan tentang fitrah manusia sebagai instrumen Ilahiyah dari Allah Ta’ala kepada manusia yang berfungsi sebagai naluri beragama, yaitu agama tauhid, sebagaimana perjanjian manusia dengan Allah waktu zaman Azali. Oleh karena itu, jika ada manusia tidak beragama tauhid, hal itu tidaklah wajar.
Makna fitrah
Secara etimologi, fitrah berasal dari kata فطر (fathara) yang sepadan dengan kata خلق (khalaqa) yang artinya mencipta. Biasanya ketiga kata tersebut digunakan dalam Al-Qur’an untuk menunjukkan pengertian sesuatu yang sebelumnya belum ada dan masih merupakan pola dasar yang perlu penyempurnaan. Fitrah juga berarti “sifat yang disifati dengannya terhadap segala wujud pada awal kejadiannya.” Dengan kata lain, suatu sifat dasar manusia. Sementara menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, fitrah berasal dari sifat asal, kesucian, bakat, pembawaan.
Menurut Quraish Shihab, fitrah adalah “menciptakan sesuatu pertama kali/tanpa ada contoh sebelumnya.” Dengan demikian, fitrah berarti unsur, sistem, dan tata kerja yang Allah ciptakan untuk makhluk-Nya sejak awal kejadian sehingga menjadi bawaannya. Inilah yang beliau sebut dengan arti asal kejadian atau bawaan sejak lahir.
Ibnu Khaldun memaknai fitrah sebagai potensi-potensi laten yang akan bertransformasi menjadi aktual setelah mendapat rangsangan dari luar. Ia mengatakan, jiwa dalam fitrahnya yang semula siap menerima kebaikan dan kejahatan yang datang dan melekat padanya.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa fitrah adalah suatu keadaan (yaitu agama Islam) dalam diri manusia yang telah diciptakan oleh Allah sejak manusia itu dilahirkan. Esensi dari agama Islam tersebut adalah tauhid.
Tauhid
Tauhid merupakan suatu kepercayaan tentang Tuhan dengan segala aspeknya, seperti soal wujud-Nya, keesaan-Nya, sifat-sifat-Nya; yang berhubungan dengan alam semesta seperti terjadinya alam semesta, keadilan dan kebijaksanaan Tuhan, qadha dan qadar; yang berhubungan dengan diutusnya para Rasul, alam gaib, kitab-kitab-Nya, dan lain-lain. Dasar dari adanya fitrah tersebut adalah pengakuan roh manusia sewaktu diciptakan. Dalam aspek tauhid, semua agama samawi sejak Nabi Adam as sampai penutup Nabi, Muhammad Saw., adalah sama. Perbedaannya hanya pada aspek syariatnya/mekanisme operasional aturan untuk mendekatkan diri pada Tuhan.
Secara prinsip, tidak terjadi silang pendapat pada kalangan ulama mengenai pengertian fitrah, apakah diartikan dengan agama samawi (hanīf), Islam, atau tauhid. Agama samawi dan Islam adalah agama yang pokok ajarannya berupa tauhid. Ini berarti ia memiliki kesamaan dengan agama-agama samawi sebelumnya. Dengan kata lain, percaya kepada Tuhan dan merasa memerlukan-Nya merupakan fitrah setiap manusia.
Kesesuaian ajaran tauhid dengan petunjuk akal
Oleh karena ajaran tauhid itu sesuai dengan petunjuk akal, maka akal akan membimbing fitrah. Jiwa manusia ibaratnya seperti lembaran putih bersih yang siap menerima cetakan, format, atau tulisan apa pun. Ia juga seperti lahan yang dapat kita tanami tumbuhan apa pun. Jiwa manusia mampu menyerap berbagai agama dan pengetahuan, akan tetapi yang ia serap adalah hal-hal yang baik. Jiwa manusia tidak akan mengubah atau mengganti fitrah tersebut dengan berbagai pendapat yang merusak. Akan tetapi, hal itu tentu ada guru yang mengajarinya ke arah yang rusak itu. Andaikata anak itu kita biarkan tumbuh dan berkembang tanpa ada pengaruh luar, maka anak akan tahu dengan sendirinya bahwa Tuhan itu Esa, dan akalnya akan menetapkan demikian. Ia menganalogikan hal itu dengan hewan yang lahir dalam keadaan terpotong telinganya atau bagian tubuh lainnya, kecuali karena faktor luar.
Ahmad Tafsir mengemukakan pendapat bahwa fitrah adalah potensi-potensi untuk menjadi baik dan sekaligus menjadi buruk, potensi untuk menjadi muslim dan untuk menjadi musyrik. Secara sederhana, fitrah bermakna potensi untuk beragama, juga potensi untuk tidak beragama. Penafsiran fitrah dengan arti potensi akan lebih tepat jika yang dimaksudkan adalah potensi-potensi internal manusia seperti: akal, ruh, nafs, qalb, fu’ad dan lain-lain. Potensi-potensi tersebut kita sebut dengan fithrah munazzalah, yaitu potensi-potensi atau kesiapan yang masih bersih tanpa goresan apa pun yang perkembangannya sangat bergantung kepada faktor luar, terutama sumber daya pendidikan. Perkembangan fithrah khalqiyyah sangat bergantung kepada pengembangan fithrah munazzalah.
Fitrah sebagai potensi baik
Hadis tentang fitrah menegaskan bahwa fitrah adalah potensi baik. Sebab, pengertian menjadi Yahudi, Nashrani, dan Majusi bermakna menyesatkannya. Artinya, orang tua yang menyebabkan perkembangannya menyimpang dari sifat dasar yang membawa fitrah ketauhidan dan sepatutnya berkembang ke arah yang baik.
Tegasnya, hadis tersebut menjelaskan bahwa fitrah yang kita bawa sejak lahir itu sangat besar terpengaruhi oleh faktor lingkungan yang mungkin dapat mengubah fitrah itu secara drastis. Ada kalanya lingkungan bisa membuat baik atau sebaliknya. Walaupun seorang anak mempunyai pembawaan (beragama tauhid), namun pembawaan itu tidak mempunyai kuasa mutlak untuk menentukan perkembangan baik.(St.Diyar)
Referensi : Muhammad Harfin Zuhdi, Hadis-Hadis Psikologi, 2019.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
