SURAU.CO – Malam kembali menyelimuti kota Madinah dengan keheningannya. Akan tetapi, bagi Khalifah Umar bin Khattab, malam bukanlah waktu untuk beristirahat sepenuhnya. Beliau justru memanfaatkannya untuk memastikan rakyatnya tidur dengan nyenyak. Dengan jubah sederhananya, Umar berjalan seorang diri. Ia menyusuri lorong-lorong kota yang sepi. Telinganya awas mendengarkan setiap suara. Hatinya waspada merasakan setiap denyut kehidupan warganya. Kebiasaan ini menjadi caranya untuk melihat langsung kondisi rakyat tanpa perantara.
Tiba-tiba, sebuah suara lirih memecah keheningan malam. Suara itu terdengar seperti nyanyian yang sarat dengan kesedihan dan kerinduan. Hati sang Khalifah tergerak. Kemudian, ia mengikuti sumber suara itu dengan langkah hati-hati. Langkahnya terhenti di depan sebuah rumah sederhana. Dari dalam rumah itulah lantunan syair pilu berasal. Umar dapat merasakan kepedihan mendalam dari setiap kata yang dinyanyikan. Ia tahu, di balik dinding itu ada hati yang sedang merana. Oleh karena itu, ia memberanikan diri untuk mengetuk pintu.
Rintihan Hati di Keheningan Malam
Seorang wanita membukakan pintu dengan wajah yang sembap. Umar dengan santun meminta izin untuk masuk dan berbincang sejenak. Wanita itu, yang tidak mengenali tamunya sebagai pemimpin tertinggi, mempersilakan Umar masuk. Di dalam, suasana terasa begitu sepi dan penuh dengan kehampaan. Sang Khalifah memulai percakapan dengan lembut untuk memahami masalah yang sedang dihadapi wanita tersebut. Ia tidak ingin membuat wanita itu merasa terintimidasi.
“Gerangan apa yang menimpamu?” tanya khalifah dengan penuh simpati.
Wanita itu menatap Umar dengan tatapan kosong. Ia kemudian menceritakan kegelisahan hatinya dengan begitu lugu. Beban yang selama ini ia pendam seolah tumpah ruah di hadapan orang asing yang menunjukkan kepedulian.
“Tuan telah mengirimkan suamiku dalam tugas selama berbulan-bulan dan aku sangat merindukan kehadirannya,” jawab wanita itu lugu.
Jawaban singkat itu terasa seperti sebuah tamparan keras bagi Umar. Ia seketika menyadari sesuatu yang lebih besar. Masalah ini bukan hanya tentang satu wanita atau satu prajurit. Ini adalah cerminan dari kebijakan yang mungkin telah ia abaikan. Perasaan bersalah langsung menyelimuti hatinya.
Empati Seorang Pemimpin Besar
Umar tidak hanya mendengar keluhan itu dengan telinga, tetapi juga dengan jiwa kepemimpinannya. Ia membayangkan posisi wanita tersebut. Seorang istri yang setia menanti kepulangan suaminya. Hari-harinya diisi dengan penantian panjang tanpa kepastian. Khalifah Umar pun bergumam dalam hatinya, sebuah refleksi yang menunjukkan betapa besar rasa tanggung jawabnya.
“Hanya Tuhan yang tahu berapa ratus istri yang aku buat sedih seperti wanita ini?”
Seketika, Umar sadar bahwa ia harus bertindak cepat. Kepeduliannya bukan sekadar basa-basi untuk menenangkan. Sebaliknya, itu adalah fondasi untuk sebuah solusi nyata. Ia menatap wanita di hadapannya dengan tatapan yang menenangkan. Ia berjanji akan memberikan jalan keluar dari kesedihannya.
“Bersabarlah, karena sungguh aku akan mengirimkan utusan kepadanya,” ujar Umar dengan tegas.
Setelah mengucapkan janji itu, Umar segera berpamitan. Pikirannya tidak lagi tenang. Malam itu, ia tidak melanjutkan inspeksinya. Sebaliknya, ia bergegas pulang dengan satu tujuan yang sangat jelas. Ia harus merumuskan sebuah kebijakan baru. Kebijakan yang lahir dari rintihan seorang istri prajurit di tengah keheningan malam Madinah.
Lahirnya Kebijakan yang Penuh Keadilan
Setibanya di kediamannya, Khalifah Umar tidak menunda waktu. Ia segera mengambil pena dan kertas. Tangannya dengan sigap menulis sebuah surat perintah yang ditujukan kepada semua panglima pasukan Muslim di berbagai medan jihad. Isi surat itu singkat, padat, namun memiliki dampak yang luar biasa bagi kesejahteraan keluarga para prajurit. Sebuah aturan yang menyeimbangkan antara kewajiban negara dan hak-hak asasi manusia.
Umar menulis surat kepada para panglima pasukan muslim, “Para prajurit tidak boleh bertugas lebih dari empat bulan dalam suatu ekspedisi.”
Perintah ini menjadi sebuah kebijakan permanen. Batas waktu empat bulan dianggap sebagai periode maksimal seorang suami bisa meninggalkan istrinya tanpa menimbulkan mudarat psikologis dan sosial. Kisah ini menjadi bukti nyata bahwa kepemimpinan dalam Islam tidak hanya berbicara tentang strategi perang dan perluasan wilayah. Namun, yang lebih penting adalah kepekaan terhadap suara rakyat paling lemah sekalipun. Sebuah kebijakan besar dapat lahir dari sebuah empati sederhana di lorong gelap sebuah kota.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
