Khazanah
Beranda » Berita » Tazkiyat al-Nafs : Dari Menjauhi Dosa Besar Hingga Mencapai Nafs al-Muthmainnah

Tazkiyat al-Nafs : Dari Menjauhi Dosa Besar Hingga Mencapai Nafs al-Muthmainnah

Ilustrasi hamba yang menyucikan diri dengan berdzikir.
Ilustrasi hamba yang menyucikan diri dengan berdzikir.

SURAU.CO– Tazkiyat al-Nafs bagi umat  selain suatu kebutuhan, bahkan menjadi  kewajiban, bagi setiap orang sehingga ia dapat terjaga dari segala kebinasaan dan kehancuran. Hal ini tegas Allah firmankan dalam Al-Qur’an:

“(yaitu) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji, yang selain dari kesalahan-kesalahan kecil. Sesungguhnya Rabbmu Maha Luas Ampunan-Nya. dan Dia lebih mengetahui (tentang keadaan)mu ketika Dia menjadikan kamu dari tanah dan ketika kamu masih janin dalam perut ibumu; maka janganlah kamu menganggap dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa.” (QS. An-Najm: 32).

Ayat ini secara spesifik menjelaskan karakter orang yang selalu melakukan proses Tazkiyat al-Nafs, yaitu dengan menjalankan perintah Allah dan pada saat yang bersamaan meninggalkan dosa-dosa besar dan perbuatan keji, seperti zina, minum khamar, memakan riba, dan membunuh. Adapun kesalahan atau dosa-dosa kecil yang ia lakukan sesekali, boleh jadi karena khilaf atau lalai. Namun, ia cepat kembali bertaubat dan tidak melakukannya secara terus-menerus, sehingga ia termasuk orang-orang yang muhsin.

Jiwa manusia menurud Sayyid Quthub

Sayyid Quthub mengatakan bahwa secara sunnatullah, jiwa manusia tercipta dengan dua kecenderungan yang berlawanan. Hal ini akibat adanya dua unsur yang memengaruhi proses penciptaannya, yaitu tanah dan ruh. Dengan demikian, manusia memiliki kemampuan yang sama untuk melakukan atau memilih kebaikan dan keburukan. Adapun risalah dan nasihat hanya berfungsi sebagai pengingat dan membangkitkan motivasi, bukan sebagai pembangkit kekuatan. Sifat jiwa manusia memiliki dua kecenderungan yang mendorong mereka untuk melakukan kebaikan atau keburukan. Atas dasar itu, mereka kelak akan menjalani hisab pada hari kiamat.

Telah jelas bahwa keberuntungan dan kesuksesan seseorang sangat bergantung pada seberapa jauh ia menyucikan jiwanya. Barangsiapa tekun membersihkan jiwanya, maka hidupnya selamat. Sebaliknya, siapa pun yang mengotori jiwanya akan senantiasa merugi dan gagal.

Pentingnya Akhlak Mulia

Berdasarkan hal itu, Sa‘id Hawwa mengatakan bahwa fardhu ‘ain pertama yang wajib  Muslim ketahui adalah harus mengetahui Islam secara global, mengimaninya, serta mengucapkan dua Kalimah Syahadat. Fardhu ‘ain kedua adalah harus mengetahui secara detail ajaran Islam yang menjadi kewajiban taklifiyah yang harus ia lakukan. Fardhu ‘ain ketiga yang wajib diketahui adalah ajaran Tauhid, ibadah, dan kebersihan jiwa.

Dengan demikian, memahami hakikat Tazkiyat al-Nafs, seluk-beluknya, serta bagaimana metode maupun konsepnya secara benar sudah menjadi suatu kewajiban bagi setiap manusia.

Nafsu sebagai fitrah

Nafsu pada dasarnya adalah fitrah yang dapat menjadi baik atau buruk. Oleh karena itu, kita harus membentuk dan membimbing nafsu agar tetap baik dan benar, yaitu dengan selalu mengikatkannya pada seluruh syariat Allah dan Rasul-Nya.

Syariat Islam secara keseluruhan bertujuan untuk Tazkiyat al-Nafs. Tujuan perintah salat, misalnya, adalah agar jiwa terhindar dari kekejian dan kemungkaran. Sebagaimana firman Allah dalam  Al-Qur’an:

“Sesungguhnya salat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar.” (QS. Al-Ankabūt: 45).

Hati-hatilah Dengan Pujian Karena Bisa Membuatmu Terlena Dan Lupa Diri

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah Ra, bahwa beliau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Bagaimana pendapat kalian jika seandainya ada sungai di depan pintu salah satu di antara kalian, kemudian dia mandi di dalamnya sehari sebanyak lima kali, apakah kalian akan mengatakan bahwa masih ada kotoran yang tersisa?” Para sahabat berkata, “Tidak akan ada kotoran sedikit pun yang tersisa.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Demikianlah perumpamaan salat lima waktu; Allah menghapuskan dosa-dosa dengannya.”

Berdasarkan hal ini, setiap muslim dituntut untuk membimbing jiwa, pikiran, dan perbuatannya berdasarkan syariat, sehingga semuanya menyatu dengan perasaannya. Inilah yang disebut Tazkiyat al-Nafs, yaitu sebuah proses pensucian diri (dari nafs al-ammarah dan nafs al-lawwamah) menuju kebaikan dan kualitas jiwa yang lebih baik (nafs al-muthmainnah) dengan mengikuti prinsip hukum Islam.

 Tazkiyat al-Nafs menurut kaum sufi

Para sufi mengartikan Tazkiyat al-Nafs dengan Takhliyat al-Nafs (mengosongkan diri dari akhlak tercela) dan Tahliyat al-Nafs (mengisi diri dengan akhlak terpuji). Kondisi ini hanya tercapai melalui latihan jiwa yang berat, termasuk memutuskan segala hubungan yang dapat merugikan kesucian jiwa dan mempersiapkan diri untuk menerima pancaran Nur Ilahi (tajalli).

Dengan bebasnya jiwa dari akhlak tercela dan penuh dengan akhlak terpuji, maka seseorang mudah mendekatkan diri kepada Allah secara kualitas, serta memperoleh nur-Nya, kemuliaan, dan kesehatan mental dalam hidup.

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Esensi Tazkiyat al-Nafs menurut kaum sufi cenderung pada pembahasan soal jiwa (al-nafs). Terdapat empat istilah yang berkaitan dengan al-nafs, yaitu al-qalb, al-ruh, al-nafs, dan al-aql. Al-Ghazali mengartikan Tazkiyat al-Nafs sebagai suatu proses penyucian jiwa manusia dari kotoran-kotoran, baik lahir maupun batin.

Dalam perspektif akhlak dan tasawuf, para ahli mengartikan Tazkiyat al-Nafs dengan Takhliyat al-Nafs dan Tahliyat al-Nafs. Intinya, dengan bebasnya jiwa dari akhlak tercela, seseorang dapat mendekatkan diri kepada Allah.

Yang termasuk dalam Tazkiyat al-Nafs

Hal yang termasuk dalam penyucian Tazkiyat al-Nafs adalah penyucian dari: 1) kufur, nifaq, fasiq, dan bid’ah, 2) syirik dan riya, 3) cinta kedudukan dan kepemimpinan, 4) dengki, 5) ‘ujub, 6) sombong, 7) bakhil, 8) keterpedayaan, 9) amarah yang zalim, 10) cinta dunia, dan 11) mengikuti hawa nafsu.

Dengan demikian, pengertian Tazkiyat al-Nafs berhubungan erat dengan akhlak dan kejiwaan, serta berfungsi sebagai pola yang membentuk manusia agar berakhlak baik dan bertakwa kepada Allah. Karenanya, siapa pun yang mengharapkan Allah dan hari akhir harus memperhatikan kebersihan jiwanya, sebab kebahagiaan dan ketenangan seseorang bergantung pada aspek Tazkiyat al-Nafs.(St.Diyar)

Referensi : Muhammad Harfin Zuhdi, Hadis-Hadis Psikologi, 2019.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement