SURAU.CO-Kata Tazkiyat adalah mashdar (kata benda) dari kata kerja Zakkā (زكّى), yang berasal dari akar kata Zakā (زكا). Kata ini berarti menumbuhkan, mengembangkan, memperbaiki, membersihkan, menyucikan, serta menjadikannya lebih baik.
Secara etimologi, kata al-Nafs adalah jiwa. Dalam arti psikis, ia mencakup akal, hati, nafsu, dan ruh, yang keempatnya merupakan esensi manusia. Sedangkan secara istilah suatu upaya pengkondisian spiritual agar jiwa merasa tenang, tenteram beribadah kepada Allah Ta’ala.
Makna Tazkiyat al-Nafs
Dengan demikian, Tazkiyat al-Nafs bermakna menyucikan, menguatkan, dan mengembangkan jiwa sesuai dengan potensi dasarnya (fitrah), yaitu potensi Iman, Islam, dan Ihsan kepada Allah. Dalam konteks ini, Tazkiyat al-Nafs juga merupakan proses penjernihan hati agar menjadi seperti kaca yang bening, sehingga ditembus cahaya (nūr) dan tidak menghalangi masuknya cahaya dari Allah. Hal ini adalah proses penyucian jiwa manusia dari berbagai kotoran, baik kotoran lahir maupun batin.
Menurut Said Hawwa, Tazkiyat al-Nafs (menyucikan jiwa) secara ringkas berarti membersihkan diri dari perbuatan syirik dan cabang-cabangnya (seperti sombong, riya, dengki, dan lain-lain), menanamkan nilai-nilai ketauhidan dan cabang-cabangnya, serta menerapkan perbuatan sesuai dengan nama-nama Allah yang diiringi ibadah kepada Allah, didasari keikhlasan kepada Allah dengan mengikuti sunah-sunah Rasulullah.
Salah satu ajaran penting dalam Islam
Tazkiyat al-Nafs merupakan salah satu ajaran penting dalam Islam. Bahkan, salah satu tujuan diutusnya Nabi Muhammad adalah untuk membimbing manusia agar meraih jiwa yang suci. Tazkiyat al-Nafs merupakan tugas terpenting para Nabi dan Rasul, serta menjadi tujuan orang-orang yang bertakwa dan saleh. Rasulullah merupakan pemimpin para Rasul sekaligus menjadi pemimpin dalam memperbaiki dan membersihkan jiwa.
Allah Ta’ala menyebutkannya dalam firman-Nya:
“Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, menyucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan Hikmah (as-Sunnah). dan Sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (QS. Al-Jumu‘ah [62]:2).
Para ahli tafsir menjelaskan bahwa di antara tugas Rasulullah terhadap umatnya adalah: Menyampaikan ayat-ayat Allah, Membersihkan atau menyucikan mereka, dan Mengajarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah kepada mereka.
Tazkiyat al-Nafs sebagai Solusi Krisis
Krisis dalam kehidupan manusia, baik berupa krisis ekonomi, politik, sosial, hukum, keamanan, dan moral, semuanya berakar dari krisis spiritual. Ini terjadi pada diri manusia. Oleh karena itu, dalam mengatasi berbagai krisis kehidupan yang menimpa umat manusia sepanjang sejarahnya, para Nabi dan Rasul senantiasa mengawali langkah mereka dengan melakukan Tazkiyat al-Nafs. Bahkan, hal ini menjadi syarat mutlak untuk keselamatan manusia dari berbagai krisis yang membelitnya.
Realitas sejarah menunjukkan kondisi jiwa para sahabat Rasulullah sebelum dan sesudah mengenal Islam. Sebelum mengenal Islam, jiwa mereka terkotori oleh debu-debu syirik, fanatisme golongan (ashabiyah), dendam, dengki, takabbur, dan sebagainya. Namun, setelah mendapat risalah Islam, mereka mengalami perubahan total. Jiwa mereka menjadi bersih, bertauhid, ikhlas, sabar, rida, dan zuhud. Hasilnya, peradaban Islam muncul dan tampil sebagai peradaban mulia pada pentas dunia dengan misi Rahmatan Lil ‘Alamin. Hal ini tentu terdorong oleh kesucian jiwa dan kemuliaan akhlak.
Raghib al-Sirjani mengatakan bahwa tujuan Islam adalah mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat dengan Tazkiyat al-Nafs melalui keimanan yang benar, mengenal Allah, amal saleh, dan akhlak mulia. Ini bukan sekadar keyakinan dan berpangku tangan saja, dan juga bukan hanya mengharapkan syafaat serta perbuatan-perbuatan yang di luar kebiasaan saja. Inilah yang ingin Al-Qur’an tunjukkan, yaitu adanya ikatan antara iman dan amal, dalam seruannya untuk orang-orang yang beriman.
Oleh karena itu, melakukan Tazkiyat al-Nafs menjadi suatu kebutuhan, bahkan kewajiban, bagi setiap orang sehingga ia dapat terjaga dari segala kebinasaan dan kehancuran.(St.Diyar)
Referensi : Muhammad Harfin Zuhdi, Hadis-Hadis Psikologi, 2019.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
