Khazanah
Beranda » Berita » Konsep Manusia: Jasad, Ruh, Akal, dan Terminologi Al-Qur’an

Konsep Manusia: Jasad, Ruh, Akal, dan Terminologi Al-Qur’an

Konsep manusia
Ilustrasi kesadaran manusia.

SURAU.CO-Manusia adalah makhluk Allah yang paling sempurna penciptaannya, dan mengemban amanah sebagai khalifah pada muka bumi. Manusia terdiri dari dua bagian: jasad dan ruh (substansi dan non-substansi).

Ruh terkait erat dengan akal; maksudnya dalam diri manusia ada tiga komponen: jasad, akal, dan hati. Semua komponen ini mempunyai arti yang sama, yaitu semua tertuju kepada spiritual manusia. Komposisi ini menciptakan kesempurnaan manusia.

Pengetahuan tentang ruh

Sedangkan ruh yang berada di badan merupakan komponen paling istimewa dalam diri manusia, karena ia berupa hembusan yang bersifat gaib dari Allah Ta’ala. Hanya Allah Ta’ala sajalah yang mengetahui bentuk dan hakikatnya. Allah berfirman,

“Dan mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang ruh. Katakanlah: ‘Ruh itu termasuk urusan Rabb-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.” (QS. Al-Isrā’: 85).

Melalui akal yang telah Allah karuniakan dan ruh yang Dia hembuskan, manusia mengemban tugas sebagai khalifah di muka bumi. Allah berfirman:

Pentingnya Akhlak Mulia

“Maka apabila telah kusempurnakan ciptaan-Ku, dan telah kutiupkan ke dalamnya ruh (ciptaan)-Ku” (QS. Al-Hijr: 29).

Dengan akal dan ruh ini, manusia dapat mengetahui mana yang baik dan indah dalam peradaban dan kehidupan kemanusiaan. Ketidakmampuan akal dalam meliputi segala sesuatu menghalangi manusia untuk merasakan seluruh totalitas hidup manusia secara sempurna. Hawa nafsu, syahwat, dan kelemahan adalah penyakit yang membuat manusia sedikit pun tidak akan selamat, kecuali melalui penyinaran wahyu.

Perangkat jasad, jiwa dan ruh

Allah menjadikan jasad, jiwa, dan ruh pada manusia sebagai perangkat dalam memahami agama: Islam Allah jadikan sebagai mashlahah terhadap badan, Iman sebagai mashlahah terhadap akal, dan Ihsan sebagai mashlahah terhadap ruh. Manusia merasakan kedamaian dan ketenangan ketika ia mampu menjaga keseimbangan antara kekuatan yang ada dalam tubuhnya, atau antara tuntutan jasad, jiwa, dan ruhnya.

Ketidakseimbangan atau kecenderungan berlebihan terhadap salah satu dari ketiga unsur tersebut dapat melahirkan ketimpangan dan keguncangan dalam diri manusia. Namun, hal yang terpenting dari ketiga unsur tersebut adalah unsur ruh. Di samping itu, ruh begitu erat kaitannya dengan Ihsan, di mana keimanan seorang muslim tidak akan sempurna kecuali dengannya, sementara Ihsan begitu erat kaitannya dengan tazkiyatun nafs (penyucian jiwa).

Definisi dan Kajian Psikologi

Psikologi berasal dari bahasa Yunani, terdiri dari kata Psyche atau psikis yang artinya jiwa, dan logos yang berarti ilmu. Secara etimologi, psikologi berarti ilmu jiwa atau ilmu yang mempelajari hal-hal kejiwaan. Namun, karena jiwa itu abstrak dan tidak dapat dilakukan kajian secara empiris, kajiannya bergeser pada gejala-gejala jiwa atau tingkah laku manusia. Oleh karena itu, yang menjadi objek adalah gejala jiwa atau tingkah laku.

Hati-hatilah Dengan Pujian Karena Bisa Membuatmu Terlena Dan Lupa Diri

Sedangkan secara terminologi, psikologi adalah ilmu tentang perilaku atau aktivitas-aktivitas individu. Perilaku atau aktivitas-aktivitas tersebut mencakup pengertian luas, yaitu perilaku yang tampak atau perilaku yang tidak tampak. Ini termasuk aktivitas motorik dan aktivitas emosional.

Diskursus tentang manusia tidak pernah sepi dari perbincangan sejak manusia tercipta. Oleh karena itu, pembahasannya akan selalu menarik dan tidak pernah tuntas. Pembicaraan mengenai makhluk psikofisik ini laksana suatu permainan yang tidak pernah selesai, selalu ada saja pertanyaan mengenai manusia.

Paradigma seseorang biasanya dipengaruhi oleh perspektifnya terhadap diri sendiri dan terhadap orang lain. Seseorang yang memandang dirinya sebagai penguasa dan orang lain sebagai yang dikuasai cenderung bersikap otoriter. Pandangan evolusionisme biologis tentang manusia, bahwa manusia adalah binatang mamalia yang cerdas, berbeda sekali dengan pandangan spiritualisme Hindu, bahwa hakikat manusia adalah ruh (atman)-nya.

Jika pendidikan atau pembangunan suatu masyarakat didasarkan pada pandangan pertama, yang akan diperhatikan adalah pendidikan, jasmani, dan penalaran. Sebaliknya, jika pendidikan dan pembangunan itu didasarkan pada pandangan spiritualisme, yang akan diperhatikan tentu hanya pendidikan kerohanian. Demikianlah seterusnya, perbedaan sikap, orientasi pendidikan, dan pembangunan pada hakikatnya merupakan kelanjutan dari pandangan pelaksananya terhadap manusia.

Manusia dalam perspektif Islam

Dalam Al-Qur’an, ada beberapa kata yang merujuk pada manusia, yaitu insan, basyar, dan Bani Adam. Kata basyar terambil dari akar kata yang pada mulanya berarti “penampakan sesuatu yang baik dan indah”. Dari akar kata yang sama lahir kata basyarah yang berarti kulit. Manusia mendapat sebutan basyar karena kulitnya tampak jelas dan berbeda jauh dari kulit hewan yang lain. Al-Qur’an menggunakan kata ini sebanyak 36 kali dalam bentuk tunggal dan sekali dalam bentuk mutsanna (dual) untuk menunjuk manusia dari sudut lahiriah serta persamaannya dengan manusia seluruhnya, karena Nabi Muhammad  diperintahkan untuk menyampaikan, sebagaimana dikonfirmasi Al-Qur’an.

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

“Katakanlah: Bahwasanya aku adalah basyar (manusia) seperti kamu yang diberi wahyu” (Q.S. Al-Kahfi, 18 : 110)

Dari sisi lain, kita dapat mengamati bahwa banyak ayat-ayat Al-Qur’an menggunakan kata basyar dengan mengisyaratkan bahwa proses kejadian manusia sebagai basyar melalui tahap-tahap hingga mencapai kedewasaan. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:

“Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya (Allah) menciptakan kamu dari sel, kemudian kamu menjadi basyar, kamu bertebaran” (Q.S. Ar- Rūm, 30 : 20).

Kata “bertebaran” dapat bermakna berkembang biak akibat hubungan seks atau bertebaran karena mencari rezeki. Kedua hal tersebut tidak dapat manusia lakukan, kecuali oleh orang yang memiliki kedewasaan dan tanggung jawab. Oleh karena itu, Siti Maryam as. mengungkapkan keheranannya manakala akan mendapat anak padahal ia tidak pernah tersentuh oleh basyar (manusia) yang menggaulinya dengan berhubungan seks. (QS Ali Imran, 3: 47). Begitulah terlihat penggunaan kata basyar terkait dengan kedewasaan dalam kehidupan manusia, yang membuatnya mampu memikul suatu tanggung jawab (amanat). Dan karena itu pula, tugas khalifah terbebankankan kepada basyar (QS Al-Hijr 15: 28 yang menggunakan basyar).

Kata Insan

Sedangkan kata insan terambil dari akar kata uns yang berarti jinak, harmonis, dan tampak. Pendapat ini, jika mengambil sudut pandang Al-Qur’an, lebih tepat dibandingkan dengan yang berpendapat bahwa kata insan terambil dari kata nasiya (lupa, lalai) atau nasaya-nusu (terguncang). Al-Qur’an menggunakan kata insan untuk menunjuk kepada manusia dengan seluruh totalitasnya. Jiwa dan raga, psikis dan fisik; perbedaan manusia antara seseorang dengan yang lainnya adalah akibat perbedaan fisik, psikis (mental), dan kecerdasan.

Al-Qur’an menyebut jiwa manusia sebagai suatu sumber khas pengetahuan. Menurut Al-Qur’an, seluruh alam raya ini merupakan manifestasi Allah. Di dalamnya terdapat tanda-tanda serta berbagai bukti untuk mencapai kebenaran. Al-Qur’an mendefinisikan dunia eksternal sebagai al-ayat dan dunia internal sebagai jiwa, dan dengan cara ini mengingatkan kita akan pentingnya jiwa manusia. Ungkapan tanda-tanda dan jiwa-jiwa yang terdapat dalam kepustakaan Islam bersumber dari pertanyaan sebagai berikut:

“Kami akan tunjukkan kepada mereka tanda-tanda kekuasaan-Kami dari yang terbentang di horison ini dan dari jiwa mereka sendiri, sehingga tahulah mereka akan kebenaran itu”. (Q.S Fushilat, 41 : 53)

Dalam Al-Qur’an, manusia Allah angkat derajatnya berulang kali karena aktualisasi jiwanya secara positif, sebaliknya, ia menjadi rendah berulang kali pula karena aktualisasi jiwa yang negatif. Mereka secara kualitas dapat jauh mengungguli alam surgawi, bumi, dan bahkan para malaikat, tetapi pada saat yang sama, mereka bisa tak lebih berarti  dari pada makhluk hewani. Manusia berkapasitas ebagai makhluk yang mampu menaklukkan alam, namun mereka bisa juga merosot menjadi “yang paling rendah dari segala yang paling rendah” juga karena jiwanya. (St.Diyar)

Referensi : Muhammad Harfin Zuhdi, Hadis-Hadis Psikologi, 2019.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement