Opinion
Beranda » Berita » Pesantren (Bukan) Feodalisme: Memahami Esensi Adab Santri

Pesantren (Bukan) Feodalisme: Memahami Esensi Adab Santri

SURAU.CO. Jagat media sosial kembali ramai. Potongan video santri yang jongkok di hadapan kiai menjadi sorotan publik. Ada yang tampak mencium tangan, menunduk di lutut, bahkan memberi amplop kepada guru mereka. Reaksi warganet pun beragam—ada yang terharu melihat penghormatan itu, namun tak sedikit yang mencibir. Di antara suara-suara bising itu, tudingan “feodalisme” menjadi fitnah paling menonjol. Mereka menilai pesantren mengajarkan “perbudakan modern,” seolah hubungan antara santri dan kiai adalah bentuk ketidakmanusiawian yang terbungkus atas nama agama.

Santri disebut terlalu “mengultuskan” kiai, kehilangan rasionalitas, dan menundukkan diri secara berlebihan. Tuduhan ini terdengar heroik bagi mereka yang memuja kesetaraan tanpa batas, seakan semua relasi harus datar dan sejajar. Namun penilaian semacam itu lahir dari pandangan yang sempit dan ahistoris—pandangan yang tak pernah benar-benar mengenal dunia pesantren dari dalam. Sebab mereka yang pernah mondok tahu, di balik sikap menunduk itu bukan ada rasa takut, melainkan cinta; bukan ada pemujaan, melainkan adab. Mereka memahami bahwa ruh pesantren hidup justru dari tradisi penghormatan terhadap ilmu dan pembawanya.

Adab: Fondasi Utama, Bukan Tunduk Buta

Bagi santri, sikap jongkok atau mencium tangan kiai bukanlah bentuk penghambaan. Itu adalah sebuah ekspresi ta’dzim—rasa hormat yang bersumber dari nilai adab. Dalam pandangan pesantren, adab adalah fondasi segala ilmu. KH. Hasyim Asy‘ari dalam Adab al-‘Alim wa al-Muta‘allim menjelaskan bahwa seorang murid wajib menghormati gurunya sebagaimana ia menghormati orang tuanya, bahkan kadang lebih, karena guru adalah perantara yang menyelamatkan akal dan hati dari kebodohan. Hubungan antara santri dan kiai bukan relasi kuasa, melainkan relasi ruhani yang dibangun di atas cinta, keikhlasan, dan penghormatan terhadap ilmu.

Adab, bagi santri, bukan hanya soal sopan santun lahiriah—cara duduk, berbicara, atau bersalaman. Lebih dari itu, adab adalah tata hati: kesadaran bahwa ilmu tak akan menembus dada yang congkak. Imam Burhanuddin al-Zarnuji dalam Ta‘līm al-Muta‘allim menegaskan bahwa keberkahan ilmu erat kaitannya dengan penghormatan kepada guru. Ilmu bukan sekadar transfer pengetahuan, tetapi juga transmisi ruhani—perjalanan jiwa dari kebodohan menuju cahaya. Maka, memuliakan guru adalah syarat agar ilmu membawa manfaat dan keberkahan.

Sayangnya, nilai-nilai ini sering kali luput dari pandangan mereka yang menilai pesantren dari luar pagar. Dunia digital yang serba cepat telah mengubah cara banyak orang memandang proses belajar. Relasi spiritual antara guru dan murid perlahan berganti menjadi relasi transaksional: belajar demi nilai, mengajar demi gaji. Sementara pesantren tetap setia menjaga warisan adab—warisan yang telah hidup berabad-abad, membentuk manusia yang tak hanya cerdas pikirannya, tetapi juga lembut hatinya.

Bahaya Sinkretisme dan Pluralisme Agama

Modernitas dan Kesalahpahaman: Benturan Nilai

Kritik warganet terhadap pesantren sesungguhnya mencerminkan benturan dua nilai besar: budaya modern yang menuhankan egalitarianisme dan tradisi Islam yang menekankan hierarki ilmu serta adab. Dalam pandangan modern, semua orang harus sejajar—guru pun dianggap setara dengan murid. Padahal, dalam Islam, kemuliaan berdasarkan ilmu dan takwa, bukan dari posisi sosial. Rasulullah Saw mengajarkan penghormatan kepada ahli ilmu; para sahabat duduk di hadapan beliau dengan khidmat. Imam Malik bahkan tak mau mengajar sebelum bersuci dan berwangi, karena ilmu harus disampaikan dalam suasana yang mulia.

Tradisi ini hidup di pesantren, bukan karena kiai haus penghormatan, melainkan karena santri sadar: ilmu tak akan menetap di hati yang sombong. Tuduhan “feodalisme pesantren” muncul dari mereka yang tak memahami makna ta’dzim. Di balik sikap menunduk itu ada pendidikan karakter: santri belajar menata hati, menundukkan ego, dan menghargai guru sebagai pintu menuju cahaya ilmu. Semua itu bukan paksaan, melainkan tumbuh dari cinta dan kesadaran.

Menjaga Warisan Adab: Benteng Terakhir Moralitas

Ironisnya, di luar pesantren, banyak lembaga pendidikan modern justru kehilangan roh adab. Murid berani membantah guru, orang tua ikut campur dalam urusan nilai, dan guru perlahan kehilangan wibawa di kelas. Di tengah keruntuhan moral semacam ini, pesantren masih teguh menjaga tata krama. Santri belajar berbicara dengan sopan, memandang dengan hormat, dan menundukkan diri di hadapan ilmu.

Nilai-nilai seperti ini justru yang paling dibutuhkan bangsa di tengah krisis karakter. Menuduh pesantren sebagai lembaga feodal berarti menafikan akar kebudayaan Islam Nusantara. Ta’dzim bukan simbol perbudakan, melainkan ekspresi kebebasan hati dari kesombongan. Adab tidak menindas; ia justru membebaskan manusia dari belenggu ego dan keangkuhan intelektual.

Di era ketika hormat kepada guru mulai dipertanyakan, pesantren berdiri sebagai benteng terakhir adab. Jongkok bukan tanda hina, tetapi simbol rendah hati. Mencium tangan bukan bentuk tunduk buta, melainkan jalan menuju keberkahan ilmu. Sebab di pesantren, santri paham: adab adalah ilmu tertinggi. Tanpa adab, segala ilmu hanyalah kesombongan yang disamarkan. Wallahu A’lam Bish-Showab (kareemustofa)

Jeritan Korban Malapetaka Banjir Aceh


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement