Surau.co. Dalam kehidupan kita yang serba cepat ini, belajar seringkali hanya dipahami sebagai upaya untuk pintar—menguasai rumus, teori, atau istilah ilmiah. Padahal, seperti yang diingatkan oleh Burhān al-Dīn al-Zarnūjī dalam karya klasik Ta‘lim al-Muta‘allim, belajar sejatinya bukan hanya tentang otak, tapi juga tentang hati. Buku yang lahir dari abad ke-12 ini masih terasa segar karena menyentuh hal yang paling esensial: bagaimana ilmu mengubah manusia menjadi lebih baik, bukan sekadar lebih cerdas.
Al-Zarnūjī menulis dengan kehangatan seorang guru yang ingin muridnya tumbuh, bukan hanya naik nilai. Ia mengingatkan:
العلم بلا عمل كالشجر بلا ثمر
“Ilmu tanpa amal bagaikan pohon tanpa buah.”
Makna sederhana ini sangat dalam. Ilmu yang tidak diamalkan, kata Zarnūjī, hanya menjadi beban. Ia menumpuk di kepala, tapi tidak menumbuhkan kebaikan di hati. Maka, belajar itu bukan sekadar pandai, tetapi menjadi manusia yang utuh—yang pikirannya tajam sekaligus hatinya lembut.
Fenomena Sehari-hari: Saat Belajar Kehilangan Rasa
Coba kita lihat sekitar. Banyak orang sekolah tinggi, tapi mudah marah, mudah menipu, atau kehilangan empati. Di sisi lain, ada orang yang mungkin tidak sempat kuliah, tapi tutur katanya menyejukkan, tindakannya menenangkan. Apa yang membedakan? Barangkali, yang satu hanya belajar untuk tahu, sementara yang lain belajar untuk menjadi.
Zarnūjī mengingatkan dalam kitabnya:
ينبغي لطالب العلم أن ينظر إلى نفسه، فإن رأى في نفسه خيرا ازداد، وإن رأى غير ذلك تاب وأصلح
“Seorang penuntut ilmu hendaknya memperhatikan dirinya; bila ia melihat kebaikan, hendaklah ia menambahkannya, dan bila ia melihat keburukan, hendaklah ia bertaubat dan memperbaikinya.”
Belajar, dalam pandangan beliau, bukan hanya proses menambah pengetahuan, tapi juga proses menambah kesadaran. Karena itu, seseorang yang benar-benar belajar akan semakin rendah hati, bukan semakin sombong.
Ilmu yang Hidup dari Adab
Al-Zarnūjī menempatkan adab di atas ilmu. Dalam Ta‘lim al-Muta‘allim, ia menulis:
من لم يتأدب لم ينتفع بالعلم
“Barang siapa tidak beradab, maka ia tidak akan memperoleh manfaat dari ilmunya.”
Bukankah kita sering menemui orang yang ilmunya tinggi, tapi tutur katanya kasar, atau merendahkan orang lain? Ilmu semacam itu, kata Zarnūjī, adalah ilmu yang kehilangan barakahnya. Adab adalah kunci agar ilmu yang dipelajari berbuah kebaikan.
Dalam Al-Qur’an pun ditegaskan pentingnya adab dan akhlak sebelum ilmu. Allah berfirman:
وَقُل رَّبِّ زِدْنِي عِلْمًا (طه: 114)
“Dan katakanlah: Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu.”
Ayat ini mengajarkan kerendahan hati. Bahkan Rasulullah ﷺ yang paling berilmu pun diperintah untuk terus berdoa meminta tambahan ilmu. Di sinilah letak adab tertinggi dalam belajar: merasa tidak pernah cukup.
Dari Kitab ke Kehidupan: Spirit Belajar yang Menghidupkan
Belajar itu bukan sekadar pandai—itu bukan sekadar slogan, tapi cara pandang hidup. Ketika kita membaca kitab Ta‘lim al-Muta‘allim, kita sedang diajak oleh Zarnūjī untuk menata ulang niat dan sikap dalam menuntut ilmu.
Dalam salah satu nasihatnya, beliau berkata:
ينبغي لطالب العلم أن يتواضع لمعلمه وأن يوقره
“Seorang penuntut ilmu hendaknya bersikap rendah hati kepada gurunya dan menghormatinya.”
Rendah hati kepada guru bukan berarti menutup diri dari kritik, tapi mengakui bahwa ilmu adalah cahaya, dan guru adalah lentera yang menuntun ke arah cahaya itu.
Bayangkan jika semangat ini dihidupkan kembali di ruang-ruang belajar hari ini. Mungkin suasana sekolah dan kampus akan lebih meneduhkan. Tidak lagi ada persaingan tak sehat, tidak lagi ada kesombongan akademik. Yang ada hanyalah keindahan: saling menghormati, saling menumbuhkan.
Refleksi: Belajar untuk Menjadi Manusia
Zarnūjī tidak sedang menulis buku teori pendidikan. Ia menulis dengan jiwa. Setiap kalimatnya adalah nasihat yang keluar dari pengalaman spiritual dan pengamatan sosial. Kitab Ta‘lim al-Muta‘allim bukan hanya membimbing cara belajar, tetapi juga cara menjadi manusia.
Di akhir kitabnya, Zarnūjī seakan berpesan agar para penuntut ilmu tidak hanya sibuk mencari pengetahuan duniawi, melainkan juga memperbaiki hati:
من طلب العلم ليعمل به ويهذب نفسه نفعه الله به
“Barang siapa menuntut ilmu untuk diamalkan dan memperbaiki dirinya, maka Allah akan memberikan manfaat melalui ilmunya.”
Kalimat ini seperti cermin bagi kita. Sudahkah ilmu yang kita cari menjadikan kita lebih jujur, sabar, dan peduli? Atau justru menjauhkan kita dari manusia lain?
Menumbuhkan Jiwa Belajar yang Tulus
Belajar yang sejati selalu bermula dari keinginan untuk memahami kehidupan, bukan sekadar mencari nilai. Dalam konteks modern, semangat Ta‘lim al-Muta‘allim mengajarkan keseimbangan antara pengetahuan dan kebijaksanaan.
Kita boleh menguasai teknologi, tapi jangan kehilangan nurani. Kita boleh pandai berdiskusi, tapi tetap harus tahu kapan diam dengan hormat. Belajar sejati adalah perjalanan panjang untuk menyatukan akal dan hati.
Dalam hadis Nabi ﷺ disebutkan:
من سلك طريقا يلتمس فيه علما سهل الله له به طريقا إلى الجنة
“Barang siapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim)
Artinya, belajar bukan hanya urusan dunia, tapi juga jalan menuju kebahagiaan abadi. Maka, marilah kita belajar bukan untuk menjadi yang paling pintar, tapi untuk menjadi manusia yang paling bermanfaat.
Penutup: Ilmu yang Menghidupkan
Ta‘lim al-Muta‘allim mengajarkan bahwa ilmu sejati tidak membuat kita tinggi hati, tapi menundukkan kepala. Tidak membuat kita sibuk menilai orang lain, tapi sibuk memperbaiki diri sendiri.
Zarnūjī menulis dengan kasih seorang guru, dan pesannya masih relevan hingga hari ini: belajar itu bukan sekadar pandai, tapi menjadi manusia.
* Reza AS
Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo, Ponorogo
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
