Opinion
Beranda » Berita » Ketika Islam dan Budaya Arab Bertemu: Akulturasi yang Mengubah Dunia

Ketika Islam dan Budaya Arab Bertemu: Akulturasi yang Mengubah Dunia

Akulturasi yang Mengubah Dunia
Ilustrasi akulturasi Islam dan budaya Arab. Foto: perplexity

SURAU.CO. Bayangkan suasana Semenanjung Arab sebelum abad ke-7 Masehi, kita akan melihat padang pasir luas, suku-suku yang hidup nomaden, dan budaya dalam tradisi keras yang sudah mendarah daging. Di tengah kehidupan seperti itu, datanglah Islam membawa pesan ketuhanan dan kemanusiaan.

Islam tidak hanya mengubah cara manusia beribadah, tetapi juga menata ulang cara berpikir, bersosial, dan berbudaya. Islam hadir sebagai “rahmatan lil ‘alamin”, rahmat bagi seluruh alam.

Allah berfirman, “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS. Al-Anbiya: 107).

Artinya, Islam bukan sekadar agama untuk satu bangsa, melainkan sistem hidup yang menembus batas etnis, bahasa, dan peradaban. Ketika Islam bertemu dengan budaya Arab, terjadilah proses saling memengaruhi. Budaya disucikan, dan agama menjadi membumi.

Islam Mengubah Arah Budaya Arab

Sebelum datangnya Islam, masyarakat Arab dikenal dengan sebutan jahiliyah yaitu masa kebodohan. Mereka hidup dalam sistem sosial yang keras. Perempuan tidak dihargai, perbudakan merajalela, dan perang antarsuku dianggap wajar.

Riyadus Shalihin: Antidot Ampuh Mengobati Fenomena Sick Society di Era Modern

Namun, bukan berarti semuanya gelap. Bangsa Arab memiliki tradisi sastra yang luar biasa. Mereka mengagungkan syair dan bahasa, hingga menggelar lomba puis Al-Qur’an turun dengan keindahan bahasa yang tiada tanding, para penyair pun tertegun. Al-Qur’an datang bukan hanya sebagai kitab suci, tapi juga sebagai revolusi intelektual dan budaya. Ia menantang logika, menggugah moral, dan menginspirasi seni sastra.

Allah berfirman, “Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al-Qur’an dengan berbahasa Arab agar kamu mengerti.” (QS. Yusuf: 2). Ayat ini menegaskan bahwa bahasa Arab bukan sekadar medium, tapi bagian dari keagungan wahyu. Sehingga setiap orang akan dapat memahami isi Al-Qur’an.

Ketika Nabi Muhammad SAW diutus, beliau tidak menghapus budaya Arab, tetapi beliau menyucikannya. Nilai-nilai luhur seperti keberanian, kesetiaan, dan kehormatan tetap dipertahankan. Namun, kebiasaan buruk seperti riba, judi, mabuk, dan penindasan dihapuskan.

Ini adalah revolusi sosial besar. Islam menghapus superioritas suku dan menggantikannya dengan kemuliaan takwa. Islam menegaskan kesetaraan manusia. Firman Allah menyebutkan, “Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah yang paling bertakwa.” (QS. Al-Hujurat: 13)

Di Madinah, Nabi SAW mendirikan masyarakat baru berbasis keadilan. Masjid menjadi pusat ibadah, pendidikan, dan musyawarah. Piagam Madinah menjadi konstitusi pertama di dunia yang menjamin hak hidup berdampingan antara Muslim dan non-Muslim. Islam hadir bukan untuk meniadakan keberagaman, tetapi untuk menata ulang dengan nilai ilahi.

Budaya Hustle Culture vs Berkah: Meninjau Ulang Definisi Sukses

Akulturasi dan Asimilasi Budaya dan Agama

Dalam ilmu sosial, akulturasi berarti percampuran dua budaya tanpa menghilangkan jati diri masing-masing. Sedangkan asimilasi adalah proses di mana dua budaya melebur hingga membentuk identitas baru. Proses ini nyata dalam sejarah Islam.

Contohnya, Rasulullah SAW menerima saran Salman al-Farisi, seorang Persia untuk menggali parit dalam Perang Khandaq. Strategi itu bukan berasal dari Arab, melainkan Persia.

Begitu pula dengan pembuatan mimbar dari kayu oleh tukang Romawi. Semua ini menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang terbuka terhadap kebaikan dari luar, selama tidak bertentangan dengan tauhid dan moralitas.

Sahabat Nabi juga meniru sistem administrasi Persia dan Romawi dalam mengatur keuangan dan pemerintahan. Islam bukan menolak budaya lain, tetapi mengambil unsur yang bermanfaat untuk kemaslahatan umat.

Walaupun Islam bersifat universal, unsur Arab tetap punya tempat penting. Nabi Muhammad SAW lahir dari bangsa Arab, dan Al-Qur’an turun dalam bahasa Arab. Bahasa ini menjadi kunci untuk memahami wahyu dan hukum Allah. Namun, Islam tidak pernah memaksakan Arabisasi. Sejak awal, Islam telah hidup berdampingan dengan berbagai budaya. Seperti Persia, India, Afrika, hingga Nusantara.

Generasi Sandwich dan Birrul Walidain: Mengurai Dilema dengan Solusi Langit

Lihatlah di Indonesia, dakwah Wali Songo membungkus nilai-nilai Islam dalam budaya lokal seperti gamelan, wayang, dan batik. Akulturasi semacam ini membuat Islam diterima dengan damai dan menyatu dalam kehidupan masyarakat.

Ketika Non-Arab Menjadi Penopang Kejayaan Islam

Perjalanan sejarah Islam membuktikan bahwa peradaban besar tidak lahir dari satu bangsa semata, melainkan dari kolaborasi lintas suku, ras, dan wilayah. Ketika Islam meluas ke berbagai penjuru dunia, muncul gelombang baru para pemikir, ulama, dan ilmuwan dari luar Jazirah Arab yang kemudian menjadi pilar utama kejayaan peradaban Islam. Mereka bukan sekadar penerus, tetapi juga pengembang gagasan yang memperkaya khazanah ilmu pengetahuan Islam.

Sejarawan besar Ibnu Khaldun, dalam Muqaddimah-nya, menegaskan bahwa sebagian besar tokoh ilmu dalam Islam justru lahir dari bangsa-bangsa non-Arab, khususnya dari Persia, Asia Tengah, hingga wilayah Andalusia. Dari tangan merekalah lahir karya-karya monumental yang membentuk wajah keilmuan Islam selama berabad-abad.

Nama-nama besar seperti Imam al-Bukhari dari Bukhara, penyusun Shahih al-Bukhari yang merupakan kitab hadis paling otoritatif di dunia Islam. Lalu Imam an-Nawawi, ulama dari Syam (Suriah) yang terkenal dengan karyanya Riyadhus Shalihin dan Syarh Shahih Muslim. Ada pula Imam al-Ghazali dari Persia, sang Hujjatul Islam, yang dengan jenius menggabungkan syariat, filsafat, dan tasawuf dalam kerangka yang harmonis. Ketiganya menjadi simbol bahwa keilmuan Islam tidak terikat oleh garis keturunan atau bahasa, tetapi berakar pada semangat pencarian kebenaran yang universal.

Rasulullah ﷺ jauh-jauh hari telah menegaskan hal ini dalam sabdanya, “Seandainya ilmu tergantung di bintang tertinggi di langit, niscaya orang Persia akan mencapainya.” (HR. Muslim)

Hadis ini bukan sekadar pujian, melainkan pengakuan terhadap potensi universal manusia untuk menuntut ilmu. Islam tidak memandang warna kulit, ras, atau asal-usul sebagai ukuran kemuliaan, melainkan ketakwaan dan kesungguhan dalam mencari kebenaran. Ilmu, dalam pandangan Islam, tidak terikat wilayah. Selama bernilai kebaikan dan kemaslahatan, ia menjadi bagian dari Islam itu sendiri.

Islam yang Membudaya, Budaya yang Mengislam

Ketika kita menelusuri jejak para ulama besar dari luar Arab, kita sesungguhnya sedang menyaksikan keindahan universalitas Islam. Agama ini tidak membatasi diri dalam sekat geografi atau budaya. Dalam pandangan Islam, ilmu adalah warisan para nabi, dan siapa pun yang menuntutnya dengan niat yang ikhlas, akan termasuk dalam golongan penerus mereka, tanpa melihat asal bangsa atau budayanya.

Kekuatan Islam justru terletak pada kemampuannya beradaptasi tanpa kehilangan jati diri. Saat memasuki Persia, Islam menyerap ilmu pengetahuan dan filsafat. Ketika datang ke Eropa, ia melahirkan kemajuan sains dan kedokteran. Saat tiba di Nusantara, ia menyatu dengan budaya santun dan gotong royong.

Akulturasi bukan bentuk kompromi terhadap ajaran, tetapi strategi kultural yang cerdas agar nilai-nilai Islam hadir di setiap ruang dan waktu. Islam adalah agama moderat, yang tidak kaku dalam tradisi, dan tidak hanyut dalam modernitas.

Pertemuan antara budaya Arab dan Islam adalah bukti bahwa agama dan budaya bisa berjalan beriringan. Islam mengubah budaya Arab menjadi lebih beradab, sementara budaya Arab memberi warna pada sejarah Islam. Keduanya membentuk fondasi peradaban yang masih hidup hingga kini.

Tantangan umat Islam modern adalah melanjutkan semangat itu. Menghadirkan Islam yang membumi, berwawasan luas, dan tetap berakar pada nilai ilahi. Selama prinsip tauhid dan keadilan dijaga, Islam akan terus menjadi rahmat bagi semesta, dalam bentuk yang senantiasa relevan di setiap zaman dan tempat.

Islam tidak datang untuk meniadakan budaya, tapi untuk memuliakan manusia. Dan di situlah letak keindahannya.

 


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement