Surau.co. Di tengah hiruk pikuk kehidupan modern, manusia sering mengucapkan kata “ikhlas”, tetapi jarang benar-benar merasakannya. Banyak orang melakukan kebaikan, namun mereka masih berharap imbalan, pujian, atau pengakuan dari sesama. Padahal, dalam pandangan Islam, ikhlas tidak sekadar niat baik; ia merupakan jiwa dari seluruh amal, ruh yang menjadikan setiap perbuatan bernilai di hadapan Allah.
Dalam Kitab Ad-Durratun Nashihin karya Syekh Utsman bin Hasan Asy-Syakiri Al-Khubawi, beliau menjelaskan bahwa ikhlas adalah amalan hati yang sangat halus, bahkan pelakunya sendiri sering tidak menyadarinya. Beliau menulis:
“الْإِخْلَاصُ سِرٌّ بَيْنَ اللهِ وَعَبْدِهِ، لَا يَعْلَمُهُ مَلَكٌ فَيَكْتُبَهُ، وَلَا شَيْطَانٌ فَيُفْسِدَهُ، وَلَا هَوًى فَيَمِيلَهُ”
“Ikhlas adalah rahasia antara Allah dan hamba-Nya. Tidak diketahui oleh malaikat hingga menuliskannya, tidak pula oleh setan hingga merusaknya, dan tidak oleh hawa nafsu hingga memalingkannya.”
Kutipan ini menunjukkan betapa ikhlas menjadi inti dari spiritualitas seorang Muslim. Hanya dengan keikhlasan, amal seseorang dapat diterima di sisi Allah.
Makna Ikhlas dalam Cahaya Al-Qur’an dan Hadis
Al-Qur’an menegaskan betapa pentingnya keikhlasan dalam setiap amal. Allah berfirman:
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ
“Padahal mereka tidak diperintah kecuali untuk menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya.”
(QS. Al-Bayyinah [98]: 5)
Ayat ini menegaskan bahwa Allah memerintahkan manusia untuk beribadah dengan niat yang tulus semata karena-Nya. Oleh karena itu, setiap amal akan bernilai hanya jika dilakukan dengan hati yang murni. Sebaliknya, amal yang tampak besar di mata manusia bisa menjadi kecil di sisi Allah apabila tercampur riya.
Selain itu, Rasulullah ﷺ juga menjelaskan pentingnya niat sebagai dasar setiap amal. Beliau bersabda:
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
“Sesungguhnya setiap amal tergantung pada niatnya, dan setiap orang akan memperoleh sesuai dengan apa yang ia niatkan.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini sering terdengar di telinga kita, tetapi jarang direnungkan secara mendalam. Rasulullah ﷺ mengingatkan bahwa niat menjadi pintu pertama menuju keikhlasan, dan tanpa niat yang lurus, semua amal kehilangan nilai di sisi Allah.
Ikhlas Menurut Kitab Ad-Durratun Nashihin
Dalam Ad-Durratun Nashihin, Syekh Utsman Al-Khubawi menekankan bahwa keikhlasan menjadi syarat utama agar amal diterima Allah. Beliau mengisahkan tentang seorang ahli ibadah yang selama 70 tahun beribadah dengan tulus tanpa pamrih. Namun, ketika hatinya sedikit saja condong ingin dipuji, maka nilai ibadahnya pun lenyap.
Beliau menulis:
“وَإِذَا دَخَلَ فِي الْعَمَلِ شَيْءٌ مِنَ الرِّيَاءِ فَقَدْ بَطَلَ ثَوَابُهُ، كَمَا يَفْسُدُ الْمَاءُ بِقَطْرَةٍ مِنَ النَّجَاسَةِ”
“Jika dalam amal terdapat sedikit riya, maka batal pahalanya, sebagaimana air yang menjadi najis karena setetes kotoran.”
Perumpamaan ini sangat kuat. Syekh Utsman ingin menegaskan bahwa riya sekecil apapun mampu mengotori niat yang suci, sama seperti air yang jernih menjadi kotor karena satu tetes najis. Karena itu, beliau mendorong setiap Muslim agar selalu muraqabah, yakni menyadari kehadiran Allah dalam setiap tindakan, supaya niat tetap bersih dari pamrih.
Ikhlas sebagai Cermin Ketulusan Jiwa
Keikhlasan tidak hanya tampak dalam ibadah ritual, tetapi juga tercermin dalam perilaku sehari-hari. Seseorang menunjukkan ikhlas ketika ia menolong tetangga, bersedekah, bekerja dengan sungguh-sungguh, atau bahkan ketika ia tersenyum dengan niat tulus. Namun, bila di dalam hatinya terselip keinginan untuk dipuji atau diakui, amal itu kehilangan makna ruhaniahnya.
Orang yang ikhlas tidak menuntut ucapan terima kasih, karena hatinya yakin bahwa Allah Maha Melihat. Dalam surah Al-Insan, Allah memuji orang-orang yang berbuat baik tanpa pamrih:
إِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللَّهِ، لَا نُرِيدُ مِنكُمْ جَزَاءً وَلَا شُكُورًا
“Sesungguhnya kami memberi makan kepada kalian hanyalah karena mengharap wajah Allah. Kami tidak menginginkan balasan maupun ucapan terima kasih.”
(QS. Al-Insan [76]: 9)
Ayat ini menegaskan bahwa hakikat keikhlasan adalah berbuat baik semata-mata karena Allah, bukan karena ingin dilihat atau dipuji.
Menghindari Riya: Penyakit Hati yang Menggerogoti Amal
Syekh Utsman memperingatkan bahwa riya merupakan racun halus yang dapat merusak amal. Penyakit ini sering menyusup tanpa disadari, misalnya ketika seseorang merasa senang karena dipuji atau kecewa saat kebaikannya tidak dihargai orang lain.
Beliau menulis:
“مَنْ عَمِلَ لِلنَّاسِ فَقَدْ أَشْرَكَ، وَمَنْ تَرَكَ الْعَمَلَ لِلنَّاسِ فَقَدْ رَاءَى، وَالإِخْلَاصُ أَنْ يُعْمَلَ لِلَّهِ وَحْدَهُ”
“Barang siapa beramal karena manusia, ia telah berbuat syirik; dan barang siapa meninggalkan amal karena manusia, ia telah riya. Ikhlas adalah beramal hanya untuk Allah semata.”
Pesan ini menegaskan bahwa orang yang ikhlas menjaga keseimbangan hatinya agar tidak bergantung pada pandangan manusia. Ia tidak mencari pujian, dan ia juga tidak berhenti berbuat baik hanya karena mendapat celaan.
Ikhlas dalam Konteks Sosial: Kebaikan yang Menular
Ikhlas tidak hanya menjadi urusan pribadi antara manusia dan Allah, tetapi juga melahirkan dampak sosial yang besar. Orang yang ikhlas menebarkan kebaikan tanpa pamrih, sehingga menciptakan masyarakat yang damai dan penuh kasih. Ia menolong bukan karena gengsi, tetapi karena cinta.
Di era digital sekarang, ujian keikhlasan semakin besar. Banyak orang membagikan amal kebaikan di media sosial. Hal itu bisa menjadi inspirasi jika niatnya benar, tetapi akan menjadi ujian bila tujuannya hanya mencari popularitas atau likes.
Keikhlasan sejati berarti tetap berbuat baik meskipun tidak ada yang melihat. Cahaya batin inilah yang membuat amal tetap hidup dan bernilai di sisi Allah, walaupun tersembunyi dari pandangan manusia.
Keutamaan Orang yang Ikhlas
Allah memberikan kedudukan istimewa bagi orang yang ikhlas.
Dalam Surah Az-Zumar ayat 2, Allah berfirman:
فَاعْبُدِ اللَّهَ مُخْلِصًا لَّهُ الدِّينَ
“Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ibadah kepada-Nya.”
Para mufasir menjelaskan bahwa ayat ini tidak hanya memerintahkan ibadah, tetapi juga menegaskan bahwa keberkahan hidup, ketenangan hati, dan kekuatan jiwa lahir dari keikhlasan.
Dalam Ad-Durratun Nashihin, Syekh Utsman menulis:
“الْمُخْلِصُ فِي عَمَلِهِ يَنْجُو مِنَ الْفِتَنِ، وَيُرْزَقُ حَلَاوَةَ الإِيمَانِ”
“Orang yang ikhlas dalam amalnya akan selamat dari fitnah dunia dan diberi rasa manis dalam keimanan.”
Mereka yang ikhlas, meskipun hidup sederhana, merasakan ketenangan yang tidak dapat dibeli dengan apa pun.
Menumbuhkan Ikhlas di Tengah Ujian Dunia
Menumbuhkan keikhlasan membutuhkan latihan hati yang terus-menerus. Ulama mengajarkan beberapa cara untuk menumbuhkannya. Pertama, seseorang perlu mengingat kebesaran Allah. Ketika hati menyadari bahwa segala sesuatu berasal dari Allah, maka pujian manusia tidak lagi berarti.
Kedua, sembunyikan amal baik, sebab amal yang tersembunyi lebih dekat pada ketulusan. Ketiga, biasakan bersyukur dalam setiap keadaan. Rasa syukur menumbuhkan cinta kepada Allah, dan cinta melahirkan keikhlasan.
Keempat, lakukan muhasabah diri secara rutin. Dengan introspeksi, seseorang bisa menilai apakah amalnya masih murni atau sudah ternoda oleh pamrih duniawi.
Ikhlas merupakan perjalanan batin yang panjang dan tidak pernah selesai. Hati manusia akan selalu diuji, dan hanya kesadaran spiritual yang mendalam yang dapat menjaga kemurnian niat.
Penutup
Ikhlas ibarat cermin jernih yang memantulkan wajah sejati iman. Ia menjadikan amal kecil bernilai besar, dan menumbuhkan ketenangan hati di setiap keadaan. Syekh Utsman bin Hasan Asy-Syakiri Al-Khubawi menulis bahwa ikhlas merupakan permata langka di hati manusia—tidak terlihat, namun sinarnya mampu menembus dunia.
Mari kita belajar menanam ikhlas dalam setiap langkah. Dunia ini sementara, sedangkan amal yang tulus akan menjadi cahaya di alam keabadian.
“Berbuat baiklah meski tak terlihat, sebab Allah selalu melihat.”
Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
