Surau.co. Tawakal sering disalahpahami sebagai sikap pasif—menunggu nasib tanpa berusaha. Padahal, menurut ajaran Islam dan penjelasan para ulama klasik, tawakal adalah puncak dari iman dan usaha. Dalam Ad-Durratun Nashihin, Syekh Utsman bin Hasan Asy-Syakiri Al-Khubawi menulis bahwa tawakal sejati adalah menyerahkan hasil sepenuhnya kepada Allah setelah berusaha dengan sungguh-sungguh. Artinya, tawakal bukanlah berhenti berjuang, melainkan menenangkan hati setelah berjuang sebaik-baiknya.
Dalam kehidupan modern yang penuh tekanan dan ketidakpastian, memahami makna tawakal menjadi sangat relevan. Banyak orang kehilangan ketenangan karena ingin mengontrol segalanya, padahal ada ruang dalam kehidupan yang hanya bisa diisi dengan kepercayaan kepada Allah. Sikap tawakal menjadi oase di tengah hiruk pikuk ambisi dunia, pengingat bahwa manusia berencana, tetapi Allah yang menentukan arah terbaiknya.
Makna Hakiki Tawakal dalam Pandangan Ulama
Syekh Al-Khubawi dalam Ad-Durratun Nashihin menjelaskan bahwa tawakal adalah menyerahkan urusan kepada Allah setelah ikhtiar dilakukan dengan sungguh-sungguh. Beliau menulis:
التوكل هو تفويض الأمور إلى الله بعد بذل الجهد في الأسباب.
“Tawakal adalah menyerahkan segala urusan kepada Allah setelah melakukan usaha dengan sebab-sebab yang mungkin.”
Makna ini menunjukkan keseimbangan antara dua hal: kerja dan keikhlasan. Tawakal tidak meniadakan peran manusia dalam berusaha, namun meluruskan orientasi hatinya agar tidak bergantung pada hasil, melainkan pada kehendak Allah yang Maha Bijaksana. Seseorang yang bertawakal justru akan lebih tenang dalam bekerja, karena ia tahu, apa pun hasilnya adalah bagian dari rencana terbaik Allah.
Al-Qur’an juga menegaskan hal ini dalam firman-Nya:
وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
“Barang siapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupinya.”
(QS. Ath-Thalaq [65]: 3)
Ayat ini menegaskan bahwa kekuatan tawakal bukan pada diamnya seseorang, melainkan pada keteguhan hatinya dalam percaya kepada ketentuan Allah. Orang yang tawakal tidak mudah putus asa, sebab ia yakin setiap takdir membawa hikmah tersembunyi.
Tawakal dan Ikhtiar: Dua Sayap Menuju Ridha Allah
Tawakal dan ikhtiar adalah dua sisi dari satu kesempurnaan iman. Tanpa ikhtiar, tawakal menjadi kemalasan; tanpa tawakal, ikhtiar menjadi kesombongan. Rasulullah ﷺ mencontohkan keseimbangan ini dalam sabdanya:
اعْقِلْهَا وَتَوَكَّلْ
“Ikatlah untamu, kemudian bertawakallah.”
(HR. Tirmidzi)
Hadis ini mengajarkan bahwa tawakal bukan berarti meninggalkan tindakan, melainkan menempatkan Allah sebagai sandaran akhir dari setiap usaha manusia. Mengikat unta adalah bentuk tanggung jawab dan usaha nyata, sedangkan tawakal adalah ketenangan batin setelahnya—meyakini bahwa hasil akhirnya tetap dalam kuasa Allah.
Dalam konteks kehidupan modern, makna ini menjadi pengingat penting. Seseorang boleh berjuang keras untuk karier, pendidikan, atau masa depan, tetapi jangan sampai terjebak dalam ilusi bahwa semua bergantung pada kemampuan diri semata. Ikhtiar adalah kewajiban, namun hasil adalah rahmat. Maka, ketika hasil tidak sesuai harapan, tawakal menuntun hati untuk tetap bersyukur dan tidak kehilangan arah.
Ketika Tawakal Menjadi Sumber Ketenangan Batin
Hati manusia cenderung resah saat merasa tidak berdaya. Namun, tawakal memberikan ketenangan karena memindahkan pusat kebergantungan dari diri sendiri kepada Zat Yang Maha Mengatur. Orang yang benar-benar bertawakal menyadari bahwa setiap ujian, rezeki, dan hasil bukanlah kebetulan, melainkan bagian dari skenario Ilahi.
Syekh Al-Khubawi menulis dalam Ad-Durratun Nashihin:
من توكل على الله سلم من الهموم، لأنه علم أن كل شيء بيده.
“Barang siapa bertawakal kepada Allah, ia akan selamat dari segala kegelisahan, karena ia tahu bahwa segala sesuatu berada dalam tangan-Nya.”
Ungkapan ini memperlihatkan sisi spiritual tawakal: ia membebaskan manusia dari cengkeraman kecemasan. Dalam dunia yang serba cepat dan penuh tekanan sosial, tawakal bukan berarti mundur, tetapi melangkah dengan damai. Orang yang tawakal tetap berusaha, namun ia tidak lagi diperbudak oleh hasil, karena ia sadar bahwa kebahagiaan sejati lahir dari penerimaan, bukan penguasaan.
Bahaya Salah Paham dalam Memaknai Tawakal
Sebagian orang menafsirkan tawakal sebagai alasan untuk tidak berusaha. Mereka berkata, “Kalau sudah takdir, pasti terjadi.” Padahal, dalam Islam, pasrah tanpa usaha bukanlah tawakal, tetapi tawaakul—sikap malas yang dibungkus dengan kalimat religius. Rasulullah ﷺ menolak pandangan ini dengan tegas.
Beliau bersabda:
لَوْ أَنَّكُمْ تَتَوَكَّلُونَ عَلَى اللَّهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ، لَرُزِقْتُمْ كَمَا تُرْزَقُ الطَّيْرُ، تَغْدُو خِمَاصًا، وَتَرُوحُ بِطَانًا.
“Jika kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benarnya tawakal, niscaya kalian akan diberi rezeki sebagaimana burung diberi rezeki. Ia pergi di pagi hari dalam keadaan lapar, dan kembali sore hari dalam keadaan kenyang.”
(HR. Tirmidzi)
Perhatikan, burung tetap keluar dari sarangnya untuk mencari rezeki. Artinya, tawakal bukan menunggu keajaiban, tetapi berjalan di atas usaha yang dibimbing iman. Kesalahan memahami tawakal dapat menjerumuskan seseorang ke dalam kelalaian dan keputusasaan. Karena itu, penting untuk menyeimbangkan antara ikhtiar dan kepasrahan spiritual.
Tawakal sebagai Puncak Iman dan Cermin Kedewasaan Spiritual
Dalam pandangan para ulama, tawakal bukan hanya bagian dari akhlak, tetapi juga puncak dari keyakinan kepada Allah. Orang yang bertawakal menunjukkan bahwa ia memahami hakikat rububiyyah Allah—bahwa hanya Dia yang memiliki kekuasaan penuh atas segala sesuatu. Dalam Kifāyatul ‘Awām, Syaikh Muhammad al-Fudhali menjelaskan:
ومن علامة المؤمن أن يكون قلبه مطمئنا بما قسم الله له، ولا يتسخط على قضائه.
“Di antara tanda orang beriman ialah hatinya tenang dengan ketentuan Allah dan tidak marah terhadap takdir-Nya.”
Tawakal menurut ad-Durratun Nashihin mengajarkan manusia untuk tidak menggantungkan kebahagiaan pada dunia yang berubah, melainkan pada Allah yang tetap. Orang yang bertawakal tidak kehilangan semangat ketika gagal, dan tidak menjadi sombong ketika berhasil. Ia tahu bahwa semua hanyalah amanah sementara yang harus dijalani dengan ikhlas.
Menumbuhkan Tawakal di Tengah Dunia Modern
Bagaimana menumbuhkan tawakal dalam dunia yang semakin materialistis? Langkah pertama adalah memperdalam kesadaran akan keterbatasan manusia. Tidak semua hal dapat dikendalikan, dan di situlah ruang iman bekerja. Dengan mengenali batas kemampuan, seseorang akan lebih mudah menyerahkan hasil kepada Allah tanpa kehilangan semangat berusaha.
Langkah kedua adalah memperkuat doa dan zikir. Dalam setiap keputusan besar, sertakan kalimat “Hasbiyallāh wa ni‘mal wakīl” —
حَسْبِيَ اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ
“Cukuplah Allah menjadi penolongku, dan Dia sebaik-baik pelindung.” (QS. Ali Imran [3]: 173)
Kalimat ini bukan sekadar ucapan, tetapi terapi spiritual bagi hati yang gelisah. Ia mengembalikan fokus dari hasil duniawi menuju ridha Ilahi. Di tengah ambisi dan persaingan, kalimat ini menenangkan jiwa agar tidak merasa hampa.
Penutup
Tawakal bukan berarti berhenti, melainkan terus berjalan dengan hati yang pasrah. Ia adalah seni hidup yang menyeimbangkan logika usaha dan ketenangan iman. Dalam setiap nafas perjuangan, tawakal mengajarkan manusia untuk percaya: bahwa apa pun yang datang dari Allah pasti mengandung hikmah, dan setiap hasil yang berbeda dari harapan adalah jalan menuju kedewasaan ruhani.
Dalam kehidupan yang semakin kompleks, tawakal menjadi pelita bagi hati yang penat. Ia menuntun manusia untuk tidak tenggelam dalam ambisi, dan tidak pula menyerah pada nasib. Sebab, di balik setiap ketetapan, ada kasih sayang Allah yang menuntun setiap langkah menuju kebahagiaan sejati.
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
