Khazanah
Beranda » Berita » Amal Kecil, Pahala Besar: Nilai Ikhlas dalam Setiap Tindakan Menurut Kitab Ad-Durratun Nashihin

Amal Kecil, Pahala Besar: Nilai Ikhlas dalam Setiap Tindakan Menurut Kitab Ad-Durratun Nashihin

Ilustrasi realistik seorang manusia berdiri dalam cahaya melambangkan keikhlasan dalam amal kecil.
Lukisan digital realistik yang menampilkan sosok manusia dalam cahaya, simbol dari amal tulus yang berpijar di kegelapan dunia.

Surau.co. Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering kali terjebak dalam cara pandang yang keliru. Kita cenderung mengukur amal berdasarkan besar atau kecilnya, banyak atau sedikitnya, bukan berdasarkan ketulusan di baliknya. Padahal, Islam menilai amal dari niat dan keikhlasannya sehingga meskipun amal kita kecil mendapat pahala besar. Syekh Utsman bin Hasan Asy-Syakiri Al-Khubawi dalam Ad-Durratun Nashihin menegaskan bahwa setiap amal, sekecil apa pun, akan bernilai agung ketika seseorang mengerjakannya dengan hati yang tulus karena Allah semata.

Makna Amal Kecil, Pahala Besar

Frasa amal kecil pahala besar bukan sekadar slogan motivasi, melainkan inti dari spiritualitas Islam yang sejati. Amal kecil yang dilakukan dengan niat murni sering kali melampaui amal besar yang tercemar riya. Oleh karena itu, setiap langkah, ucapan, dan niat seorang mukmin dapat menjadi ladang pahala jika ia melandasinya dengan keikhlasan.

Syekh Utsman berpendapat:

الإخلاص روح الأعمال، فمن فقد الإخلاص فقد الروح
“Ikhlas adalah ruh dari segala amal. Barang siapa kehilangan keikhlasan, maka hilanglah ruh amal itu.”

Ungkapan tersebut mengingatkan kita bahwa tanpa keikhlasan, amal hanya menjadi gerak kosong—indah di mata manusia, tetapi hampa di sisi Allah.

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Ikhlas dalam Al-Qur’an dan Sunnah

Al-Qur’an berulang kali menekankan bahwa keikhlasan merupakan fondasi iman. Allah berfirman:

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ
“Padahal mereka tidak diperintah kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya.” (QS. Al-Bayyinah: 5)

Ayat ini menegaskan bahwa Allah memerintahkan manusia untuk beribadah dengan niat yang murni. Karena itu, Allah tidak akan menerima amal yang tidak dilandasi keikhlasan, betapapun megah bentuknya. Lebih lanjut, Rasulullah ﷺ juga bersabda:

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
“Sesungguhnya setiap amal bergantung pada niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan niatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis ini menjadi landasan utama dalam seluruh amal ibadah. Rasulullah menegaskan bahwa niat adalah jantung dari amal. Bahkan amal sederhana—seperti senyum tulus atau menyingkirkan duri dari jalan—akan bernilai besar bila seseorang melakukannya dengan ikhlas.

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

Amal Kecil, Rahmat Besar

Dalam Ad-Durratun Nashihin, Syekh Utsman Al-Khubawi menuturkan kisah menggetarkan tentang seorang wanita pezina yang Allah ampuni karena memberi minum seekor anjing yang kehausan. Beliau berkata:

امرأة بَغِيٌّ سَقَتْ كَلْبًا فَغَفَرَ اللَّهُ لَهَا بِذَلِكَ
“Seorang wanita pezina memberi minum seekor anjing, lalu Allah mengampuni dosanya karena perbuatannya itu.”

Kisah ini, yang juga diriwayatkan dalam hadis sahih (HR. Bukhari dan Muslim), menunjukkan bahwa Allah menilai hati manusia, bukan besar kecilnya amal. Dengan demikian, amal kecil yang muncul dari kasih sayang dan niat suci bisa menjadi jalan turunnya rahmat Allah.

Lebih jauh, Syekh Utsman menjelaskan:

النية الصالحة ترفع العمل الصغير إلى درجة عظيمة عند الله
“Niat yang baik dapat mengangkat amal kecil ke derajat yang tinggi di sisi Allah.”

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Maka, setiap amal yang dilakukan dengan hati yang lurus tidak akan sia-sia. Bahkan, pekerjaan sederhana—seperti menyapu masjid, membantu tetangga, atau memberikan senyum tulus—dapat menjadi ladang pahala besar jika disertai niat ikhlas.

Bahaya Riya: Amal Tanpa Keikhlasan

Sebaliknya, amal besar yang terlihat mengagumkan di mata manusia bisa kehilangan nilainya di sisi Allah jika niatnya tercampur riya. Allah memperingatkan:

فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ الَّذِينَ هُمْ يُرَاءُونَ
“Celakalah orang-orang yang salat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari salatnya, yang berbuat riya.” (QS. Al-Ma’un: 4–6)

Riya merupakan penyakit hati yang halus tetapi mematikan. Dalam Ad-Durratun Nashihin, Syekh Utsman menulis:

الرياء شرك خفي، لا يقبله الله ولو كان العمل كثيرا
“Riya adalah syirik tersembunyi; Allah tidak menerima amal sebanyak apa pun jika mengandung riya.”

Dari sini, kita belajar bahwa riya mengubah amal menjadi beban dosa karena niatnya berpaling dari Allah menuju manusia. Oleh karena itu, sebelum beramal, seorang mukmin perlu bertanya pada dirinya: Untuk siapa aku melakukan ini? Jika jawabannya bukan “karena Allah,” maka ia harus menyucikan kembali niatnya.

Ikhlas dalam Aktivitas Sehari-hari

Keikhlasan tidak hanya berlaku dalam ibadah ritual, tetapi juga dalam aktivitas sehari-hari. Seseorang dapat memperoleh pahala besar ketika ia bekerja untuk mencari ridha Allah, membantu keluarga tanpa pamrih, atau belajar demi menebar manfaat. Rasulullah ﷺ bersabda:

إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ إِذَا عَمِلَ أَحَدُكُمْ عَمَلًا أَنْ يُتْقِنَهُ
“Sesungguhnya Allah mencintai apabila seseorang melakukan suatu pekerjaan, ia melakukannya dengan sempurna.” (HR. Baihaqi)

Hadis ini mengajarkan bahwa Allah mencintai kesungguhan dalam setiap amal. Dengan demikian, pekerjaan apa pun dapat bernilai ibadah selama dilakukan dengan niat baik dan kesungguhan hati.

Syekh Utsman juga menulis:

الإخلاص عمل القلب، لا يُقَدَّر بالظاهر، ولكن يُعرف بصفاء النية
“Ikhlas adalah pekerjaan hati; ia tidak diukur dari penampilan luar, tetapi dari kejernihan niat.”

Artinya, keikhlasan tidak perlu diumumkan. Cukup Allah yang mengetahuinya, dan hati yang tenang akan merasakannya.

Keikhlasan: Pondasi Kebahagiaan Ruhani

Orang yang beramal dengan ikhlas akan merasakan ketenangan batin yang luar biasa. Ia tidak mengejar pujian dan tidak kecewa ketika amalnya tidak diakui. Ia sadar bahwa hanya Allah yang menilai amalnya. Syekh Utsman menggambarkan hal ini dengan indah:

المخلص في عمله مطمئن القلب، راضٍ بقضاء الله، لا يهمه مدح الناس ولا ذمهم
“Orang yang ikhlas dalam amalnya memiliki hati yang tenang, ridha terhadap takdir Allah, dan tidak peduli dengan pujian atau celaan manusia.”

Dengan demikian, keikhlasan mengubah amal menjadi sumber kebahagiaan ruhani. Ia menyalakan cahaya dalam jiwa dan mempererat hubungan spiritual dengan Sang Pencipta. Ketika seseorang beramal hanya untuk Allah, setiap hal kecil pun berubah menjadi ibadah bermakna.

Menumbuhkan Keikhlasan di Era Modern

Di era media sosial, ujian keikhlasan semakin berat. Amal baik yang seharusnya rahasia sering berubah menjadi tontonan publik. Namun demikian, hal ini tidak berarti kita harus berhenti berbuat baik di ruang publik. Yang penting, kita perlu menguatkan niat agar  meskipun amal kecil pahala besar. Apakah kita melakukannya untuk dakwah atau sekadar mencari perhatian?

Syekh Utsman memberikan panduan praktis dalam Ad-Durratun Nashihin:

ابدأ العمل لله، واذكر الله أثناءه، وانهِ العمل بالشكر لله، تكن مخلصا فيه
“Mulailah amal karena Allah, ingatlah Allah saat mengerjakannya, dan akhiri dengan bersyukur kepada Allah—maka engkau akan ikhlas di dalamnya.”

Langkah sederhana ini mengajarkan kita untuk selalu menjaga niat: mulai dengan ikhlas, lanjutkan dengan kesadaran, dan akhiri dengan rasa syukur.

Penutup: Kecil di Mata Manusia, Besar di Sisi Allah

Keikhlasan adalah mutiara tersembunyi yang hanya bisa ditemukan oleh hati yang jujur. Rasulullah ﷺ bersabda:

اتَّقُوا النَّارَ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرَةٍ
“Lindungilah dirimu dari neraka, walau hanya dengan sepotong kurma.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis ini menegaskan bahwa tidak ada amal yang remeh bila diniatkan ikhlas. Setiap kebaikan, sekecil apa pun, dapat menjadi benih surga. Karena itu, marilah kita berlatih menumbuhkan keikhlasan dalam hal-hal kecil: menyapa dengan senyum, membantu dengan tangan, dan mendengar dengan sabar. Sebab, di hadapan Allah, amal yang kecil bisa menjadi besar ketika lahir dari hati yang ikhlas.

*Gerwin Satria N
Pegiat Literasi Iqro’ University Blita


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement