SURAU.CO-Ibnu Hummam aslinya bernama Muhammad bin Abdul Wahid bin Abdul Hamid bin Mas’ud bin Hamid ad-Din bin Sa’duddin. Ia adalah seorang ahli fikih Mazhab Hanafi, teolog, dan ahli nahwu.
Ayah dan kakek Ibnu Hummam adalah seorang hakim di Siwas, Asia Kecil. Demi kepentingan ilmu pengetahuan, ia kemudian pindah ke berbagai negara untuk mengunjungi dan belajar dari para ulama, sebagaimana tradisi masyarakat pada masa itu. Takdir membawanya untuk menetap di Kairo, hingga ia diangkat sebagai hakim pengadilan Kairo, lalu Iskandariah.
Tumbuh dalam keluarga ulama terhormat
Ibnu Hummam tumbuh dan besar dalam keluarga ulama yang terhormat. Namun, sebelum mencapai usia sepuluh tahun, ayahnya wafat dan tidak meninggalkan kekayaan berarti. Oleh karena itu, Ibnu Hummam diasuh oleh neneknya dari pihak ibu, yang juga dikenal sebagai faqihah (ahli fikih perempuan). Sang nenek berkeinginan agar cucunya tetap berkembang dalam lingkungan terhormat. Ia pun menitipkan sang cucu kepada Abdurrahman al-Akbari, seorang ahli fikih Iskandariah, untuk belajar Al-Qur’an. Setelah itu, ia dikirim ke Kairo untuk melanjutkan pelajaran. Di Kairo, ia dititipkan kepada Syihabuddin al-Haitsami agar menghafal Al-Qur’an, dan kepada Syamsuddin az-Zaratini untuk belajar ilmu tajwid.
Ibnu Hummam tumbuh sebagai anak yatim pada masa pemerintahan Mamalik, saat ilmu pengetahuan kurang berkembang. Meskipun demikian, Ibnu Hummam adalah pemuda dengan cita-cita tinggi dan kemauan kuat. Oleh karena itu, kondisi sosial yang kurang mendukung itu sama sekali tidak menyurutkan cita-citanya. Sebaliknya, hal itu justru menambah semangatnya untuk terus mencari ilmu dengan segenap kemampuan.
Berhasil meraih cita-cita
Ibnu Hummam akhirnya meraih cita-citanya. Ia berhasil menguasai berbagai cabang ilmu pengetahuan, baik agama maupun umum. Ia bahkan dikenal sebagai argumentator ulung dalam ilmu fikih, ushul fikih, ushuluddin, tafsir, hadis, manthiq (logika), bahasa Arab (bayan, ma’ani, nahwu, dan sharaf), tasawuf, matematika, dan sastra. Ia memperoleh semua keahlian ini dari sejumlah ulama besar yang menjadi gurunya. Mereka antara lain: Qadhi al-Qudhah Jamaluddin al-Humaidi, Zainuddin al-Iskandari, Muhammad al-Bisathi al-Maliki, Izzuddin bin Abdus Salam al-Baghdadi, Jalaluddin al-Hindi, al-Quthb al-Abraquhi, Syihabuddin Ahmad bin Rajah bin Thabiqa asy-Syafi’i, Qadhi al-Qudhah Badruddin al-‘Aini al-Hanafi, Waliyuddin Abu Zur, Abu Hurairah al-Iraqi, Izzuddin bin Muhammad bin Jama’a asy-Syafi’i, as-Siraj Umar bin Muhammad, az-Zain at-Tafahni, Ibnu Ala Syahanah al-Hanafi, al-Adzkawi, al-Khawafi, Jamaluddin al-Hambali, Syamsuddin asy-Syami, al-Bushairi, Jamaluddin bin Zhahirah, serta sejumlah ulama besar lainnya yang sulit dihitung.
Untuk mendapatkan ilmu dari mereka, Ibnu Hummam harus melakukan perjalanan pulang-pergi antara Kairo dan Iskandariah, bahkan ia juga menempuh perjalanan panjang ke negara-negara lain, seperti Aleppo dan Quds.
Pribadi yang rendah hati
Ibnu Hummam dikenal rendah hati. Ia tidak pernah menonjolkan diri, baik terkait karya-karya ilmiahnya maupun ketekunannya. Ia mengembalikan semua kelebihan yang dimiliki kepada Allah Swt. Ia menggunakan seluruh kemampuan akalnya untuk mengkaji persoalan-persoalan ilmiah. Meskipun demikian, ia tetap berpegang pada teks-teks Al-Qur’an dan As-Sunnah. Ia memiliki kepercayaan diri yang kuat. Suatu hari, ia berkata, “Dalam hal-hal yang bersifat rasional, aku tidak bertaklid kepada siapa pun.”
Memiliki kemauan kuat
Kemauan Ibnu Hummam sangat kuat. Tidak seorang pun, betapapun tinggi kedudukannya, mampu memengaruhi kemauannya. Akan tetapi, sikap ini tidak mencerminkan maksud untuk memperoleh kedudukan atau keuntungan pribadi. Faktanya, sejumlah jabatan justru menantinya. Contohnya, Al-Asyraf Barsibay mengangkatnya sebagai pimpinan Perguruan al-Asyrafiyah tanpa pemberitahuan atau perundingan sebelumnya. Pengangkatan ini mereka lakukan karena melihat prestasi ilmiahnya.
Ibnu Hummam juga sangat menghormati murid-muridnya. Ia selalu siap menyediakan waktu untuk mereka. Sebagai contoh, ketika masih menjabat sebagai Kepala Perguruan al-Asyrafiyah, ia mengangkat salah seorang muridnya yang ia anggap mampu untuk menjadi guru di sana. Namun, Jauhar al-Khazandar menentang pengangkatan itu.
Menolak intervensi orang luar
Ibnu Hummam marah besar dan menyatakan mengundurkan diri, lalu kembali ke rumahnya. Ia menunjukkan sikap ini sebagai protes atas intervensi orang luar terhadap tugas yang menjadi haknya. Ketika Sultan mengetahui peristiwa itu, Sultan segera memintanya bersabar. Ibnu Hummam menerima permintaan Sultan, setelah sebelumnya menerima permintaan maaf al-Khazandar. (St.Diyar)
Referensi : Abdullah Musthafa Al-Maraghi, Ensiklopedia Lengkap Ulama Ushul Fiqh Sepanjang Masa, 2020.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
