Khazanah
Beranda » Berita » Dakwah di Balik Jeruji: Cahaya yang Menyelinap ke Lorong Sempit

Dakwah di Balik Jeruji: Cahaya yang Menyelinap ke Lorong Sempit

Dakwah di Balik Jeruji: Cahaya yang Menyelinap ke Lorong Sempit
Dakwah di Balik Jeruji: Cahaya yang Menyelinap ke Lorong Sempit

 

SURAU.CO – Dalam lorong sempit yang dindingnya berwarna kusam dan penerangannya seadanya, sekelompok lelaki duduk bersila dengan wajah serius. Mereka mendengarkan dengan khusyuk seseorang yang berdiri di ujung ruangan, mengenakan baju biru dan peci hitam. Di sebelahnya, seorang lagi duduk bersahaja, menemani, mungkin membantu atau sekadar menjadi saksi bahwa cahaya dakwah bisa menembus ruang-ruang yang paling gelap sekalipun.

Pemandangan ini bukanlah di masjid besar, bukan pula di majelis ilmu terbuka yang megah. Tempat itu sempit, seperti lorong di antara dua dinding penjara atau ruang tahanan. Namun di situlah dakwah Islam menemukan maknanya yang paling jernih — bahwa Islam tidak hanya berbicara di mimbar-mimbar indah, tetapi juga di ruang-ruang pengasingan, di antara orang-orang yang terlupakan oleh dunia.

Lorong Taubat dan Cahaya Hidayah

Setiap insan yang duduk di ruangan itu membawa kisahnya sendiri. Ada yang mungkin pernah terjebak dalam dunia hitam, ada yang khilaf dalam keputusan, ada yang terjerumus karena lingkungan. Namun kini, mereka duduk dengan kepala menunduk, hati bergetar, mendengarkan ayat-ayat Allah yang dibacakan. Di mata manusia, mungkin mereka adalah pesakitan. Tetapi di mata Allah, bisa jadi mereka adalah hamba-hamba yang sedang mengetuk pintu taubat.

Allah berfirman dalam surah Az-Zumar ayat 53:

Mengapa Allah Menolak Taubat Iblis?

> “Katakanlah, wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sungguh, Dia-lah Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang.”

Ayat ini menjadi pelita bagi siapa pun yang pernah terjerumus ke dalam kegelapan. Dakwah di ruang sempit seperti itu bukan hanya tentang mengajarkan ilmu, tetapi tentang membangkitkan harapan. Tentang mengingatkan bahwa Allah tidak menutup pintu-Nya meski seluruh dunia menutup pintunya untuk kita.

Dakwah yang Menyentuh Hati, Bukan Sekadar Telinga

Di hadapan para penghuni lorong itu, sang dai mungkin tidak perlu berbicara dengan kalimat yang rumit. Yang mereka butuhkan bukan teori panjang, melainkan sentuhan hati. Sebuah kisah yang menggugah, sebuah doa yang menenangkan, dan sebuah senyum yang tulus.

Rasulullah ﷺ sendiri telah memberikan teladan. Beliau tidak hanya berdakwah di tengah para sahabat yang saleh, tetapi juga di tengah orang-orang yang dulu menentangnya, bahkan yang pernah menyakitinya. Dakwah beliau bukan dengan celaan, tapi dengan kasih sayang. Maka, setiap dai yang hadir di tempat seperti ini sedang melanjutkan warisan kenabian itu — menyapa mereka yang terpinggirkan, menghidupkan kembali fitrah keimanan yang mungkin terkubur di balik dosa dan penyesalan.

Lorong Itu Jadi Saksi

Lorong sempit itu menjadi saksi bisu atas banyak hal. Mungkin air mata yang menetes tanpa suara, mungkin hati yang bergetar saat mendengar ayat tentang ampunan, atau mungkin tekad baru untuk memperbaiki hidup setelah keluar dari tempat itu.

Riyadus Shalihin: Antidot Ampuh Mengobati Fenomena Sick Society di Era Modern

Sungguh, inilah dakwah yang paling jujur: dakwah tanpa pamrih, tanpa sorotan kamera, tanpa tepuk tangan. Dakwah yang dilakukan dengan niat lillahi ta‘ala — semata karena Allah. Setiap kata yang disampaikan di ruang itu, setiap ayat yang dibacakan, bisa menjadi penyebab turunnya hidayah yang mengubah arah hidup seseorang.

Rasulullah ﷺ bersabda:

> “Demi Allah, sungguh jika Allah memberi petunjuk kepada seseorang melalui dirimu, maka itu lebih baik bagimu daripada unta merah (harta yang paling berharga di masa itu).” (HR. Bukhari dan Muslim)

Bayangkan, jika dari lorong sempit itu, ada satu jiwa yang berubah, satu hati yang bertaubat, satu tangan yang kelak terulur menolong sesama setelah bebas — maka semua itu menjadi amal jariyah bagi sang dai dan semua yang mendukungnya.

Menembus Batas, Menghidupkan Nurani

Dakwah tidak mengenal tembok, jeruji, atau batas sosial. Ia menembus semua sekat. Karena sejatinya, setiap manusia memiliki potensi untuk kembali kepada kebaikan. Di dalam setiap hati — bahkan hati yang paling keras sekalipun — masih ada titik cahaya fitrah yang menunggu disentuh.

Budaya Hustle Culture vs Berkah: Meninjau Ulang Definisi Sukses

Sebagaimana sabda Nabi ﷺ:

> “Setiap anak dilahirkan di atas fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Artinya, setiap orang yang kini terbelenggu oleh dosa sejatinya pernah berada di jalan fitrah. Dakwah seperti inilah yang berusaha mengembalikan mereka ke titik asal itu — ke kesucian fitrah, ke heningnya hati yang tunduk kepada Rabb-nya.

Tugas Berat Sang Dai

Bagi sang dai yang berdiri di ujung lorong itu, tugasnya bukan mudah. Ia harus datang bukan sebagai penghakim, tetapi sebagai penuntun. Ia tidak boleh membawa sikap menggurui, tetapi membawa kasih sayang. Karena dakwah di tempat seperti ini bukan sekadar menyampaikan, tetapi juga merangkul.

Ia harus siap mendengarkan keluh kesah para penghuni, menatap mata mereka dengan empati, dan menyalakan kembali semangat hidup. Dakwah seperti ini lebih berat dari sekadar ceramah di panggung besar, karena di sinilah diuji keikhlasan dan kesabaran.

Namun pahala bagi mereka yang berjuang di jalan ini sangat besar. Sebab mereka menunaikan salah satu perintah agung dalam Islam:

> “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar; mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran: 104)

Menanam Harapan di Tanah yang Gersang

Bisa jadi, sebagian masyarakat memandang tempat-tempat seperti ini dengan sinis: “Untuk apa berdakwah di sana? Mereka sudah rusak.” Tapi inilah perbedaan antara pandangan manusia dan pandangan Allah. Manusia melihat dosa, Allah melihat potensi taubat.

Menanam dakwah di tempat seperti itu ibarat menanam benih di tanah yang gersang. Tidak semua benih tumbuh, tapi yang tumbuh — akan menjadi pohon yang kokoh. Sebab ia tumbuh dari keikhlasan dan air mata penyesalan.

Mungkin dari lorong itu akan lahir para muallaf yang tangguh, para mantan yang menjadi teladan, atau para pendakwah baru yang bercerita tentang bagaimana mereka menemukan Allah di balik jeruji besi.

Penutup: Cahaya Tak Pernah Padam

Foto sederhana ini menyampaikan pesan mendalam: bahwa Islam selalu punya jalan untuk masuk, bahkan ke tempat yang paling sempit. Bahwa tidak ada ruang yang terlalu gelap bagi cahaya hidayah Allah. Dan tidak ada manusia yang terlalu berdosa untuk kembali kepada-Nya.

Semoga setiap lorong yang menjadi tempat dakwah seperti ini disinari keberkahan. Semoga setiap dai yang melangkah ke sana diberi kekuatan dan keikhlasan. Dan semoga setiap jiwa yang mendengarkan seruan Allah di tempat itu mendapat kesempatan kedua untuk hidup dengan cahaya iman.

> “Barangsiapa yang bertaubat, beriman, dan beramal saleh, maka mereka itulah yang Allah ganti keburukannya dengan kebaikan. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
(QS. Al-Furqan: 70). (Tengku Iskandar, M. Pd – Duta Literasi Pena Da’i Nusantara Provinsi Sumatera Barat)


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement