Surau.co. Haji bukan sekadar ritual ibadah tahunan, melainkan perjalanan suci yang menyatukan seluruh dimensi manusia—akal, hati, dan jiwa—menuju kehadiran Ilahi. Dalam kitab Ad-Durratun Nashihin karya Syekh Utsman bin Hasan Asy-Syakiri Al-Khubawi, haji digambarkan sebagai perjalanan ruhani yang mendidik hati agar tunduk sepenuhnya kepada Allah. Ia bukan sekadar menuju Ka‘bah di Makkah, tetapi menuju kesucian batin yang sejati.
Frasa kunci Haji: perjalanan ruhani menuju kesucian menggambarkan inti ajaran kitab tersebut: bahwa setiap langkah menuju Baitullah adalah simbol dari langkah seorang hamba meninggalkan hawa nafsunya. Di zaman modern yang sarat kesibukan dan materialisme, makna spiritual haji seringkali tenggelam. Padahal, sebagaimana ditegaskan oleh Syekh Utsman Al-Khubawi,
“الحج سفر القلب إلى مولاه قبل سفر الجسد إلى بيته”
“Haji adalah perjalanan hati menuju Tuhannya sebelum perjalanan jasad menuju rumah-Nya.”
Makna Haji dalam Cahaya Wahyu
Al-Qur’an menegaskan pentingnya haji sebagai ibadah yang memiliki dimensi spiritual, sosial, dan moral. Allah berfirman:
وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالًا وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ
“Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki dan dengan menunggang unta yang kurus, mereka datang dari segenap penjuru yang jauh.” (QS. Al-Hajj: 27)
Ayat ini menggambarkan bahwa panggilan haji bukan hanya panggilan fisik, tetapi panggilan hati. Setiap manusia yang hatinya tersentuh oleh seruan ini sejatinya sedang dipanggil menuju kebersihan diri. Dalam kitab Ad-Durratun Nashihin, Syekh Utsman menjelaskan:
الحج عبادة تجمع أنواع العبادات، فيها الصلاة والذكر والإنفاق والسعي والطاعة والخضوع
“Haji adalah ibadah yang mengumpulkan berbagai jenis ibadah di dalamnya: salat, zikir, sedekah, usaha, ketaatan, dan ketundukan.”
Dengan demikian, haji menjadi laboratorium spiritual bagi seorang Muslim untuk berlatih kesabaran, keikhlasan, dan penyerahan diri.
Ihram: Simbol Kesetaraan dan Kesucian
Pakaian ihram menjadi awal dari perjalanan suci ini. Dua lembar kain putih sederhana menghapus segala perbedaan sosial, ekonomi, dan status duniawi. Dalam keadaan itu, semua manusia sama—tidak ada pejabat, tidak ada rakyat, tidak ada kaya, tidak ada miskin. Semua hanyalah hamba Allah yang sedang kembali kepada-Nya.
Dalam narasi Ad-Durratun Nashihin, disebutkan bahwa makna ihram sejatinya adalah melepas diri dari segala kesombongan dan keinginan dunia. Syekh Utsman menjelaskan:
الإحرام خلع الدنيا من القلب كما يخلع الثوب عن الجسد
“Ihram adalah menanggalkan dunia dari hati, sebagaimana engkau menanggalkan pakaian dari tubuh.”
Pesan ini sangat dalam. Ketika seseorang mengenakan kain ihram, ia seharusnya menanggalkan pula sifat sombong, iri, dan cinta dunia. Inilah awal penyucian jiwa yang menjadi fondasi bagi seluruh rangkaian ibadah haji.
Tawaf: Mengelilingi Cinta Ilahi
Tawaf, atau mengelilingi Ka‘bah sebanyak tujuh kali, bukan sekadar gerakan fisik. Ia adalah simbol perjalanan cinta menuju Allah. Ka‘bah menjadi poros kehidupan spiritual, sebagaimana Allah menjadi pusat segala tujuan seorang mukmin.
Rasulullah ﷺ bersabda:
الطَّوَافُ بِالْبَيْتِ صَلاَةٌ إِلاَّ أَنَّ اللهَ أَحَلَّ فِيهِ الْكلاَمَ
“Tawaf di sekitar Ka‘bah adalah seperti salat, hanya saja Allah mengizinkan di dalamnya berbicara.” (HR. Tirmidzi)
Setiap putaran dalam tawaf adalah simbol penyucian diri dari tujuh lapisan hawa nafsu—amarah, kesombongan, cinta dunia, dengki, riya, ujub, dan malas beribadah. Hati yang berputar mengelilingi Ka‘bah seolah berkata, “Ya Allah, Engkaulah pusat hidupku. Tiada arah lain selain Engkau.”
Sa’i: Usaha dan Keteguhan Hati
Perjalanan antara bukit Shafa dan Marwah mengingatkan kita pada kisah Siti Hajar yang berlari mencari air untuk putranya, Ismail. Di sinilah makna perjuangan dan tawakal berpadu. Allah mengabadikan peristiwa itu dalam firman-Nya:
إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ
“Sesungguhnya Shafa dan Marwah adalah sebagian dari syiar-syiar Allah.” (QS. Al-Baqarah: 158)
Dalam kitab Ad-Durratun Nashihin, Syekh Utsman menjelaskan bahwa sa’i mengajarkan umat agar tidak pernah berputus asa dalam mencari rahmat Allah:
السعي رمز للجد والاجتهاد مع التوكل على الله في كل حال
“Sa’i adalah simbol kesungguhan dan kerja keras yang disertai tawakal kepada Allah dalam setiap keadaan.”
Maka, sa’i bukan sekadar mengenang sejarah, tetapi meneladani semangat seorang ibu yang mengajarkan arti usaha dan harapan tanpa batas.
Wukuf di Arafah: Puncak Penyerahan Diri
Arafah adalah simbol pengenalan dan kesadaran spiritual. Di padang luas itu, jutaan manusia berhenti, berdiri, dan berdoa dalam satu waktu yang sama. Tidak ada ibadah haji tanpa wukuf di Arafah.
Rasulullah ﷺ bersabda:
الحج عرفة
“Haji adalah wukuf di Arafah.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi)
Menurut Ad-Durratun Nashihin, wukuf mengandung makna introspeksi mendalam:
الوقوف بعرفة وقوف القلب بين يدي الله نادماً مستغفراً
“Berdiri di Arafah berarti berdirinya hati di hadapan Allah dengan penuh penyesalan dan permohonan ampun.”
Di sinilah puncak perjalanan ruhani. Seorang hamba yang berdiri di Arafah sesungguhnya sedang menatap cermin jiwanya sendiri. Ia menyadari betapa kecil dirinya di hadapan kebesaran Tuhan.
Melempar Jumrah: Melawan Nafsu dan Setan
Melempar jumrah di Mina adalah simbol peperangan spiritual melawan bisikan setan dan hawa nafsu. Batu-batu kecil yang dilemparkan bukan sekadar simbol, melainkan tekad untuk mengusir segala sifat buruk dari hati.
Syekh Utsman berpendapat:
رمي الجمار رمي الشيطان بالحجارة، وهو في الحقيقة رمي الشهوات من القلب
“Melempar jumrah berarti melempar setan dengan batu, dan hakikatnya adalah membuang syahwat dari hati.”
Setiap lemparan menjadi pernyataan perang terhadap keangkuhan, kemarahan, dan keserakahan dalam diri manusia.
Thawaf Wada’: Pulang dengan Hati yang Baru
Ketika haji mendekati akhir, jamaah melakukan thawaf wada’—tawaf perpisahan. Namun, hakikatnya bukan perpisahan, melainkan perjanjian baru. Seorang hamba yang telah berhaji seharusnya pulang bukan dengan kebanggaan, tetapi dengan kerendahan hati dan tekad memperbaiki diri.
Dalam Ad-Durratun Nashihin dijelaskan:
الوداع الحقيقي هو وداع النفس الأمارة بالسوء، لا وداع البيت فقط
“Perpisahan yang sejati adalah perpisahan dari jiwa yang selalu mengajak kepada keburukan, bukan hanya perpisahan dari Ka‘bah.”
Maka, haji sejati bukanlah yang hanya menunaikan rukun-rukun ibadah, tetapi yang pulang dengan hati yang bersih dan kehidupan yang berubah.
Penutup
Haji adalah perjalanan pulang—bukan hanya ke tanah air, tetapi pulang kepada fitrah. Setiap langkah di Tanah Suci adalah langkah menuju pengenalan diri. Di sanalah manusia belajar bahwa kemuliaan sejati bukan pada harta atau status, tetapi pada hati yang tunduk dan jiwa yang bersih.
Bagi setiap Muslim, haji menjadi simbol harapan dan pembersihan diri. Sebagaimana Allah berfirman:
لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ
“Agar mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan menyebut nama Allah pada hari-hari yang telah ditentukan.” (QS. Al-Hajj: 28)
Maka, haji bukan akhir perjalanan, melainkan awal kehidupan yang baru—kehidupan yang lebih suci, tenang, dan dekat dengan Allah.
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
