SURAU.CO – Pertanyaan seperti “Apakah Allah bertempat?” sering muncul dalam pembahasan akidah Islam. Pertanyaan ini sebenarnya menyentuh perkara yang sangat mendasar: bagaimana seorang hamba mengenal Rabb-nya. Jawabannya menuntut kehati-hatian dan keikhlasan dalam menuntut ilmu, karena menyangkut keyakinan tentang Dzat Allah yang Maha Suci dan tidak serupa dengan makhluk-Nya.
Allah Tidak Terikat oleh Tempat dan Waktu
Pertama-tama, kita harus memahami bahwa Allah adalah Dzat Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu. Dialah Al-Khaliq (Pencipta), sementara tempat, waktu, arah, dan segala bentuk dimensi adalah makhluk yang diciptakan oleh-Nya. Maka, tidak mungkin Sang Pencipta terikat oleh ciptaan-Nya.
Jika Allah berkehendak untuk “bertempat”, tentu itu mudah bagi-Nya. Namun jika Allah berkehendak untuk tidak bertempat, itu pun mudah bagi-Nya.
Akan tetapi, kehendak Allah tidak sama dengan kebutuhan. Allah tidak melakukan sesuatu karena butuh, melainkan karena hikmah dan kebijaksanaan yang sempurna.
Penjelasan Al-Qur’an tentang “Bersemyam di Atas ‘Arsy”
Allah berfirman dalam Al-Qur’an:
> “Sesungguhnya Tuhanmu ialah Allah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy.”
(QS. Al-A’raf: 54)
Ayat ini sering menjadi bahan diskusi para ulama dalam memahami sifat “istiwa’” Allah. Dalam bahasa Arab, kata istawa ‘ala bisa berarti “bersemayam”, “menguasai”, atau “menetap di atas”, tergantung konteksnya. Namun, kita tidak boleh menyerupakan istiwa’-nya Allah dengan istiwa’-nya makhluk, sebab Allah sendiri menegaskan:
> “Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”
(QS. Asy-Syura: 11)
Istiwa’ adalah Kehendak Allah, Bukan Kebutuhan
Ayat tersebut menunjukkan bahwa Allah bersemayam di atas ‘Arsy sebagai bentuk kehendak-Nya, bukan karena Dia membutuhkan tempat atau sandaran. Allah tidak bergantung kepada apa pun, termasuk kepada ‘Arsy. Justru ‘Arsy-lah yang bergantung kepada kehendak dan kekuasaan Allah.
Sama halnya, Allah tidak membutuhkan malaikat Jibril untuk menyampaikan wahyu, tetapi Allah berkehendak agar Jibril menyampaikan wahyu kepada para rasul sebagai bagian dari sunnatullah dan tatanan hikmah yang telah ditetapkan-Nya.
Kesempurnaan Allah dalam Segala Sifat-Nya
Ketika kita berbicara tentang Allah, kita berbicara tentang Dzat yang sempurna dalam segala sifat-Nya. Dia tidak terbatas, tidak serupa dengan makhluk, dan tidak memerlukan apa pun. Jika kita membayangkan bahwa Allah membutuhkan tempat untuk “berada”, maka kita telah menyerupakan-Nya dengan makhluk, padahal hal itu jelas bertentangan dengan tauhid dan kesucian Dzat-Nya.
Allah Maha Tinggi (Al-‘Aliy) dalam makna yang mutlak — tinggi dalam kekuasaan, kedudukan, dan keagungan, bukan tinggi secara fisik seperti makhluk yang menempati ruang.
Ulama Salaf dan Khalaf dalam Menafsirkan Ayat Sifat
Para ulama salaf (generasi awal) seperti Imam Malik, Imam Ahmad bin Hanbal, dan lainnya, bersepakat untuk menerima ayat-ayat sifat sebagaimana adanya tanpa menafsirkan secara rinci bentuknya. Mereka berkata:
“Istiwa’-nya Allah itu diketahui (maknanya), tetapi bagaimana caranya tidak diketahui; mengimaninya wajib, menanyakannya bid’ah.”
Sementara para ulama khalaf (generasi kemudian) seperti Imam al-Ghazali dan Imam an-Nawawi menafsirkan ayat-ayat tersebut secara ta’wil agar selaras dengan prinsip tanzih (pensucian Allah dari keserupaan dengan makhluk). Misalnya, mereka menafsirkan “bersemayam di atas ‘Arsy” dengan makna “menguasai” (istawla).
Perbedaan ini bukanlah pertentangan dalam pokok akidah, melainkan perbedaan metode dalam menjaga kesucian dan kebesaran Allah.
Menyikapi Perbedaan dengan Adab Ilmiah
Dalam persoalan seperti ini, kaum muslimin hendaknya bersikap tawadhu’ dan ilmiah. Tidak mudah mengkafirkan atau menyesatkan pihak yang berbeda dalam penafsiran ayat-ayat sifat selama masih dalam koridor akidah Ahlus Sunnah. Sebab, baik pendekatan tafwidh (menyerahkan makna hakikinya kepada Allah) maupun ta’wil (menafsirkan dengan makna yang sesuai keagungan Allah) sama-sama bertujuan untuk menjaga tauhid dan tanzih terhadap Dzat-Nya.
Hikmah dari Pembahasan Ini
Perdebatan tentang “apakah Allah bertempat” sejatinya mengingatkan kita bahwa akal manusia sangat terbatas dalam memahami hakikat Allah. Tugas kita bukanlah mengkhayalkan Dzat Allah, melainkan mengenal-Nya melalui nama dan sifat yang Dia nyatakan dalam Al-Qur’an dan Sunnah, serta meneguhkan keyakinan bahwa:
Allah ada tanpa tempat, tanpa arah, tanpa batas, dan tanpa serupa dengan ciptaan.
Kesadaran ini akan melahirkan ketaatan, kekhusyukan, dan rasa tunduk sepenuhnya kepada kebesaran Allah, bukan malah memperdebatkan sesuatu yang di luar kemampuan manusia.
Penutup
Allah berfirman:
> “Dia Maha Tinggi, Maha Kuasa, dan tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya.”
(QS. Al-Ikhlas & Asy-Syura: 11)
Maka, keyakinan seorang mukmin haruslah teguh bahwa Allah berkuasa atas segala sesuatu, tidak butuh kepada apa pun, dan semua terjadi karena kehendak serta kebijaksanaan-Nya. Segala yang kita pahami tentang sifat Allah hendaknya dikembalikan pada prinsip agung:
“Subhanallah ‘amma yashifun” — Maha Suci Allah dari apa yang mereka sifatkan (yang tidak layak bagi-Nya).
Ponpes Kholilul Qur’an – Kaliwader, Purworejo, Jawa Tengah. “Fokus pada kebutuhan, bukan bangga dengan banyaknya mata pelajaran.” (Tengku Iskandar, M. Pd – Duta Literasi Pena Da’i Nusantara Provinsi Sumatera Barat)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
