SURAU.CO. Di era digital yang serba cepat ini, kata santri tak lagi hanya identik dengan sosok bersarung, berpeci, dan duduk bersila di serambi pesantren sambil membaca kitab kuning. Santri masa kini hadir dengan wajah yang lebih beragam, ada yang menguasai teknologi, aktif di media sosial, hingga terjun dalam dunia kewirausahaan dan sosial.
Namun di balik dinamika tersebut, satu hal tak berubah yaitu semangat mereka untuk menuntut ilmu dan mengabdikan diri pada agama serta bangsa. Kehidupan santri terus berkembang mengikuti perkembangan zaman, tanpa meninggalkan nilai-nilai agam yang menjadi pegangan.
Dari Tradisi ke Transformasi
Pesantren sejak dulu menjadi benteng ilmu agama dan moral bangsa. Dalam sejarah panjangnya, pesantren melahirkan ulama, pemimpin, dan pejuang kemerdekaan yang berakar kuat pada nilai Islam. Santri bukan sekadar pelajar agama, tetapi juga pewaris tradisi keilmuan Islam yang mendalam.
Namun, seiring perubahan zaman, sistem pendidikan di pesantren pun bertransformasi. Bila dulu santri fokus mempelajari kitab klasik seperti Fathul Qarib, Tafsir Jalalain, dan Bulughul Maram, kini banyak pesantren yang membuka diri terhadap ilmu umum dan teknologi. Fisika, matematika, bahasa asing, bahkan coding mulai diajarkan berdampingan dengan ilmu fiqih dan tauhid.
Langkah ini sejalan dengan ajaran Islam yang menempatkan ilmu sebagai jalan kemuliaan. Rasulullah ﷺ bersabda, “Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim laki-laki dan perempuan.” (HR. Ibnu Majah)
Artinya, Islam tidak pernah membatasi ilmu hanya pada urusan ibadah semata. Semua ilmu yang bermanfaat bagi kehidupan manusia bernilai ibadah bila melaksanakannya dengan niat untuk kebaikan. Karena itu, pesantren yang kini membuka diri terhadap sains dan teknologi sejatinya sedang mengamalkan spirit Islam yang sesungguhnya.
Peluang dan Tantangan Santri Digital
Santri masa kini hidup di tengah arus informasi global. Gadget dan internet menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan mereka. Melalui media sosial, mereka bisa mengakses ribuan kajian, membaca kitab digital, hingga berinteraksi dengan ulama dari berbagai negara.
Fenomena ini membawa dampak dari dua sisi. Di satu sisi, teknologi membuka kesempatan luas bagi santri untuk memperkaya wawasan dan memperluas jejaring dakwah. Namun di sisi lain, derasnya arus informasi juga membawa potensi fitnah, misinformasi, bahkan konten yang dapat melemahkan iman.
Di sinilah pentingnya literasi digital bagi santri. Mereka harus mampu menjadi “filter” di tengah banjir informasi, bukan sekadar konsumen pasif, tetapi produsen kebaikan. Santri perlu memanfaatkan media sosial sebagai sarana dakwah kreatif yang menebar nilai-nilai Islam yang ramah, damai, dan cerdas.
Rasulullah ﷺ pernah bersabda, “Barang siapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia akan mendapatkan pahala seperti orang yang melakukannya.” (HR. Muslim). Dengan semangat ini, santri masa kini dapat menjadikan dunia digital sebagai ladang dakwah. Meme islami, konten edukatif, hingga podcast pesantren bisa menjadi “kitab kuning” versi zaman now.
Globalisasi dan Toleransi
Globalisasi membuat dunia seolah tanpa batas. Nilai, gaya hidup, dan budaya global kini mudah masuk ke dalam ruang pesantren. Di sinilah muncul tantangan baru, bagaimana santri bisa tetap terbuka pada kemajuan dunia tanpa kehilangan jati diri dan nilai keislamannya.
Santri harus mampu berdialog dengan zaman tanpa kehilangan ruh pesantren. Tawadhu’, akhlak, dan kesederhanaan tetap menjadi warna keseharian santri dalam dunia global. Mereka perlu memahami bahwa Islam tidak menolak modernitas, tetapi mengarahkannya agar sejalan dengan nilai tauhid.
Allah SWT berfirman, “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) umat yang wasath (tengah-tengah), agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia.” (QS. Al-Baqarah: 143)
Ayat ini menjadi fondasi penting bagi santri dalam menghadapi dunia global, agar dapat bersikap moderat, seimbang, dan adil. Santri yang cerdas bukan yang menolak globalisasi mentah-mentah, tetapi yang mampu mengambil manfaatnya tanpa larut dalam arusnya.
Banyak pesantren kini mulai mengembangkan kurikulum yang menumbuhkan toleransi, dialog antaragama, dan kepedulian sosial. Santri didorong untuk aktif dalam kegiatan kemanusiaan, lingkungan, dan pemberdayaan masyarakat. Dari sinilah lahir santri aktivis sosial, mereka yang menafsirkan ilmu bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi untuk kemaslahatan umat.
Santri, Perempuan dan Kepemimpinan Umat
Santri adalah calon pemimpin masa depan. Mereka belajar disiplin, tanggung jawab, dan keikhlasan sejak dini. Nilai-nilai itu tertanam bukan hanya di ruang kelas, tapi juga di asrama, dapur, dan masjid pesantren. Sehingga mereka membawa nilai-nilai itu dalam menjalani kehidupan sehari-hari.
Kemandirian santri dalam menjalani hidup di pesantren, jauh dari orang tua membentuk karakter tangguh dan empati sosial yang tinggi. Maka tak heran, banyak pemimpin nasional lahir dari rahim pesantren. Sebut saja KH. Hasyim Asy’ari, KH. Ahmad Dahlan, hingga tokoh-tokoh muda Islam masa kini.
Santri masa kini perlu melanjutkan estafet itu. Mereka bukan hanya ahli agama, tetapi juga cendekiawan yang mampu berbicara dalam bahasa dunia modern. Mereka menguasai ekonomi, teknologi, dan kebijakan publik, tanpa kehilangan akhlak Islami.
Fenomena lain yang patut diapresiasi adalah semakin banyaknya perempuan yang menempuh pendidikan di pesantren. Kini santriwati tak hanya mengaji, tetapi juga menjadi guru, mubalighah, dan pemimpin lembaga pendidikan. Atau melakoni pekerjaan dan karir lainnya di masa kini.
Islam memuliakan perempuan sebagai penuntut ilmu. Rasulullah ﷺ bersabd,“Barang siapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim). Tak ada batasan gender dalam hal ilmu. Maka, kehadiran santriwati yang aktif dan berdaya merupakan cerminan kemajuan dunia pesantren yang inklusif dan berkeadilan.
Pesantren dan Masa Depan Bangsa
Di tengah krisis moral dan degradasi nilai, pesantren tetap menjadi mercusuar peradaban. Santri adalah penopang moral bangsa. Mereka belajar tentang kejujuran, kesederhanaan, dan cinta tanah air dengan ilmu agama sebagai pegangan utama.
Namun agar pesantren tetap relevan, dukungan dari pemerintah dan masyarakat sangat penting. Pesantren perlu difasilitasi untuk terus berkembang,baik dalam infrastruktur, kurikulum, maupun teknologi. Dukungan ini bukan semata dalam bentuk bantuan, tapi investasi masa depan bagi bangsa. Karena sejatinya, jika negeri ini ingin memiliki generasi yang berilmu, berakhlak, dan berjiwa pemimpin, maka memperkuat santri adalah jawabannya.
Santri masa kini bukan hanya penjaga kitab, tapi juga penjaga peradaban. Mereka hidup di persimpangan antara tradisi dan modernitas, antara lokalitas dan globalisasi. Namun selama nilai-nilai Islam menjadi kompas mereka, santri akan selalu menjadi pelita di tengah gelapnya zaman.
Seperti pesan KH. Hasyim Asy’ari,“Santri itu harus cerdas, ikhlas, dan berani.” Maka tugas santri hari ini bukan sekadar belajar, tetapi meneruskan misi besar, membawa cahaya Islam yang rahmatan lil ‘alamin ke seluruh penjuru dunia.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
