Khazanah
Beranda » Berita » Takdir dan Qadar: Antara Usaha dan Doa Menurut Kitab Kifayatul Awam

Takdir dan Qadar: Antara Usaha dan Doa Menurut Kitab Kifayatul Awam

pemuda muslim di bawah cahaya langit senja simbol takdir dan doa
Seorang remaja muslim berdiri menatap langit senja, menerima cahaya lembut dari langit sebagai simbol kepasrahan dalam kehendak Ilahi.

Surau.co. Setiap manusia, tanpa terkecuali, pernah menatap langit sembari bertanya dalam hati: “Apakah hidupku sudah ditentukan sepenuhnya oleh Allah?” Pertanyaan itu lahir dari keinginan untuk memahami makna takdir dan qadar—dua konsep mendalam dalam akidah Islam yang mengaitkan antara kuasa Ilahi dan usaha manusia.

Dalam kitab Kifāyatul ‘Awām fī ‘Ilmi at-Tawhīd, Syaikh Muhammad al-Fudhali menjelaskan bahwa iman kepada takdir adalah bagian dari rukun iman yang keenam. Beliau menulis:

“وَيَجِبُ الْإِيمَانُ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ مِنَ اللَّهِ تَعَالَى”
“Wajib bagi setiap mukmin untuk beriman kepada takdir, baik dan buruknya datang dari Allah Ta‘ala.”

Namun, iman kepada takdir bukanlah ajakan untuk menyerah tanpa usaha. Justru, pemahaman tentang takdir mendorong manusia agar berusaha sebaik-baiknya, sambil menautkan harapan kepada doa dan rahmat Allah.

Takdir dan Qadar: Dua Sisi Satu Keimanan

Dalam kajian tauhid, takdir dan qadar memiliki makna yang saling melengkapi. Takdir berkaitan dengan ketetapan Allah yang telah tercatat dalam Lauh Mahfuzh, sementara qadar berkaitan dengan perwujudan ketetapan itu dalam realitas hidup manusia.

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Al-Qur’an mengingatkan:

إِنَّا كُلَّ شَيْءٍ خَلَقْنَاهُ بِقَدَرٍ
“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran (qadar).” (QS. Al-Qamar [54]: 49)

Ayat ini menegaskan bahwa segala sesuatu berjalan dalam ketentuan yang sempurna. Namun, manusia tetap diberi ruang kebebasan untuk berikhtiar. Di sinilah letak keseimbangan yang indah antara kehendak Allah dan pilihan manusia.

Antara Kuasa Ilahi dan Kebebasan Manusia

Kitab Kifayatul Awam mengajarkan bahwa meskipun segala sesuatu berada dalam kekuasaan Allah, manusia tidak kehilangan tanggung jawab moral atas perbuatannya. Syaikh al-Fudhali menegaskan bahwa perbuatan manusia terjadi karena dua hal yang beriringan: kehendak Allah dan usaha hamba-Nya.

Rasulullah ﷺ bersabda:

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

اعْمَلُوا فَكُلٌّ مُيَسَّرٌ لِمَا خُلِقَ لَهُ
“Beramallah, karena setiap orang akan dimudahkan menuju apa yang telah ditetapkan baginya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis ini mengandung hikmah mendalam: takdir bukanlah penghalang bagi usaha, tetapi pendorong agar manusia berbuat sebaik-baiknya di jalan yang diridhai Allah. Dengan beramal, kita sedang menempuh jalan yang telah Allah mudahkan sesuai hikmah-Nya.

Ikhtiar: Jalan Menuju Takdir yang Terbaik

Dalam kehidupan sehari-hari, manusia tidak bisa hanya menunggu takdir tanpa berusaha. Ketika seseorang lapar, ia makan. Ketika ingin pandai, ia belajar. Semua itu adalah bentuk ikhtiar—usaha aktif untuk mencapai kebaikan.

Imam al-Ghazali menyebut bahwa ikhtiar adalah bagian dari sunnatullah. Allah menciptakan sebab dan akibat agar manusia dapat berperan dalam perjalanan hidupnya. Maka, doa dan usaha bukanlah dua hal yang bertentangan dengan takdir, melainkan justru bagian dari takdir itu sendiri.

Al-Qur’an mengingatkan:

Krisis Keteladanan: Mengapa Kita Rindu Sosok dalam Riyadus Shalihin?

إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’d [13]: 11)

Ayat ini adalah seruan yang tegas agar kita tidak berpangku tangan. Allah memerintahkan untuk berusaha, namun tetap bersandar pada-Nya.

Doa: Jembatan antara Harapan dan Ketetapan

Doa adalah senjata seorang mukmin dan bentuk tertinggi dari pengakuan atas kuasa Allah. Ketika manusia berdoa, ia sejatinya sedang menyatakan bahwa dirinya lemah, dan hanya Allah-lah yang berkuasa mengatur segalanya.

Nabi Muhammad ﷺ bersabda:

لَا يَرُدُّ الْقَدَرَ إِلَّا الدُّعَاءُ
“Tidak ada yang dapat menolak takdir kecuali doa.” (HR. Tirmidzi)

Hadis ini tidak berarti doa mengubah keputusan Allah yang mutlak, melainkan menandakan bahwa doa itu sendiri adalah bagian dari takdir Allah. Dengan berdoa, kita sedang menjalani skenario Ilahi yang penuh rahmat.

Syaikh al-Fudhali dalam Kifayatul Awam mengingatkan bahwa doa adalah bentuk ta’alluq—keterikatan hamba dengan Allah dalam pengakuan atas kehendak-Nya. Maka, antara usaha dan doa, keduanya berkelindan dalam satu garis takdir.

Takdir dan Qadar dalam Perspektif Spiritual

Bagi seorang mukmin, iman kepada takdir tidak hanya berarti menerima keadaan hidup dengan pasrah, tetapi juga menumbuhkan kedamaian batin. Ia sadar bahwa segala yang terjadi memiliki hikmah, meski tak selalu mudah dipahami.

Syaikh Muhammad al-Fudhali menulis:

“فَكُلُّ مَا فِي الْكَوْنِ فَهُوَ بِمَشِيئَتِهِ وَقَدَرِهِ”
“Segala yang ada di alam semesta ini terjadi atas kehendak dan ketentuan-Nya.”

Kesadaran ini menumbuhkan keikhlasan yang mendalam. Manusia belajar untuk menerima yang pahit tanpa berputus asa, dan mensyukuri yang manis tanpa sombong.

Dengan demikian, iman kepada takdir mengajarkan keseimbangan spiritual: sabar dalam ujian, syukur dalam nikmat, dan tawakal dalam usaha.

Menghadirkan Takdir dalam Kehidupan Sosial

Pemahaman tentang takdir juga memiliki implikasi sosial. Ketika seseorang menyadari bahwa segala sesuatu berasal dari Allah, ia menjadi lebih rendah hati dalam berinteraksi. Ia tidak sombong saat berhasil, dan tidak iri pada keberhasilan orang lain.

Kesadaran ini melahirkan empati dan solidaritas sosial. Dalam masyarakat yang memahami makna takdir, setiap individu akan saling mendukung, karena mereka tahu bahwa rezeki dan nasib telah diatur oleh Allah dengan keadilan dan kebijaksanaan.

Maka, iman kepada takdir tidak boleh dijadikan alasan untuk malas berbuat baik. Justru, ia menjadi sumber semangat untuk terus menebar manfaat dan meniti jalan yang diridhai Allah.

Antara Pasrah dan Produktif

Menyerah dan pasrah sering kali disalahpahami. Pasrah kepada Allah bukan berarti berhenti berusaha, tetapi menenangkan hati setelah berusaha. Dalam Islam, seseorang diminta untuk terus berikhtiar seolah takdir belum ditulis, lalu berserah diri seolah semuanya telah ditetapkan.

Inilah keseimbangan yang indah dalam akidah Islam: bekerja keras tanpa lupa bahwa hasil sepenuhnya di tangan Allah. Seorang mukmin tidak putus asa saat gagal, karena ia tahu kegagalan pun bagian dari skenario Ilahi yang mengandung hikmah.

Penutup

Ketika kita memahami bahwa segala yang terjadi adalah bagian dari rencana Allah, hati menjadi tenang. Tidak ada lagi penyesalan berlebihan atas masa lalu, dan tidak ada pula ketakutan berlebihan tentang masa depan.

Takdir bukanlah belenggu, tetapi cermin kasih sayang Allah. Ia memberi ruang bagi manusia untuk berusaha, berdoa, dan menemukan kedamaian di bawah payung kehendak-Nya.

Maka, marilah kita hidup dalam kesadaran ini: berusaha dengan sepenuh hati, berdoa dengan kerendahan diri, dan berserah diri dengan keyakinan penuh bahwa apa pun yang Allah tetapkan adalah yang terbaik bagi kita.

وَعَسَىٰ أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ ۖ وَعَسَىٰ أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu baik bagimu; dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2]: 216)

Dan di sanalah, takdir bukan lagi sesuatu yang ditakuti, tetapi dipahami sebagai tanda kasih sayang Allah yang menuntun langkah-langkah kita di jalan kehidupan.

*Gerwin Satria N

Pegiat literasi Iqro’ University Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement