Sejarah
Beranda » Berita » Bendera sebagai Bahasa Politik: Dari Identitas Umat hingga Simbol Revolusi

Bendera sebagai Bahasa Politik: Dari Identitas Umat hingga Simbol Revolusi

Bendera sebagai Bahasa Politik: Dari Identitas Umat hingga Simbol Revolusi
Ilustrasi Bendera

SURAU.CO – Pada masa Rasulullah SAW, fungsi bendera masih bersifat praktis. Nabi menggunakan panji untuk mengatur formasi dan mengenali pasukan di medan perang. Dalam Perang Hunain, misalnya, beliau memberikan panji hitam kepada pamannya, Abbas bin Abdul Muthalib. Warna hitam pada masa itu belum mengandung makna ideologis, melainkan hanya berfungsi strategis.

Namun seiring berjalannya waktu, simbol itu memperoleh makna spiritual karena dikaitkan dengan kemuliaan Ahlul Bait dan keberkahan perjuangan Islam (Ibnu Katsir, Al-Bidayah wan Nihayah, 1939). Dari pencangkokan akar simbolisme bendera mulai tumbuh dalam politik Islam.

Dari Umayyah ke Abbasiyah: Warna sebagai Identitas Kekuasaan

Perubahan besar terjadi ketika kekuasaan berpindah dari Khulafaur Rasyidin ke Dinasti Umayyah. Bani Umayyah menggunakan bendera putih sebagai simbol kekuasaan mereka. Putih menjadi pembeda dari musuh politiknya, terutama kelompok pendukung Ahlul Bait yang mengibarkan panji hitam. Pertentangan warna ini kemudian berkembang menjadi konflik simbolik yang mencerminkan perbedaan ideologi dan perebutan legitimasi kekhalifahan.

Puncak simbolisasi warna dalam sejarah Islam klasik muncul pada masa Dinasti Abbasiyah. Mereka memilih warna hitam sebagai lambang kekuasaan dan perlawanan terhadap Umayyah. Warna ini memiliki ideologi pesan yang dalam: hitam melambangkan duka atas pembunuhan keluarga Nabi (Bani Hasyim) dan menjadi tanda protes terhadap kezaliman penguasa sebelumnya. Pengikut Abbasiyah dikenal sebagai al-Musawwidah (pemakai hitam), dan panji mereka berubah menjadi bendera revolusi yang menggugah semangat rakyat.

Abu Muslim al-Khurasani dan Legitimasi Panji Hitam

Pilihan warna hitam tidak sembarangan. Menurut Syamsuddin adz-Dzahabi dalam Siyaru A’lamin Nubala, Nabi Muhammad SAW pernah mengenakan sorban hitam saat penaklukan Makkah. Abu Muslim al-Khurasani, panglima besar revolusi Abbasiyah, menggunakan sejarah ini untuk melegitimasi simbol perjuangannya. Dalam khutbahnya, ia menyebut pakaian hitam sebagai Tsiyabul Haybah wa Tsiyabud Dawlah (pakaian kewibawaan dan kekuasaan).

Menggali Peran Pemuda dalam Riyadus Shalihin: Menjadi Agen Perubahan Sejati

Peristiwa tragis pembunuhan Ibrahim bin Muhammad al-Imam oleh khalifah Umayyah terakhir, Marwan II, juga memperkuat makna emosional bendera hitam. Para pengikut Ibrahim mengenakan pakaian hitam sebagai tanda duka dan kesetiaan, yang kemudian berubah menjadi simbol perlawanan.

Kisah tersebut diabadikan oleh Abu Hilal al-‘Askari dalam Al-Awa’il , yang mencatat syair bernada sindiran terhadap Bani Umayyah:

Mengapa dan atas alasan apa Bani Umayyah dibiarkan?
Padahal setiap seruan mereka hanya suara domba yang mengembik.
Apa pentingnya satu kuburan di Harran dari golongan mereka,
Jika seluruh mereka dibantai pun, tak akan ditetapkan dengan janji yang dikhianati.

Syair ini menampilkan bahwa bendera dan warna bisa menjadi alat propaganda yang sarat makna emosional dan politik.

Al-Ma’mun dan Diplomasi Warna

Meski begitu, warna panji dalam sejarah Islam tidak bersifat mutlak. Al-Ma’mun, khalifah Abbasiyah yang dikenal moderat, sempat mengganti warna hitam menjadi hijau. Langkah ini bertujuan mendekatkan diri dengan kelompok Alawiyin—pendukung Ali bin Abi Thalib—yang menjadi oposisi politik saat itu.

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Kebijakan tersebut mencerminkan simbolik politik: warna bisa menjadi alat diplomasi dan jembatan ideologis. Namun, kebijakan ini tidak berlangsung lama. Setelah Ma’mun wafat, Abbasiyah kembali menggunakan warna hitam, sementara kaum Alawiyin menetapkan hijau sebagai warna khas perjuangan mereka (Ibnu Khaldun, Muqaddimah, 2020).

Tidak semua dinasti mengikuti simbol hitam Abbasiyah. Dinasti Fatimiyah, yang beraliran Syiah Ismailiyah dan berkuasa di Mesir serta Afrika Utara, justru mengibarkan panji putih. Warna ini maknai mereka sebagai lambang kesucian dan kemurnian ajaran, sekaligus sebagai penentang terhadap “hitamnya” Abbasiyah yang mereka anggap sebagai simbol penyelewengan.

Dalam konteks ini, bendera menjadi alat ekspresi teologis dan politik yang tegas: putih melawan hitam, kesucian menantang kekuasaan.

Penyair awal era Abbasiyah, Sudaif bin Maimun, bahkan menulis syair satir untuk menyindir kelompok Syiah yang memakai pakaian putih. Abu Manshur an-Naisaburi dalam Yatimatud Dahr fi Syu’ara’i Ahlil ‘Ashr mencatat bait berikut:

Sesungguhnya hari raya penduduk Qumm,
juga mereka dari Qashan dan al-Karaj,
pakaian putih mereka berpadu serasi,
di dekat lokasi penenunan suci.”

Birrul Walidain: Membangun Peradaban dari Meja Makan untuk Generasi Mulia

Syair ini menggambarkan bahwa penggunaan warna bukan hanya ekspresi spiritual, tetapi juga identitas sosial dan politik. Penyebutan daerah seperti Qumm dan Qashan menegaskan bahwa gerakan simbolik itu telah menjadi fenomena massa yang terorganisir.

Zirid dan Deklarasi Politik melalui Warna

Ketegangan simbolik warna juga terjadi di Afrika Utara. Ketika Dinasti Zirid, yang semula berada di bawah kekuasaan Fatimiyah, memutus hubungan politik dengan mereka dan beralih mendukung Abbasiyah pada tahun 1048 M, perubahan warna menjadi alat deklarasi politik. Mereka membakar panji putih Fatimiyah dan menggantinya dengan hitam sebagai bentuk kesetiaan baru.

Aksi ini menandai perubahan mazhab dari Syiah ke Sunni (Najwan Abu Bakar, Tarikh Ifriqiyah, 2013). Tindakan simbolik ini menunjukkan betapa kuatnya makna politik yang melekat pada warna dan bendera dalam sejarah Islam.

Panji di Medan Perang

Selain makna ideologis, bendera juga memiliki fungsi strategis di medan perang. Ibnu Khaldun mencatat bahwa panji yang banyak dan mencolok mampu menumbuhkan rasa persatuan dan keberanian di kalangan pasukan, sekaligus menakut-nakuti musuh. Panji menjadi pusat gravitasi pasukan—tempat mereka berkumpul, bertahan, dan menjaga kehormatan.

Hilangnya panji dalam pertempuran sering dimaknai sebagai kehilangan arah dan martabat. Oleh karena itu, pembawa panji biasanya adalah prajurit paling gagah dan siap mati demi memastikan simbol itu tetap berkibar.

Pada akhirnya, perjalanan sejarah bendera dalam politik Islam klasik menunjukkan bahwa lembaran kain bisa mengandung kekuatan ideologis, spiritual, dan emosional yang besar. Warna-warnanya merekam pergulatan antara iman dan kekuasaan, serta menjadi cermin konflik dan persatuan umat Islam.

Dari medan perang hingga istana, dari khutbah hingga syair, bendera terus berkibar—menjadi saksi dari perjuangan manusia menegakkan kebenaran, kekuasaan, dan keyakinan yang mereka junjung tinggi.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement