SURAU.CO-Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Ghazali, bergelar Hujjatul Islam (pembela kebenaran Islam) dan Zainuddin (hiasan agama), terkenal luas dengan panggilan Abu Hamid al-Ghazali. Ia adalah seorang faqih Mazhab Syafi‘i, ahli ushul fiqh, sufi, penyair, dan sastrawan. Al-Ghazali juga dikenal sebagai penuntun umat menuju jalan kebenaran serta cendekiawan ensiklopedis dalam ilmu-ilmu manqul (tradisional) dan ma‘qul (rasional).
Masa kecil Imam al-Ghazali
Imam al-Ghazali lahir di Thus, wilayah Khurasan (Iran sekarang), pada tahun 405 H. Ayahnya seorang laki-laki miskin yang saleh dan bekerja sebagai penenun kain wol (al-ghazzal). Dari pekerjaan itu, ia mencukupi kebutuhan hidupnya dengan penuh kesederhanaan.
Ayah al-Ghazali terkenal gemar menghadiri majelis ilmu. Setiap kali mendengar pengajian para ulama, ia selalu menangis dan berdoa agar mendapat anak yang menjadi ahli fiqh. Pada kesempatan lain, saat mendengarkan ceramah, ia berdoa agar Allah karuniai anak yang pandai berdakwah.
Doa itu lalu Allah Swt. kabulkan. Ia memiliki dua anak laki-laki: Ahmad dan Muhammad. Ahmad kelak menjadi mubaligh terkenal, sementara Muhammad — yang kemudian dikenal sebagai Imam al-Ghazali — menjadi ulama fiqh dan teolog besar.
Guru dan pendidikan sang Imam
Sejak kecil, Imam al-Ghazali belajar fiqh kepada Ahmad bin Muhammad ar-Radzkani di desanya, Thus. Setelah itu, ia melanjutkan studi ke Jurjan untuk menimba ilmu dari Imam Abu Nashr al-Ismaili. Di sana, ia mencatat pelajaran dengan tekun, lalu kembali ke Thus dan mempelajari catatan tersebut selama tiga tahun hingga benar-benar menguasainya.
Kemudian, ia berangkat ke Nisapur untuk berguru kepada Imam al-Haramain Abu al-Ma‘ali al-Juwaini, seorang ulama besar dan guru para cendekiawan.
Di bawah bimbingan gurunya itu, al-Ghazali mempelajari berbagai disiplin ilmu — mulai dari fiqh, ilmu khilaf, jadal (debat), ushuluddin, ushul fiqh, manthiq (logika), hikmah (filsafat), hingga tasawuf. Kecerdasannya membuat ia cepat menguasai semua cabang ilmu tersebut.
Al-Ghazali bahkan menulis beberapa karya di bawah arahan gurunya, termasuk kritik tajam terhadap pandangan-pandangan yang dianggap menyimpang. Ia mengajukan argumen-argumen rasional yang kuat untuk menjawab persoalan teologis dan filosofis yang berkembang saat itu.
Karakter dan kepribadian sang Imam
Imam al-Ghazali dikenal sangat cerdas, objektif, jujur, dan tajam dalam berpikir. Hafalannya kuat, daya analisisnya mendalam, dan ia selalu mengkaji masalah hingga ke akar-akarnya. Ia juga dikenal sebagai ahli debat ulung yang menguasai ilmu lahir maupun batin.
Gurunya, Imam al-Haramain, pernah berkata,
“Al-Ghazali bagaikan lautan yang dalam, Ilkiya al-Harasi seperti singa yang menggentarkan, dan al-Khawafi laksana api yang membakar.”
Pengembaraan ilmiah
Setelah Imam al-Haramain wafat, al-Ghazali pergi ke Nisapur untuk menemui Perdana Menteri Nizham al-Muluk. Di sana, ia bergabung dalam majelis ilmiah bersama para ulama dan cendekiawan besar. Kecemerlangan pemikirannya membuat Nizham al-Muluk sangat terkesan.
Pada tahun 484 H, Nizham al-Muluk mengangkat Imam al-Ghazali sebagai pengajar di Universitas Nizhamiyah Baghdad, lembaga pendidikan ternama pada masa itu. Di Baghdad, al-Ghazali terkenal karena kata-katanya yang memikat, akhlaknya yang luhur, dan keluasan ilmunya. Ia menjadi sosok yang dicintai masyarakat dan disegani para ilmuwan. Namanya masyhur di seluruh dunia Islam, dan banyak orang datang dari berbagai daerah untuk menuntut ilmu kepadanya.
Namun, di puncak kejayaannya, al-Ghazali justru memilih jalan zuhud. Ia mulai merasakan kegelisahan spiritual yang dalam. Akhirnya, pada tahun 488 H, ia meninggalkan Baghdad untuk menunaikan ibadah haji ke Makkah, lalu melanjutkan perjalanan ke Syam (Suriah).
Perjalanan spiritual sang Imam
Di Masjid Jami‘ Damaskus, al-Ghazali mengasingkan diri untuk beribadah dan memperdalam ilmu pengetahuan. Setelah itu, ia pindah ke Baitul Maqdis, tempat ia memperbanyak ibadah dan tafakur.
Kemudian, ia berangkat ke Mesir dan menetap di Iskandariah selama beberapa waktu. Ia sempat berencana menuju Maroko untuk bertemu dengan Amir Yusuf Tasyfin, tetapi membatalkan niatnya setelah mendengar berita kematian sang amir.
Akhirnya, al-Ghazali kembali ke Thus, tanah kelahirannya. Di sana, ia menghabiskan sisa hidupnya dengan mengajar, menulis, beribadah, dan membimbing masyarakat.
Karya intelektual Imam al-Ghazali
Imam al-Ghazali termasuk penulis yang sangat produktif. Jumlah karyanya mencapai sekitar 200 buku, meliputi bidang fiqh, ushul fiqh, teologi, tasawuf, etika, dan filsafat.
Beberapa karya pentingnya antara lain: Ihya’ ‘Ulumiddin, Bidayah al-Hidayah, Tahafut al-Falasifah, Al-Iqtisad fi al-I‘tiqad, Al-Mustashfa min ‘Ilm al-Ushul, Al-Qisthas al-Mustaqim, Faishal at-Tafriqah bain al-Islam wa az-Zandaqah, Ar-Risalah al-Ladunniyah, Jawahir al-Qur’an wa Duraruh, At-Tibr al-Masbuq fi Nashihat al-Muluk.
Karya Ihya’ ‘Ulumiddin menjadi mahakarya yang paling berpengaruh karena berhasil memadukan dimensi syariat, akhlak, dan tasawuf secara harmonis.
Akhir hayat Imam al-Ghazali
Imam al-Ghazali wafat di Thus pada tahun 505 H, dan mereka memakamkan Imam al-Ghazali di daerah Thabaran. Namanya “al-Ghazali” diyakini berasal dari kata ghazl ash-shuf (pemintal benang wol), sesuai pekerjaan ayahnya, atau dari nama desa al-Ghazalah di Thus.
Kehidupan dan karya-karyanya telah menjadikan Imam al-Ghazali sebagai ulama besar yang menyatukan akal dan hati, serta menjadi jembatan antara filsafat dan spiritualitas Islam.(St.Diyar)
Referensi : Abdullah Musthafa Al-Maraghi, Ensiklopedia Lengkap Ulama Ushul Fiqh Sepanjang Masa, 2020.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
