Surau.co. Dalam hiruk pikuk dunia digital, banyak remaja Muslim sibuk mengenal dunia—tetapi lupa mengenal siapa Pencipta dunia itu sendiri. Kita hafal nama-nama artis, hafal lagu-lagu viral, tapi sering kali bingung ketika ditanya: “Apa sifat Allah yang wajib kita ketahui?”
Padahal, mengenal Allah bukan sekadar hafalan pelajaran madrasah, melainkan fondasi keyakinan dan arah hidup seorang Muslim.
Kitab Aqīdatul Awwām karya Syaikh Ahmad al-Marzūqī al-Mālikī menjadi salah satu karya klasik yang menyusun ajaran tauhid dengan cara yang lembut dan mudah dipahami. Di dalamnya, terdapat 20 sifat wajib bagi Allah, yaitu sifat-sifat yang menunjukkan kesempurnaan-Nya. Menghafal boleh, tapi memahami dan mengamalkannya jauh lebih bermakna.
قَالَ الْعَبْدُ الْفَقِيرُ أَحْمَدُ مَنْ رَجَا
رَبًّا غَفُورًا وَهْوَ ذُو الْعَطَايَا“Berkata hamba yang fakir, Ahmad yang berharap
kepada Tuhan Yang Maha Pengampun dan Maha Pemberi karunia.”
Syaikh al-Marzūqī membuka kitabnya dengan kerendahan hati — seolah ingin mengingatkan: mempelajari sifat-sifat Allah bukan tentang menjadi pintar, tapi tentang belajar rendah hati di hadapan Sang Pencipta.
Sifat Wujud (Ada): Allah yang Tak Pernah Tiada
Allah itu Wujud — ada dengan sendirinya. Tidak diciptakan, tidak berawal, dan tidak berakhir.
Kita melihat langit, bumi, dan diri sendiri — semua ini menjadi bukti keberadaan Allah. Dalam Al-Qur’an disebutkan:
أَفِي اللَّهِ شَكٌّ فَاطِرِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ
“Adakah keraguan terhadap Allah, Pencipta langit dan bumi?” — (QS. Ibrahim [14]: 10)
Aplikasi dalam hidup: menyadari bahwa segala sesuatu berasal dari Allah menumbuhkan rasa syukur dan kesadaran spiritual. Kita tidak merasa kosong karena tahu, ada Zat yang selalu ada — bahkan ketika dunia terasa sepi.
2–5. Qidam, Baqā’, Mukhalafatuhu lil Hawādits, dan Qiyāmuhu binafsih
Empat sifat ini menjelaskan bahwa Allah tidak berpermulaan (Qidam), tidak berakhir (Baqā’), berbeda dari makhluk (Mukhalafatuhu lil Hawādits), dan tidak bergantung pada apa pun (Qiyāmuhu binafsih).
Remaja modern sering dikelilingi konsep “bergantung pada sesuatu”—entah gadget, eksistensi sosial, atau validasi orang lain. Sifat-sifat ini mengajarkan bahwa Allah-lah satu-satunya yang sempurna dan mandiri. Ketika kita meneladani nilai ini, kita belajar menjadi pribadi yang kuat dan tidak mudah goyah oleh pandangan orang lain.
6–7. Wahdāniyyah dan Qudrah: Allah Esa dan Mahakuasa
Wahdāniyyah berarti Allah itu satu, tidak ada sekutu bagi-Nya. Sedangkan Qudrah berarti Allah memiliki kekuasaan mutlak atas segala sesuatu.
Dalam QS. Al-Ikhlāṣ [112]:1-4 Allah menegaskan:
قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ ۞ اللَّهُ الصَّمَدُ ۞ لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ ۞ وَلَمْ يَكُن لَّهُ كُفُوًا أَحَدٌ
“Katakanlah: Dialah Allah Yang Maha Esa, Allah tempat bergantung segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tiada diperanakkan, dan tidak ada sesuatu yang setara dengan-Nya.”
Meneladani sifat ini membuat kita tidak bergantung pada kekuatan palsu — entah harta, pengaruh, atau kecantikan. Kita belajar percaya bahwa semua kuasa hanyalah milik Allah.
8–9. Iradah dan Ilmu: Allah Berkehendak dan Mengetahui Segalanya
Sifat Iradah bermakna Allah berkehendak atas segala sesuatu; sementara Ilmu berarti Allah mengetahui semua, baik yang tampak maupun tersembunyi.
Kadang kita bertanya, “Mengapa hidupku begini?” Padahal, di balik setiap kejadian, ada kehendak dan pengetahuan Allah yang jauh melampaui pemahaman kita.
وَعَسَىٰ أَن تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu baik bagimu.” — (QS. Al-Baqarah [2]: 216)
Mengimani sifat ini membantu kita menghadapi hidup dengan lapang dada — percaya bahwa apa pun yang terjadi adalah bagian dari rencana terbaik Allah.
10–13. Hayat, Sama’, Bashar, dan Kalam: Allah Hidup, Mendengar, Melihat, dan Berfirman
Empat sifat ini mengajarkan bahwa Allah Hidup (Hayat), Mendengar (Sama’), Melihat (Bashar), dan Berfirman (Kalam).
Namun, semua itu tidak sama dengan cara makhluk. Allah mendengar doa tanpa alat pendengaran, melihat tanpa mata, berbicara tanpa suara seperti manusia.
Ketika remaja memahami bahwa Allah selalu mendengar dan melihat, kesadaran moral tumbuh. Kita menjadi lebih berhati-hati dalam bertindak, bukan karena takut dinilai manusia, tapi karena tahu Allah selalu mengawasi dengan kasih-Nya.
14–20. Sifat Ma’nawiyyah: Sifat yang Menegaskan Kesempurnaan-Nya
Sifat ma’nawiyyah adalah turunan dari sifat sebelumnya, seperti Kaunuhu Qadiran (Allah dalam keadaan berkuasa), Kaunuhu Muridan (berkehendak), Kaunuhu ‘Aliman (mengetahui), dan seterusnya hingga tujuh sifat.
Semua ini menggambarkan kesempurnaan Allah dalam segala hal. Tak ada kekurangan, tak ada cacat.
Syaikh al-Marzūqī menulis dalam nazhamnya:
وَبِالْمَعَانِي وَصْفُ رَبِّنَا الْعَظِيمْ
فَاحْفَظْهُنَّ يَا ذَا الْفَهْمِ الْمُقِيمْ“Dengan sifat-sifat maknawi itulah Tuhan Yang Agung disifati. Maka hafalkanlah, wahai engkau yang berakal tetap.”
Maknanya, mengenal sifat Allah bukan hanya untuk dihafal, tetapi untuk meneguhkan iman dan menghadirkan Allah dalam setiap langkah kehidupan.
Makna 20 Sifat Wajib dalam Kehidupan Kita
Sifat-sifat wajib ini mengajarkan nilai ketuhanan sekaligus nilai kemanusiaan. Misalnya, sifat Ilmu mengajarkan kita untuk cinta pada pengetahuan; Qudrah menumbuhkan rasa tanggung jawab; Iradah melatih kita memilih kebaikan dengan sadar.
Ketika kita meneladani sifat-sifat Allah, kita tidak menjadi Tuhan, tetapi menjadi manusia yang lebih baik — berkarakter, beretika, dan penuh kasih.
Dalam dunia yang serba instan, 20 sifat ini seperti “peta iman” yang menjaga kita agar tidak kehilangan arah. Ia membuat remaja Muslim memahami bahwa iman bukan hanya di lisan, tapi di setiap keputusan hidup.
Menghidupkan Tauhid dalam Era Digital
Belajar Aqīdatul Awwām di era modern berarti belajar membawa Allah ke dalam kesadaran digital kita.
Ketika kita menggulir media sosial, kita mengingat bahwa Allah Maha Melihat. Ketika kita merasa sendirian, kita ingat Allah Maha Ada. Dan ketika kita bingung akan masa depan, kita tahu Allah Maha Mengetahui dan Maha Berkehendak.
Tauhid bukan hanya pelajaran sekolah — ia adalah cara pandang hidup. Dengan iman yang benar, remaja tidak mudah putus asa, tidak mudah hanyut dalam tren, dan tidak kehilangan arah meski dunia berubah cepat.
Penutup
Kitab Aqīdatul Awwām bukan sekadar teks klasik yang dihafal di pesantren, tetapi cermin bagi jiwa modern untuk melihat siapa dirinya di hadapan Allah.
Dua puluh sifat wajib Allah adalah pelita bagi hati yang mencari arah, penenang bagi jiwa yang gelisah, dan panduan bagi akal yang haus makna.
Karena mengenal Allah bukan soal seberapa banyak kita tahu, tetapi seberapa dalam kita merasa hadir di hadapan-Nya.
“Allah adalah cahaya langit dan bumi.” — (QS. An-Nūr [24]: 35)
Maka, ketika hidup terasa gelap, kembalilah mengenal Dia yang memiliki semua cahaya.
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
