Sosok
Beranda » Berita » Habib Ali Kwitang : Sang Pelopor Majelis Taklim

Habib Ali Kwitang : Sang Pelopor Majelis Taklim

SURAU.CO – Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi, atau yang lebih akrab kita kenal sebagai Habib Ali Kwitang, merupakan salah satu ulama terkemuka yang meninggalkan jejak mendalam bagi umat Islam di Indonesia, khususnya di ibukota Jakarta. Nama Kwitang sendiri melekat pada beliau karena tempat kelahirannya. Kwitang juga menjadi nama majelis yang ia dirikan, yakni Majelis Taklim Kwitang, Jakarta. Majelis ini tidak hanya menjadi pusat pembelajaran agama, namun juga menjadi cikal bakal tumbuhnya berbagai majelis keislaman lain di Jakarta. Hal ini  menandai era baru dalam penyebaran dakwah di Nusantara.

Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi lahir pada tanggal 20 April 1870 dan wafat pada tanggal 13 Oktober 1968 di Jakarta. Kini, makam beliau menjadi tempat ziarah yang ramai dikunjungi, terletak di Jalan Kramat, Jakarta Pusat.

Sejak usia muda, semangat Habib Ali dalam menuntut ilmu agama sudah terlihat jelas. Beliau memulai perjalanan ilmiahnya di Hadramaut pada usia 11 tahun, sebuah tradisi dari  banyak ulama besar di masanya. Kemudian, beliau melanjutkan pendidikannya di pusat-pusat keilmuan Islam dunia, yaitu Makkah dan Madinah. Selama perjalanan tersebut, Habib Ali berguru kepada banyak ulama besar, memperkaya khazanah ilmunya. Beberapa guru terkemuka beliau meliputi Habib Hasan bin Ahmad Alaydrus, Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi, Habib Husein bin Muhammad al-Habsyi. Beliau juga berguru kepada Habib Ahmad bin Hasan al-Athas, Syekh Muhammad Said Babsail, Syekh Umar Hamdan, serta Sayyid Abu Bakar al-Bakri Syatha ad-Dimyathi, Habib Zain bin Alwi Ba’abud, dan Syekh Hasan bin ‘Awadh. Pengajaran dari para guru ini membentuk pondasi keilmuan dan spiritual Habib Ali.

Perjalanan Ilmu dan Dedikasi di Tanah Air

Setelah delapan tahun lamanya menimba ilmu di Hadramaut dan Makkah, Habib Ali pun kembali ke tanah air dengan bekal ilmu yang sangat mumpuni. Namun, kepulangannya bukan berarti akhir dari proses belajarnya. Justru, beliau menunjukkan kerendahan hati seorang ulama sejati dengan terus menuntut ilmu setibanya di Indonesia. Beliau kembali belajar kepada ulama-ulama besar di tanah air, seperti Habib Husein bin Muchsin al-Athas, Habib Utsman bin Yahya. Beliau juga berguru kepada beberapa ulama terkemuka lainnya di berbagai daerah di luar Jakarta. Dedikasinya terhadap ilmu pengetahuan tidak pernah padam, menjadikannya teladan bagi para penuntut ilmu.

Pada era 1940-an, Habib Ali bin Abdurrahman mulai mewujudkan visinya untuk membangun pusat dakwah. Beliau mendirikan Masjid ar-Riyadh yang megah di Kwitang, sebuah bangunan yang hingga kini menjadi ikon sejarah Islam di Jakarta. Selain masjid, beliau juga membangun Madrasah Unwanul Falah yang letaknya persis di samping Masjid ar-Riyadh. Dari sinilah, banyak calon ulama dan cendekiawan Islam lahir dan mengasah ilmunya di bawah bimbingan langsung Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi. Beberapa murid beliau yang kemudian menjadi ulama besar dan berpengaruh antara lain KH. Thahir Rohili, KH. Abdullah Syafi’i, dan KH. Fathullah Harun. Mereka melanjutkan estafet dakwah yang telah diletakkan oleh gurunya.

Menggali Peran Pemuda dalam Riyadus Shalihin: Menjadi Agen Perubahan Sejati

Peran Penting dalam Sejarah Kemerdekaan Indonesia

Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi tidak hanya dikenal sebagai ulama, tetapi juga memiliki peran yang sangat signifikan dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Tercatat dalam sejarah, Ir. Soekarno pernah mencari perlindungan di Masjid ar-Riyadh saat masa penjajahan Belanda. Para penjajah Belanda tidak berani dan segan untuk memasuki kawasan Masjid ar-Riyadh, sebuah bukti betapa besar dan disegani sosok Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi oleh berbagai pihak, termasuk musuh sekalipun. Kedekatan beliau dengan para pemimpin bangsa sangat erat. Menjelang kemerdekaan Indonesia, Ir. Soekarno secara khusus meminta Habib Ali untuk menentukan hari yang tepat dalam pembacaan teks Proklamasi Kemerdekaan. Hal ini menegaskan posisi beliau sebagai penasihat spiritual utama bagi Bapak Proklamator Indonesia.

Lebih dari itu, Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi mendedikasikan hidupnya untuk menyiarkan ajaran agama Islam. Beliau menyiarkan Islam  tidak hanya di berbagai daerah di Indonesia, tetapi juga hingga ke beberapa negara tetangga. Bahkan lebih jauh lagi dakwahnya menjangkau Singapura, Malaysia, Pakistan, India, dan Mesir. Hal itu  membuktikan pengaruh dan jangkauan ilmunya yang luas. Hingga kini, Majelis Taklim Kwitang yang ia dirikan masih berdiri kokoh dan terus berkembang, bahkan telah bertahan selama satu abad lamanya. Banyak yang menganggap Habib Ali sebagai pelopor berdirinya majelis taklim di Indonesia, yang kini telah menjadi pilar penting dalam pendidikan dan penyebaran agama Islam di seluruh pelosok negeri.

Dakwah yang dibawa oleh Habib Ali Kwitang selalu menekankan pada pilar-pilar utama ajaran Islam. Dakwah beliau tentang  ketauhidan, akhlak mulia, tasawuf, dan kebersihan jiwa. Beliau mengajarkan pentingnya memurnikan iman kepada Allah SWT, menghiasi diri dengan perilaku terpuji, mendalami dimensi spiritual melalui tasawuf, dan senantiasa menjaga kesucian hati dari berbagai penyakit batin. Melalui ajaran-ajaran inilah, beliau membentuk karakter umat dan melahirkan generasi-generasi yang berakhlak mulia.

Karya-karya Abadi Sang Ulama

Sebagai seorang ulama yang produktif, Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi juga telah menulis beberapa kitab yang menjadi warisan berharga bagi umat Islam. Karya-karya tulis beliau menunjukkan kedalaman ilmu dan kepakarannya dalam berbagai bidang keislaman. Di antara kitab-kitab penting yang beliau susun adalah:

  1. Al-Azhar al-Wardiyyah fi ash-Shurah an-Nabawiyah, sebuah karya yang kemungkinan membahas mengenai kepribadian dan biografi Nabi Muhammad SAW.
  2.   Ad-Durar fi ash-Shalawat ala Khair al-Bariyyah, sebuah kitab yang berisi kumpulan shalawat kepada Nabi       Muhammad SAW, menunjukkan kecintaan beliau kepada Rasulullah dan dorongan kepada umat untuk memperbanyak shalawat.
  3. Qurratul ‘Ain, yang dapat diartikan sebagai “penyejuk mata”, sebuah judul yang sering digunakan untuk kitab-kitab yang berisi panduan atau amalan yang menenangkan hati.

Karya-karya ini tidak hanya menjadi bukti keilmuan beliau, tetapi juga terus memberikan manfaat dan inspirasi bagi umat Islam hingga saat ini. Habib Ali Kwitang adalah sosok ulama yang patut kita teladani, baik dari segi keilmuan, dedikasi dakwah, maupun perannya dalam membangun bangsa. Warisan dan ajarannya akan terus hidup dan membimbing umat menuju kebaikan.

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Referensi :

Buku Warisan Ulama Nusantara : Biografi dan Karya Intelektual Mereka , Karya Ainun Latifah, Penerbit Laksana Yogyakarta  Tahun 2022


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement