Khazanah
Beranda » Berita » Dunia Itu Tempat Lewat, Bukan Tempat Tinggal

Dunia Itu Tempat Lewat, Bukan Tempat Tinggal

Dunia Itu Tempat Lewat, Bukan Tempat Tinggal
Dunia Itu Tempat Lewat, Bukan Tempat Tinggal

 

SURAU.CO – Refleksi Kehidupan dari Surat Al-‘Ankabut Ayat 64.

“Dan kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan senda gurau, sedangkan negeri akhirat itulah kehidupan yang sebenarnya, sekiranya mereka mengetahui.”
(QS. Al-‘Ankabut: 64)

Ada kalimat yang sering diucapkan oleh orang-orang saleh ketika mereka menatap dunia: “Kita ini sedang dalam perjalanan pulang.” Dunia bukan tujuan akhir, tetapi hanya sebuah persinggahan. Tempat di mana kita beristirahat sejenak sebelum melanjutkan perjalanan jauh menuju kampung halaman yang abadi—akhirat.

Gambar seorang manusia yang seolah perlahan menghilang seperti debu yang diterpa angin di atas, menjadi simbol betapa fana dan rapuhnya kehidupan dunia. Kita datang ke dunia tanpa membawa apa pun, dan akan kembali tanpa membawa apa pun, kecuali amal saleh.

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Dunia: Antara Kenikmatan dan Tipu Daya

Allah mengingatkan kita dalam banyak ayat bahwa dunia ini adalah tempat ujian. Dalam QS. Al-Kahfi: 7 disebutkan:

> “Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya, untuk Kami menguji mereka siapakah di antara mereka yang terbaik amalnya.”

Ayat ini menunjukkan bahwa segala kenikmatan yang kita rasakan — harta, jabatan, kecantikan, popularitas, dan segala yang memikat hati — hanyalah alat ujian. Dunia menawarkan banyak pesona, tetapi di balik pesona itu ada jebakan bagi yang lalai. Sebab dunia bukan tempat menetap, melainkan tempat di mana kita diuji untuk membuktikan siapa yang benar-benar taat kepada Allah dan siapa yang tertipu oleh kesenangan sementara.

Rasulullah ﷺ bersabda:

> “Dunia adalah penjara bagi orang beriman dan surga bagi orang kafir.”
(HR. Muslim)

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Maknanya dalam. Dunia ini terasa sempit bagi orang beriman karena ia menahan diri dari hawa nafsu, dari kemaksiatan, dari hal-hal yang bisa menjauhkan dirinya dari Allah. Tapi bagi orang kafir, dunia ini bagaikan surga, karena di sinilah mereka menumpahkan seluruh kesenangan yang mereka miliki, sebab mereka tidak percaya adanya kehidupan setelah mati.

Hidup yang Sementara

Coba kita renungkan: umur manusia rata-rata hanya sekitar 60 hingga 70 tahun. Seandainya kita hidup 70 tahun, berapa tahun yang benar-benar kita gunakan untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah?

Bayi hingga usia 10 tahun—masa bermain.
Remaja 11 hingga 20—masa mencari jati diri.
Dewasa 21 hingga 40—masa mengejar dunia.
Setelah 40 hingga 60—masa sibuk menata hidup, keluarga, pekerjaan.
Lalu 60 ke atas—masa menunggu panggilan pulang.

Betapa sedikit waktu yang benar-benar kita gunakan untuk mempersiapkan akhirat! Padahal di akhirat, waktu itu tidak terbatas. Satu hari di sana setara dengan seribu tahun di dunia (QS. As-Sajdah: 5). Maka jika dunia ini sementara, mengapa kita terlalu betah di dalamnya?

Dunia Hanya Bayangan

Bayangkan seseorang yang sedang berjalan di padang pasir. Di kejauhan ia melihat fatamorgana—seperti air yang mengalir. Ia berlari ke sana dengan penuh harapan, tapi ketika sampai, yang ada hanyalah pasir yang kering dan panas. Begitulah dunia. Dari jauh tampak menggoda, tapi ketika dikejar, ia lenyap.

Mengubah Insecure Menjadi Bersyukur: Panduan Terapi Jiwa Ala Imam Nawawi

Rasulullah ﷺ bersabda:

> “Seandainya dunia itu sebanding dengan sayap seekor nyamuk di sisi Allah, niscaya Allah tidak akan memberi seteguk air pun kepada orang kafir.”
(HR. Tirmidzi)

Perumpamaan ini menunjukkan betapa rendah nilainya dunia di sisi Allah. Sayap nyamuk—sesuatu yang sangat kecil dan tidak berarti—masih lebih berharga daripada dunia seluruhnya. Namun manusia sering menukar akhiratnya hanya demi sedikit kesenangan duniawi.

Mengelola Dunia, Menyongsong Akhirat

Islam tidak mengajarkan untuk meninggalkan dunia sepenuhnya. Dunia tetap penting, karena di sinilah ladang amal. Tetapi kita harus menempatkannya pada posisi yang benar. Dunia di tangan, bukan di hati.

Rasulullah ﷺ bersabda:

> “Sebaik-baik harta adalah harta yang berada di tangan orang saleh.”
(HR. Ahmad)

Artinya, dunia tidak salah. Yang salah adalah ketika hati kita terikat padanya, hingga melupakan tujuan akhir. Gunakan dunia untuk menanam amal: bekerja dengan niat ibadah, membangun dengan niat sedekah, menolong dengan niat mencari ridha Allah. Maka dunia akan menjadi sarana menuju surga, bukan penghalang.

Ingatlah Akhirat: Negeri yang Sebenarnya

Allah berfirman dalam QS. Al-‘Ankabut: 64 dengan kalimat tegas:

> “…Sedangkan negeri akhirat itulah kehidupan yang sebenarnya, sekiranya mereka mengetahui.”

Maknanya, kehidupan sejati baru akan dimulai setelah kematian. Di dunia ini kita hanya “hidup sementara”. Tubuh kita ibarat pakaian yang suatu saat akan ditanggalkan. Jiwa kita akan menempuh perjalanan panjang—melewati alam kubur, kebangkitan, hisab, dan surga atau neraka.

Betapa beruntung orang-orang yang sadar sejak dini bahwa dunia ini hanya jalan menuju akhirat. Mereka tidak terlena oleh gemerlapnya dunia, karena hatinya selalu rindu pulang kepada Allah.

Kematian: Gerbang Kembali ke Rumah

Kematian bukan akhir dari segalanya, tapi awal dari kehidupan yang sebenarnya. Seperti seseorang yang selama ini bekerja keras di perantauan, lalu akhirnya pulang ke rumahnya sendiri. Maka orang beriman akan menyambut kematian dengan tenang, bukan dengan ketakutan.

Rasulullah ﷺ bersabda:

> “Barang siapa yang mencintai perjumpaan dengan Allah, maka Allah pun mencintai perjumpaan dengannya.”
(HR. Bukhari & Muslim)

Sementara itu, bagi yang terikat kuat dengan dunia, kematian terasa seperti dicabut paksa dari rumahnya sendiri. Padahal dunia hanyalah halte, bukan rumah abadi.

Mengukur Nilai Hidup

Ukuran keberhasilan dalam hidup bukanlah seberapa banyak kita memiliki, tetapi seberapa banyak yang kita manfaatkan untuk kebaikan. Dunia bisa menjadi jalan menuju surga, bila kita gunakan sesuai petunjuk Allah.

Imam Hasan al-Bashri berkata:

“Dunia itu hanya tiga hari: Hari kemarin yang telah berlalu dan tak akan kembali, hari esok yang belum tentu kamu temui, dan hari ini yang menjadi milikmu—maka gunakanlah ia untuk beramal.”

Setiap detik yang berlalu adalah kesempatan yang takkan terulang. Maka jadikan dunia ini ladang amal, bukan tempat berbangga.

Penutup: Menjadi Musafir di Dunia

Rasulullah ﷺ pernah menasihati Abdullah bin Umar r.a.:

> “Jadilah engkau di dunia seperti orang asing atau seorang pengembara.”
(HR. Bukhari)

Orang asing tidak akan terlalu betah di negeri orang. Ia tahu, suatu saat ia akan kembali ke kampung halamannya. Maka ia hidup secukupnya, tidak berlebihan. Begitulah seharusnya kita memandang dunia: sederhana, bersyukur, dan selalu ingat bahwa rumah sejati kita bukan di sini.

Refleksi: Jika hari ini engkau merasa lelah mengejar dunia, istirahatlah sejenak dan renungkan: untuk apa semua ini? Dunia hanya tempat lewat. Jangan sampai kita membangun istana megah di tempat yang akan kita tinggalkan, tetapi lupa menyiapkan rumah di tempat kita akan tinggal selamanya.

“Dunia itu tempat menanam, akhirat tempat memanen. Barang siapa menanam kebaikan di dunia, maka ia akan menuai keindahan di akhirat.”

Semoga kita termasuk orang yang sadar bahwa hidup ini hanyalah perjalanan singkat menuju Allah.  (Tengku Iskandar, M. Pd – Duta Literasi Pena Da’i Nusantara Provinsi Sumatera Barat)


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement