SURAU.CO-Daud bin Ali bin Daud bin Khalaf al-Ashbihani, yang terkenal dengan panggilan Abu Sulaiman, lahir di Kufah. Ia memperoleh keahlian dalam berbagai bidang ilmu di kota Nisapur, Iran, dari sejumlah ulama besar seperti Ishaq bin Rahawaih, Abu Tsur, Sulaiman bin Harb, Amr bin Marzuq, Abdullah bin Salamah al-Qa’nabi, Muhammad bin Katsir al-Abdi, dan Musaddad bin Masrahad.
Setelah menimba ilmu cukup lama, Daud kembali ke Baghdad dan mendirikan majelis pengajian. Jumlah peserta pengajiannya diperkirakan mencapai 400 orang. Mereka mengenakan sorban hijau, pakaian khas para ulama dan syekh pada masa itu.
Kepribadian Daud azh-Zhahiri
Pada awalnya, Daud azh-Zhahiri merupakan pengikut Mazhab Syafi’i yang sangat fanatik. Bahkan, ia sempat menulis dua buku biografi tentang gurunya itu. Pribadinya terkenal saleh, rajin beribadah, dan hidup sederhana.
Al-Mahamili menceritakan sebuah pengalaman bersama Daud:
“Suatu hari, aku melaksanakan shalat Idul Fitri di masjid jami’. Setelah shalat, aku mendatangi rumah Daud azh-Zhahiri untuk menyampaikan ucapan selamat. Aku melihat ia sedang makan dengan makanan yang sangat sederhana. Aku pun pulang dengan niat kembali lagi untuk memberinya bantuan. Lalu aku menemui al-Jurjani, yang terkenal dermawan, dan menyampaikan kondisi Daud kepadanya. Al-Jurjani berkata bahwa ia pernah memberi bantuan kepada Daud, tetapi Daud menolak. Meski begitu, ia memberiku uang 2.000 dirham untuk disampaikan kepadanya. Saat aku kembali ke rumah Daud dan menyerahkan uang itu, Daud tetap menolak dan tidak menyukai caraku melakukannya.”
Dasar-Dasar Fiqh Daud azh-Zhahiri
Daud azh-Zhahiri dikenal sebagai pendiri Mazhab Zhahiriyah, mazhab fiqh yang bersifat tekstual atau literalis. Ia hanya menetapkan hukum berdasarkan Al-Qur’an dan hadits secara harfiah, tanpa melibatkan penalaran logika atau qiyas.
Pandangan literal ini sering kali membuatnya berbeda dari empat mazhab besar lainnya. Misalnya, Daud mengharamkan minum dari wadah emas atau perak, tetapi membolehkan makan, wudhu, dan penggunaan lainnya. Pendapat ini ia dasarkan pada teks hadits Nabi saw.:
“Orang yang minum dari wadah yang terbuat dari emas atau perak sama dengan menyalakan api neraka di dalam perutnya.”
Dalam contoh lain, ia berpendapat bahwa air yang tenang tetap suci meski terkena air kencing yang sebelumnya dibuang ke dalamnya, selama orang tidak langsung buang air kecil di situ. Ia berdalil pada hadits:
“Janganlah kamu buang air kecil pada air yang tenang, kemudian mandi di sana.”
Bagi Daud, larangan tersebut berlaku pada tindakan buang air kecil di air, bukan pada penggunaan air itu setelahnya.
Warisan pemikiran Daud azh-Zhahiri
Daud memiliki banyak murid terkemuka, antara lain anaknya sendiri Abu Bakar Muhammad, Zakariya bin Yahya as-Saji, Yusuf bin Ya’qub bin Mahran ad-Daudi, dan Abbas bin Ahmad al-Mudzakkar.
Ia juga menulis sejumlah karya penting, yakni: Ibthal al-Qiyas,Khabar al-Wahid, Khabar al-Mujib li al-‘Ilm, Al-Hujjah, Al-Khushush wa al-‘Umum, dan Al-Mufassar wal Mujmal.
Seluruhnya membahas bidang ushul fiqh, karya fiqh praktis dan kumpulan fatwa. Ia juga menulis buku komentar terhadap pandangan Imam asy-Syafi’i berjudul Al-Kafi fi Maqalat al-Muthallabi.
Mazhab Zhahiriyah berkembang pesat hingga abad ke-5 H, dengan banyak ulama yang menulis dan mengembangkan pemikiran Daud. Namun, seiring waktu, mazhab ini mulai meredup, karena semakin sedikit pengikut dan tidak mendapat dukungan politik seperti mazhab lainnya.
Di Andalusia, mazhab ini kembali hidup berkat Imam Ibn Hazm, pembela kuat pemikiran Zhahiriyah melalui karya monumentalnya, Al-Muhalla.
Wafatnya Daud azh-Zhahiri
Daud azh-Zhahiri wafat di Baghdad pada tahun 270 H / 884 M. Sebagian riwayat menyebutkan bahwa ia dimakamkan pada area pemakaman para ulama saleh seperti al-Junaid, Ja’far al-Khuldi, dan Rawim.(St.Diyar)
Referensi : Abdullah Musthafa Al-Maraghi, Ensiklopedia Lengkap Ulama Ushul Fiqh Sepanjang Masa, 2020.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
